CNBC Indonesia Research

Pak Prabowo, Awas Bahaya! RI Bisa Hancur Kalau Abai Soal Ini

Revo M, CNBC Indonesia
25 July 2024 17:00
Habiskan Rp500 T, Ini Daftar Alutsista yang Dibeli Prabowo
Foto: Infografis/ Habiskan Rp500 T, Ini Daftar Alutsista yang Dibeli Prabowo/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekerjaan Rumah (PR) di era kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto 2024-2029 akan cukup banyak.  Salah satu PR terberat adalah membangkitkan industri manufaktur, terutama tekstil dan pakaian jadi yang merupakan padat karya.

Sektor manufaktur tidak hanya menyumbang banyak tenaga formal tetapi juga menjadi sarana bagi Indonesia untuk mencapai masyarakat dengan pendapatan tinggi hingga membuka jalan menuju negara maju. Tanpa manufaktur yang kuat maka sulit bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara kelas menengah atau middle income trap.

Namun, kinerja manufaktur justru memburuk.

Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global untuk Indonesia tercatat kembali menurun menjadi 50,7 untuk periode Juni 2024. Indeks ini bahkan menjadi yang terendah sejak Mei 2023 atau 13 bulan terakhir.

Industri pengolahan yang banyak menyerap tenaga kerja justru loyo.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata pertumbuhan industri pengolahan dari 2015 hingga 2023 dengan mengeluarkan data 2020, hanyalah sebesar 4,23%.

Lebih lanjut, pertumbuhan industri pengolahan untuk 2023 sendiri berada sedikit lebih tinggi yakni di angka 4,64% year on year/yoy.

Data BPS juga menunjukkan beberapa sektor masih terkontraksi pada kuartal I-2024 seperti sub sektor industri karet, alat angkutan, serta mesin dan perlengkapan. Sektor-sektor yang menyumbang banyak tenaga kerja juga tumbuh rendah yakni industri alas kaki dan pakaian jadi ataupun furnitur.

Ancaman industri pengolahan/manufaktur pun tercermin dari rendahnya kontribusi sektor ini terhadap PDB.

Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB pada 2015 tercatat sebesar 20,97% dan secara gradually menurun menjadi hanya 18,67% pada 2023.

Gambar kontribusi sektor manufaktur

Pertumbuhan industri makanan dan minuman, industri pengolahan tembakau, serta industri tekstil dan pakaian jadi, yang merupakan industri padat karya juga hanya tumbuh cukup kecil.

Terkhusus industri tekstil dan pakaian jadi yang hanya tumbuh secara rata-rata sejak 2015 hingga 2023 yakni sebesar 1,93% dan bahkan pada 2023 terkontraksi 1,98% ini menjadi patut menjadi perhatian.

Sebagai informasi, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat bahwa industri pakaian jadi merupakan salah satu jenis industri yang masuk dalam rangkaian industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) dari hulu ke hilir. Dari industri hulu,TPT mencakup industri serat, pemintalan dan benang, perajutan, pencapan (printing) dan penyempurnaan (finishing), dan di hilir industri TPT mencakup industri pakaian jadi.

Melandainya kinerja sektor tekstil menjadi kabar buruk mengingat sektor tersebut menyerap banyak tenaga kerja. Jika kinerja tekstil memburuk maka penyerapan tenaga kerja mengecil.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penyerapan tenaga kerja di sektor tekstil, pakaian jadi, kulit, barang dari kulit dan alas kaki anjlok 13,9% dari 3.775.191 orang pada 2017 menjadi 3.249.936 orang pada 2021.

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS),Yusuf Wibisono mengatakan bahwa faktor utama kejatuhan industri padat karya adalah permintaan yang semakin melemah, tidak hanya dari pasar ekspor namun juga dari pasar domestik. Lemahnya permintaan pasar membuat banyak pabrik beroperasi jauh di bawah kapasitasnya sehingga biaya produksi menjadi sangat tidak efisien.

Di saat yang sama, industri padat karya di pasar ekspor harus menghadapi kerasnya persaingan dari produsen asing terutama dari China dan juga Vietnam dan Bangladesh, yang harga produknya sangat kompetitif.

Hal ini diperburuk oleh lemahnya pengawasan impor sehingga penyelundupan barang impor termasuk produk industri padat karya adalah marak, sehingga proteksi terhadap industri domestik melalui hambatan tarif dan non tarif tidak efektif.

Data BPS menunjukkan ekspor sektor tekstil turun drastis 21,13% dari US$ 4,59 miliar pada 2019  menjadi US$ 3,62 miliar pada 2023.

Tekstil Pernah Berjaya
Dikutip dari Buku Analisis Pembangunan Industri: Mendorong Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil menyebut di era 1970-1985, kendati masih lamban, industri tekstil Indonesia semakin berkembang, meski baru mampu memenuhi pasar domestik (substitusi impor) dengan segmen pasar menengah-rendah.

Sejak 986, industri TPT Indonesia mulai tumbuh pesat karena iklim usaha mulai kondusif, seperti regulasi pemerintah yang efektif, yang difokuskan pada ekspor nonmigas, dan industri TPT sendiri mampu memenuhi standard kualitas tinggi untuk memasuki pasar ekspor di segmen pasar atas-fashion. Pada periode 1986 - 1997 kinerja ekspor industri TPT Indonesia terus meningkat dan menjadikannya sebagai industri yang cukup strategis, dan sekaligus sebagai primadona di Indonesia.

Namun krisis multidimensi yang menerpa Indonesia pada 1998 membuat kinerja TPT melemah hingga tahun 2002.

Tantangan lain hadir berupa membanjirnya kain-kain impor ilegal lewat berbagai pelabuhan laut, dan meningkatnya peredaran pakaian jadi impor, yang dijual lewat toko online atau ecommerce. Sementara itu pada periode yang sama, harga minyak mentah dunia yang sedang merangkak naik, menyebabkan harga baku tekstil juga mengalami kenaikan.

Data Kementerian Perdagangan mencatat impor tekstil dan produk tekstil melonjak dari sekitar US$ 1,7 miliar pada 2014 menjadi US$ 3,08 miliar pada 2022.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation