
Geng Negara Elite G7 Diramal Terlilit Utang, RI Bisa Kena Apes!

Jakarta, CNBC Indonesia - Negara-negara maju (G7) berpotensi mengalami defisit fiskal yang semakin membengkak pasca tahun politik 2024. Hal ini tentu memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap negara berkembang seperti Indonesia yang bergantung kepada negara maju.
Suku bunga yang tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama meningkatkan risiko fiskal suatu negara.
Dikutip dari Scope Ratings, rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari sebagian besar negara G7 diperkirakan akan terus meningkat.
Aturan fiskal dari banyak pemerintah G7 (AS, Jepang, Inggris/Britania Raya, Kanada, Italia, Jerman, dan Perancis), yang lebih terkikis selama krisis pandemi, tidak cukup untuk menahan tingkat peminjaman yang meningkat, sementara kondisi suku bunga yang tinggi saat ini dapat mempersulit jalur konsolidasi fiskal.
Meningkatnya rasio utang terhadap PDB tidak hanya menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan utang jangka panjang tetapi juga membatasi ruang anggaran pemerintah.
Sebelum krisis pandemi, prevalensi suku bunga sangat rendah memastikan pembayaran bunga turun bahkan saat pemerintah meningkatkan pinjamannya. Saat ini, proporsi pengeluaran pemerintah untuk membayar utang pemerintah meningkat karena utang lama dengan biaya rendah diperbaharui dengan suku bunga yang lebih tinggi, bahkan tanpa mengasumsikan perubahan dalam stok pinjaman.
"Ekonomi G7 dengan utang pemerintah yang meningkat seperti Prancis, Italia, Inggris, dan Amerika Serikat perlu menemukan cara untuk memperkuat kerangka fiskal mereka dan mencapai konsolidasi anggaran yang memadai, meskipun mereka memiliki keuntungan institusional yang signifikan," kata analis Scope Ratings, Dennis Shen.
Lebih lanjut, pemilihan umum di beberapa negara G7 - Prancis (peringkat AA dengan Outlook Negatif), Britania Raya (AA dengan Outlook Stabil), dan Amerika Serikat (AA dengan Outlook Negatif) kemungkinan tidak akan menghasilkan pembalikan jalur utang mereka pasca-pemilu.
Scope Ratings memproyeksikan utang pemerintah umum G7 akan meningkat menjadi 135,2% dari PDB pada tahun 2029, mendekati puncak tahun 2020 yang mencapai 139,6%. Peningkatan ini didorong terutama oleh peningkatan stok utang AS, yang merupakan peminjam "bebas risiko" dunia.
![]() Sumber: Scope Ratings |
"Defisit kembali menjadi sorotan," kata Guy Miller, strategis pasar utama di Zurich Insurance Group yang dikutip dari Reuters.
"Ikhtiar lebih perlu diberikan tidak hanya pada utang, tetapi juga bagaimana menghasilkan dinamika pertumbuhan, terutama di Eropa," papar Guy.
Berikut ini beberapa contoh negara G7 yang mengalami defisit:
1. Prancis
Di dalam area euro, Prancis menjadi sumber kekhawatiran akan krisis fiskal regional yang lebih dalam. Parlemen berikutnya kemungkinan akan melihat representasi lebih besar dari kelompok sayap kanan dan sayap kiri, yang mungkin memaksa Presiden Emmanuel Macron untuk menerima perdana menteri dari partai oposisi, menyebabkan ketidakpastian politik.
Scope Ratings memproyeksikan defisit Prancis di atas 3% dari PDB hingga tahun 2029 bahkan sebelum ada perubahan kebijakan setelah pemilu yang mungkin menghambat konsolidasi anggaran yang telah direncanakan.
![]() Sumber: Scope Ratings |
Lebih lanjut, peningkatan utang Prancis diperkirakan akan naik secara bertahap menjadi 113% dari PDB pada tahun 2029 dari 110,6% pada akhir tahun lalu dapat membuat kedaulatan rentan terhadap kegelisahan investor lebih lanjut.
2. Amerika Serikat
Kantor Anggaran Kongres memperkirakan utang publik akan naik dari 97% menjadi 122% dari output pada tahun 2034 atau lebih dari dua kali lipat rata-rata sejak tahun 1994.
Harapan kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden November tahun ini telah meningkatkan imbal hasil obligasi Treasury belakangan ini karena investor telah memasukkan risiko defisit anggaran yang lebih besar dan inflasi yang lebih tinggi ke dalam harga. Beberapa investor menganggap hasil terburuk bagi pasar obligasi adalah jika Trump terpilih lagi dengan Mayoritas Republik di Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.
Hal ini akan berarti "kita dapat mendapatkan putaran stimulus fiskal lagi... dari titik awal di mana defisitnya mencapai 6% dari PDB," kata kepala strategi makro Legal & General Asset Management, Chris Jeffery.
![]() Sumber: Congressional Budget Office |
3. Inggris
Pemerintahan baru berjanji untuk mengembangkan ekonomi sambil menjaga pengeluaran ketat, menghadapi tantangan dengan utang publik mendekati 100% dari PDB. Menurut perkiraan anggaran Britania tahun lalu, utang tersebut bisa melonjak menjadi lebih dari 300% dari output ekonomi pada tahun 2070-an, dengan masyarakat yang semakin tua, perubahan iklim, dan ketegangan geopolitik menjadi risiko fiskal besar.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat adalah kunci untuk menstabilkan utang, kata S&P Global.
![]() Sumber: LSEG |
Apa Dampak ke Pasar Keuangan di Indonesia?
Total utang negara maju yang terus membengkak baik untuk berbagai keperluan, seperti rumah tangga maupun sektor bisnis akan menambah kerentanan yang terkait dengan utang publik seperti meningkatnya volatilitas pasar keuangan, pertumbuhan yang lebih lambat secara struktural, dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi.
Perkiraan International Monetary Fund (IMF) menunjukkan bahwa rata-rata rasio utang G7 akan meningkat dalam jangka menengah. Bahkan AS pun diperkirakan akan meningkatkan rasio utang dalam jangka panjang dengan didorong oleh pembayaran utang.
Dikutip dari Chatham House menunjukkan bahwa sejarah ekonomi dan literatur akademis mengungkapkan rasio utang negara-negara maju, pada tingkat yang tinggi, merupakan suatu kekhawatiran yang nyata.
Pengeluaran bunga yang lebih tinggi pada utang pemerintah akan mengurangi pengeluaran produktif pemerintah dan suku bunga yang lebih tinggi akan mengurangi investasi swasta.
Sebagai contoh, ketika AS memiliki utang yang semakin menggunung, maka ada kemungkinan AS mencetak dolar lebih banyak yang berujung pada inflasi AS mengalami kenaikan. Dampak lanjutannya yakni suku bunga bank sentral AS (The Fed) yang akan dinaikkan untuk meredam inflasi.
Ketika suku bunga AS berada di level yang tinggi, maka indeks dolar AS (DXY) akan mengalami kenaikan dan berujung pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Lebih lanjut, korelasi positif antara rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan menunjukkan bahwa terjadi depresiasi dari IHSG itu sendiri. Harga saham berpotensi mengalami koreksi bersamaan dengan laporan keuangan perusahaan yang tidak akan berada di performa terbaiknya karena operational cost mengalami kenaikan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)