Petrodollar Berakhir! China & Arab Saudi Bisa Sekongkol Habisi AS

Revo M, CNBC Indonesia
03 July 2024 13:55
warga RI yang terus memburu dolar Ini simpanan Valas Warga RI
Foto: Infografis/warga RI yang terus memburu dolar Ini simpanan Valas Warga RI/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Habisnya kontrak petrodolar antara Amerika Serikat (AS) dengan Arab Saudi bisa mengancam posisi AS serta dolar AS dalam kancah perdagangan internasional. Posisi AS bisa semakin tertekan jika China dan Arab Saudi sepakat menggunakan mata uang yuan dalam membeli minyak.

Kesepakatan petrodolar AS-Arab Saudi telah berakhir setelah lima dekade atau 50 tahun tepatnya pada 9 Juni 2024.

Kesepakatan yang ditandatangani pada 8 Juni 1974 merupakan skema transaksi minyak yang mewajibkan transaksi dilakukan mata uang dolar AS.

Dikutip dari India Today, awalnya perjanjian Bretton Woods pada 1944 menetapkan dolar AS sebagai mata uang cadangan utama dunia, yang dipatok pada emas. Hal ini memfasilitasi perdagangan internasional dan stabilitas ekonomi pasca Perang Dunia II.

Namun, pada tahun 1971, Presiden AS Richard Nixon mengakhiri konvertibilitas dolar terhadap emas, yang menyebabkan nilai tukar mengambang dan peningkatan volatilitas mata uang.

Pada tahun berikutnya, Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memberlakukan embargo minyak sebagai tanggapan atas dukungan AS terhadap Israel selama Perang Yom Kippur, sehingga menyebabkan harga minyak meroket.

Kemudian AS membuat kesepakatan dengan Arab Saudi dan negara-negara OPEC lainnya untuk menstabilkan situasi, di mana minyak akan diperdagangkan secara eksklusif dalam dolar AS.

Sebagai imbalannya, AS memberikan perlindungan militer dan dukungan ekonomi. Perjanjian ini menandai lahirnya sistem petrodolar.

Pada tahun 1974, di tengah krisis minyak dan meroketnya harga akibat sanksi OPEC, AS dan Arab Saudi mencapai kesepakatan penting.

AS setuju untuk membeli minyak dari Arab Saudi dan memberikan bantuan dan peralatan militer, sementara Saudi akan menginvestasikan pendapatan petrodolar mereka kembali ke perekonomian AS.

Pengaturan ini menjamin aliran minyak yang stabil ke AS dan stabilitas keuangan bagi Arab Saudi, sehingga menguntungkan kedua negara.

Petrodollar Berakhir, Next Apa?

Situasi berakhirnya perjanjian petrodolar mengakibatkan Arab Saudi sekarang bebas menjual minyak dengan mata uang seperti yuan, euro, rubel, dan yen, dan sedang mempertimbangkan mata uang digital seperti Bitcoin.

Dalam catatan Kantor Cukai China, impor minyak dari Arab Saudi pada 2023 menembus US$ 53,8 miliar. Dengan demikian, permintaan dolar AS bisa berkurang sekitar US$ 53,8 miliar jika Arab Saudi dan China sepakat menggunakan mata uang lain dalam  membeli minyak.

Pergeseran ini dapat mempercepat tren penggunaan mata uang alternatif untuk perdagangan internasional, dan berpotensi melemahkan dominasi dolar AS secara global.

Sebagai informasi, dolar AS saat ini merupakan mata uang yang paling banyak digunakan untuk melakukan perdagangan internasional dan keuangan transaksi.

Di luar negeri pasar valuta asing, tempat mata uang diperdagangkan, dolar AS juga terlibat dalam hampir 90% dari seluruh transaksi. Dolar AS adalah mata uang pilihan bagi investor selama ini krisis ekonomi besar, sebagai mata uang "safe haven".

Data dari Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan bahwa, pada kuartal terakhir tahun 2023, dolar AS menyumbang 58,41% dari cadangan mata uang yang dialokasikan, jauh lebih banyak daripada cadangan yang disimpan dalam euro (19,98%), yen Jepang (5,7%), dan pound sterling Inggris (4,8%)

Dampak Berhentinya Perjanjian Petrodolar

Berakhirnya perjanjian petrodolar menandai titik balik yang signifikan dalam lanskap perekonomian global.

1. Melemahnya Dolar AS

Dengan bebasnya Arab Saudi menentukan harga minyak dalam berbagai mata uang, permintaan global terhadap dolar AS kemungkinan akan menurun.

Secara historis, sistem petrodolar memperkuat posisi dolar sebagai mata uang cadangan utama dunia.

Selain itu, pelemahan dolar AS berpotensi menyebabkan harga impor AS lebih tinggi, sehingga berkontribusi terhadap inflasi. Tekanan inflasi ini dapat mendorong bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga untuk mengendalikan inflasi, sehingga berdampak pada biaya pinjaman bagi dunia usaha dan konsumen.

2. Harga Minyak dan Perdagangan

Ketidakbergantungan terhadap dolar AS akan menyebabkan penetapan harga minyak dalam berbagai mata uang dapat menimbulkan volatilitas dan ketidakpastian yang lebih besar pada pasar minyak global.

Fluktuasi nilai tukar dapat mempengaruhi harga minyak dan arus perdagangan.

Lebih lanjut, gangguan ekonomi negara-negara yang sangat bergantung pada impor minyak, seperti Eropa dan Jepang, mungkin menghadapi biaya yang lebih tinggi dan gangguan ekonomi jika mereka perlu mengakses berbagai mata uang untuk transaksi minyak.

Hal ini dapat mempersulit negosiasi perdagangan dan perencanaan ekonomi.

3. Mata Uang Digital dan CBDC

Eksplorasi mata uang digital seperti Bitcoin di Arab Saudi dan keterlibatan dalam Project mBridge untuk platform mata uang digital multi-bank sentral (CBDC) menyoroti sifat pembayaran lintas batas dan transaksi valuta asing yang terus berkembang.

Lebih lanjut, potensi inovasi penerapan mata uang digital dan CBDC dapat menghasilkan transaksi internasional yang lebih efisien dan aman, namun juga menimbulkan tantangan peraturan dan teknologi yang perlu diatasi.

Gerilya China dalam Dedolarisasi

China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia dan merupakan importir minyak terbesar di dunia akan mendapatkan angin segar dengan berhentinya perjanjian petrodolar.

Pada dasarnya, China telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi ketergantungannya terhadap dolar AS.

Sebagai contoh pada 2013, 80% ekspor Rusia ditransaksikan dalam dolar AS. Angkanya terus turun menjadi 61% pada 2019 dan menjadi 48% pada 2020.

Yuan bahkan mampu menjadi mata uang asing yang paling banyak digunakan di Rusia sejak 2022. Ekspor China ke Rusia menembus US$76,12 miliar sementara impor mencapai US$114,15 miliar.

Dengan negara ASEAN, China juga rajin menjalin kesepakatan untuk mengurangi dolar dan menggunakan yuan melalui perdagangan ataupun investasi.

Penggunaan yuan dalam berdagangan dengan Laos meningkat tajam setelah pembukaan jalur kereta China-Laos.

Dengan Indonesia, China juga telah memiliki kesepakatan untuk menggunakan mata uang masing-masing dalam perdagangan melalui skema local currency settlement sejak September 2021.

Bahkan sekitar delapan tahun terakhir, China terus merayu Arab Saudi untuk menggunakan mata uang Yuan untuk membeli minyak.

Sebagai catatan, pada 2023 China merupakan importir terbesar minyak mentah di dunia, mengimpor 11,3 juta barel per hari (b/d) minyak mentah, meningkat 10% dibandingkan tahun 2022, menurut data dari Bea Cukai China.

Pabrik pengilangan di China mengimpor volume minyak mentah rekor pada tahun 2023 untuk memasok kapasitas pengilangan yang semakin meningkat guna mendukung kebutuhan bahan bakar transportasi negara dan memproduksi bahan baku untuk industri petrokimia yang berkembang.

Rusia, Arab Saudi, dan Irak adalah sumber utama impor minyak mentah China pada tahun 2023. Dibandingkan dengan tahun 2022, impor minyak mentah China pada tahun 2023 meningkat paling signifikan dari Rusia, Iran, Brasil, dan Amerika Serikat. Peningkatan volume impor minyak mentah China yang terbesar pada tahun 2023 berasal dari Rusia.

EIAFoto: China Annual Crude Oil Imports
Sumber: EIA

Ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan dengan Beijing kian gencar.

Jika kerja sama ini disepakati maka diperkirakan bisa menggerus permintaan dolar AS lebih dari US$10 miliar atau sekitar Rp163,9 triliun. Kontrak Saudi Aramco dengan perusahaan China terkait penjualan minyak diperkirakan mencapai US$10 miliar.

Selain itu, China juga terus menggenjot penggunaan mata uangnya untuk transaksi internasional. Berdasarkan People's Bank of China (PBoC), penyelesaian transaksi menggunakan yuan pada 2022 sebesar CNY 42,1 triliun atau meningkat 15,1%.

Penerimaan total mencapai CNY 20,5 triliun, naik sebesar 10,9% tahun ke tahun, sementara pembayaran mencapai CNY 21,6 triliun, meningkat sebesar 19,5% tahun ke tahun. Rasio penerimaan terhadap pembayaran adalah 1:1,05.

PBoCFoto: Annual Cross-border RMB Settlement during 2010-2022
Sumber: PBoC

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation