
IHSG Jeblok Tapi Rupiah Perkasa: Kok Bisa Beda Nasib?

Jakarta, CNBC Indonesia - Gonjang-ganjing perekonomian di Amerika Serikat (AS) berdampak signifikan terhadap pasar keuangan global termasuk di Indonesia. Namun, nilai tukar rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru berbeda arah di tengah kepanikan pasar keuangan global.
Dilansir dari Refinitiv, IHSG terpantau ambruk 3,4% di level 7.059 pada perdagangan Senin (5/8/2024). Posisi ini merupakan yang terendah sejak 27 Juni 2024 atau lebih dari satu bulan terakhir.
Sementara rupiah terpantau mengalami apresiasi tipis yakni 0,09% ke angka Rp16.180/US$.
Untuk diketahui, salah satu gegernya pasar keuangan domestik akibat dari potensi resesi AS setelah rilis data pasar tenaga kerja di negeri Paman Sam yang melambat tajam dan beberapa data ekonomi AS yang cenderung mengecewakan.
Pekan lalu, negeri Paman Sam banyak mengeluarkan data penting seperti pengumuman suku bunga, pasar tenaga kerja yang meliputi klaim pengangguran, Non-Farm Payrolls (NFP) atau data pekerjaan tercatat di luar pertanian, sampai tingkat pengangguran.
Data pasar tenaga kerja mengalami perlambatan tajam. Dimulai dari klaim pengangguran naik signifikan ke 249.000, melampaui ekspektasi yang proyeksi hanya naik 1000 ke 236.000 klaim.
Sehari kemudian, kondisi pasar tenaga kerja yang melambat semakin dikonfirmasi dengan data pekerjaan tercatat di luar pertanian (non-farm payrolls/NFP) yang hanya bertambah 114.000, jauh dari estimasi pasar yang proyeksi adanya penambahan tenaga kerja 179.000 ke 175.000 pekerjaan. Tingkat pengangguran AS pada Juli 2024 juga melonjak ke 4,3% dari sebelumnya 4,1% pada Juni 2024.
Hal ini membawa kesimpulan pelaku pasar bahwa ancaman resesi meningkat di AS, yang kemudian memicu kekhawatiran akan terjadinya hard landing karena bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dinilai lambat melakukancut rateseperti yang terjadi saat pandemi Covid-19 lalu.
Beda Nasib IHSG & Rupiah
Di tengah kondisi yang memburuk di pasar keuangan global, IHSG tercatat tersungkur cukup dalam. Hal ini juga seiring dengan bursa saham secara global (AS, Eropa, hingga Asia) yang turut berada di zona merah.
Kekhawatiran yang terpicu akibat potensi perlambatan ekonomi AS tercermin juga dari Indeks Volatilitas Pasar Saham AS (USVIX) melonjak menjadi 38,27, menandakan ketidakpastian pasar yang tinggi.
Indeks Nikkei ambruk 12,4%, indeks Hang Seng hancur 1,46%, indeks KOSPI Korea jeblok 8,77%, sementara indeks Straits Times ambles 4%.
Ekonom Senior Samuel Sekuritas Indonesia (SSI), Fithra Faisal menyampaikan bahwa penurunan signifikan di pasar saham global terjadi karena kecemasan investor tentang masalah ekonomi yang lebih luas dan tindakan suku bunga The Fed di masa depan.
Rupiah Malah Menguat
Berbeda dengan saham, nilai tukar rupiah justru menguat. Penguatan juga tidak hanya terjadi ke rupiah tetapi hampir semua mata uang utama Asia.
Mata uang ringgit Malaysia memimpin penguatan di Asia dengan menanjak 1,69% disusul dengan yen Jepang yang terbang 1,64%. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aksi investor yang menjual dolar AS dan beralih ke instrumen mata uang lain, termasuk rupiah.
Indeks dolar jeblok ke 102,689 pada perdagangan kemarin, Senin (5/8/2024) yang menjadi terendah sejak Januari tahun ini.
Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan kekhawatiran resesi AS bisa berdampak besar terhadap kinerja perusahaan, termasuk perusahaan teknologi yang telah menjadi target euforia pasar sejak awal tahun ini.
"Kondisi ini berdampak pada pasar saham sehingga penjualan global hanya di saham," tutur Andry kepada CNBC Indonesia.
Di sisi lain, resesi AS akan mendorong bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) untuk segera menurunkan suku bunga. Pemangkasan suku bunga bahkan kini mengarah 50 bps pada September mendatang, bukan lagi 25 bps.
"Ekspektasi penurunan suku bunga sebesar 50 bps pada September akan berdampak positif untuk pasar obligasi sehingga indeks dolar melemah dan, imbal hasil US Treasury lebih rendah," imbuhnya.
Pelemahan indeks dolar dan imbal hasil US Treasury membuat mata uang Emerging Markets menguat, termasuk Indonesia. Kondisi ini juga sejalan dengan melandainya imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN). Penguatan ini mencerminkan adanya aliran modal asing ke rupiah dan SBN.
Masuknya investor di SBN tercermin dari melandainya imbal hasil SBN tenor 10 tahun. Imbal hasil melandai ke 6,807% pada perdagangan kemarin, Senin (5/8/2024) atau terendah sejak pertengahan Mei 2024.
Namun, Andry mengingatkan ekspektasi resesi AS akan berdampak negatif pada harga komoditas seperti minyak mentah dunia, batu bara, hingga minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Kondisi ini akan menekan ekspor dan surplus perdagangan sehingga bisa balik menekan rupiah.
Senada, ekonom BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan rupiah masih ditopang oleh inflow sehingga menguat. Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 29 Juli-1 Agustus 2024 di mana investor asing tercatat beli neto Rp10,27 triliun terdiri dari beli neto Rp5,77 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp2,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan beli neto Rp2,31 triliun di saham.
Inflow sepekan tersebut merupakan yang tertinggi dalam lima pekan terakhir atau lebih dari sebulan. Inflow mendekati pekan terakhir Juni (Rp19,69 triliun).
"Aliran modal masuk masih suportif terutama untuk obligasi pemerintah. Earning season sudah lewat dan ekspektasi growth udah diadjust down sama investor," tutur Barra, kepada CNBC Indonesia.
Sebagai catatan, ekonomi Indonesia tumbuh 5,05% (year on year/yoy) pada kuartal II-2024, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang tercatat 5,11%.
Barra menambahkan masih kencangnya aliran modal asing ke rupiah dan SBN ditopang oleh ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed.
"Selama ini yang menggerakkan rupiah mostly memang inflow/outflow ke SBN," ujarnya.
CNBCINDONESIA RESEARCH
(mae/mae)