Dana Asing ke RI Tembus Rp10 T, Rekor Tertinggi Sebulan

Revo M, CNBC Indonesia
05 August 2024 06:45
Catatan Aliran Dana Asing pada Minggu Pilpres
Foto: Infografis/ Catatan Aliran Dana Asing pada Minggu Pilpres/ Ilham

Jakarta, CNBC Indonesia - Arus dana asing masih membanjiri pasar keuangan Indonesia. Hal ini terjadi setelah semakin mendinginnya data ekonomi Amerika Serikat (AS) sehingga investor asing mengatur ulang alokasi dananya dan mengincar instrumen di Emerging Markets, seperti Indonesia.

Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 29 Juli-1 Agustus 2024 di mana investor asing tercatat beli neto Rp10,27 triliun terdiri dari beli neto Rp5,77 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp2,19 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan beli neto Rp2,31 triliun di saham.

Inflow sepekan tersebut merupakan yang tertinggi dalam lima pekan terakhir atau lebih dari sebulan. Inflow mendekati pekan terakhir Juni (Rp 19,69 triliun).

Secara keseluruhan, net buy sudah terjadi dalam enam pekan terakhir dengan jumlah 

Total net foreign buy lebih dari Rp46 triliun dalam enam pekan terakhir tentu memberikan angin segar bagi Indonesia.

Lebih lanjut, selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 1 Agustus 2024, investor asing tercatat jual neto Rp28,04 triliun di pasar SBN, jual neto Rp2,20 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp173,32 triliun di SRBI.

Investor asing tampak masuk ke SBN pada Senin (29/7), Rabu (31/7), dan Kamis (1/8) pekan lalu. Hal ini tercermin dari imbal hasil SBN tenor 10 tahun yang mengalami penurunan dalam tiga hari tersebut.

Sementara secara mingguan, imbal hasil SBN menurun cukup dalam yakni 1,75% ke posisi 6,89%.

Sebagai informasi, imbal hasil SBN tenor 10 tahun pada 2 Agustus 2024 berada di angka 6,841% atau terendah sejak 17 Mei 2024.

Lebih lanjut, selisih imbal hasil antara SBN dengan US Treasury (UST) tenor 10 tahun pun semakin melebar pada pekan lalu yang menambah attractive pasar keuangan domestik.

Pada 29 Juli 2024, selisihnya tercatat sebesar 2,733% dan pada 2 Agustus 2024 menjadi 3,045% atau sekitar 304 basis poin (bps).

Selain itu, ekspektasi penurunan suku bunga bank sentral AS (The Fed) pada September 2024 juga berpotensi membuat imbal hasil UST mengalami penurunan.

Ketika imbal hasil UST terus menurun, maka ada potensi semakin kurang menariknya pasar keuangan AS yang pada akhirnya memicu capital outflow dari AS ke pasar keuangan negara lainnya, salah satunya Indonesia.

Kekhawatiran ekonomi AS yang semakin memburuk ini bukan tanpa alasan mengingat berbagai indikator terus memburuk dengan cepat.

Sebagai informasi, AS pada Jumat kemarin mengumumkan tingkat pengangguran melonjak ke angka 4,3% pada Juli 2024 dari 4,1% pada Juni 20024. Angka ini merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2021 dan jauh di atas ekspektasi pasar yakni 4,1%.
Penambahan pekerja untuk non-farm payrolls juga hanya 114.000 pada Juli, jauh di bawah Juni yang tercatat 179.000 dan di bawah ekspektasi pasar yakni 175.000.

"Perlambatan tajam dalam payrolls pada Juli dan kenaikan tajam tingkat pengangguran membuat pemangkasan suku bunga pada September tak terhindarkan dan akan meningkatkan spekulasi bahwa Fed akan memulai siklus pelonggaran dengan pemotongan 50 basis poin atau bahkan langkah antar rapat," kata Stephen Brown, deputi kepala ekonom Amerika Utara di Capital Economics, dikutip dari CNBC International.

Kenaikan pengangguran dan rendahnya non-farm payrolls ini menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS sudah mendingin dan terimbas oleh suku bunga tinggi.
Pelaku pasar pun optimis jika kondisi tenaga kerja di Juli akan menambah ruang pemangkasan suku bunga The Fed.

Kondisi cukup mencekam juga terjadi dikalangan masyarakat khususnya yang berpenghasilan rendah dan alhasil semakin mengurangi minat investor untuk berinvestasi di AS.

Menurut laporan Council on Criminal Justice, pencurian di AS meningkat 24% pada paruh pertama 2024. Bahkan ketika tingkat kejahatan lainnya menurun.

"Pencurian di toko sebagai kejahatan yang meluas selama masa inflasi tinggi sebenarnya cukup umum jika Anda melihat masa-masa serupa di negara lain di masa lalu," kata Alex Beene, pakar literasi keuangan di University of Tennessee di Martin, dikutip dari Newsweek, Sabtu (3/8/2024).

"Tantangan yang dihadapi konsumen bukan hanya harga yang lebih tinggi, tetapi juga kekurangan sumber daya keuangan tambahan yang biasanya mereka dapatkan karena prospek pekerjaan dan pendapatan mereka saat ini," imbuhnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation