Ini Penyebab Ambruknya Rupiah di 1998, 2020 & 2024: Mana Terparah?

Revo M, CNBC Indonesia
27 June 2024 07:50
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Terpuruknya rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada 2024 menjadi perhatian berbagai kalangan. Hal ini juga mengingatkan pada momen anjloknya rupiah pada 1998 dan 2020.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah hari ini, Rabu 926/6/2024) ditutup melemah 0,18% ke posisi Rp 16.400. Rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya (intraday) pada 21 Juni 2024 di level Rp16.475/US$. Posisi ini telah terdepresiasi sebesar 7,01% hanya dalam enam bulan.

Jika dilihat secara bulanan, pelemahan rupiah terparah terjadi pada Maret 2024 yakni sebesar 2,56% dan Januari yang melemah sebesar 2,47%.

Pelemahan rupiah saat ini memicu kekhawatiran banyak pihak. Terlebih Indonesia memiliki trauma besar dalam anjloknya mata uang saat Krisis Moneter 1997/1998 ataupun pada awal pandemi Covid019 2020.

Merujuk data Refinitiv, sepanjang 2024, nilai tukar rupiah sudah ambruk 6,5%. Sebagai perbandingan nilai tukar rupiah pada akhir 2020 jatuh 1,15%, pada 1998 terperosok 77,98% dan pada 1997 ambles 128,7%.

Rupiah Saat Krisis 1997/1998, 2020, dan Kondisi Terbaru di 2024

Sebelumnya pada 1998 di saat momen krisis finansial yang terjadi di Asia, nilai tukar rupiah ambruk dengan signifikan.

Anjloknya nilai tukar rupiah di level tersebut sebetulnya juga terjadi saat Indonesia masuk pusaran Krisis Ekonomi Asia atau Krisis Moneter atau Krismon pada 1997/1998 yang traumatis. Krisis itu dipicu oleh krisis mata uang di beberapa negara Asia, seperti Thailand.

Krisis 1997/1998 bermula dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap dolar AS pada Juli 1997.

Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah. Krisis menjalar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia dan dengan cepat menggoyang perekonomian nasional yang fondasi ekonominya rapuh.

Fondasi ekonomi Indonesia dinilai keropos karena sistem perbankan yang buruk serta besarnya utang dalam dollar AS.

Lebih lanjut, struktur atau pondasi ekonomi cukup lemah, cadangan devisa (cadev) yang sedikit, dan struktur utang kurang baik krisis moneter yang disebabkan oleh krisis kepercayaan sektor keuangan semakin menggoncang rupiah.

Alhasil, saat itu rupiah jatuh sangat dalam dari Rp4.650/US$ pada akhir 1997 menjadi Rp7.300/US$ pada akhir November 1998. Bahkan rupiah di pertengahan 1998, sempat anjlok hingga ke level Rp16.800/US$.

Serupa dengan 1998, rupiah pun sempat kembali menyentuh level Rp16.000an/US$ pada 2020 yakni saat pandemi Covid-19 terjadi.

Kala itu, rupiah terkapar sempat terkapar hingga menyentuh level Rp16.550/US$ pada Maret 2020 dan anjlok 13,67% disepanjang Maret 2020. Rupiah mampu membaik menjelang akhir tahun.

Penurunan rupiah pada awal 2020 dipicu oleh aksi jual besar-besaran di pasar keuangan Indonesia, di mana investor asing menarik dananya dari pasar saham dan obligasi, menyebabkan capital outflow yang besar dan tekanan tambahan pada rupiah.

Ketidakpastian global, matinya aktivitas ekonomi di seluruh penjuru dunia, kebijakan lockdown di sejumlah negara, hingga belum adanya vaksin membuat mata uang rupiah hancur lebur.

Sedangkan pada 2024 ini, rupiah untuk pertama kalinya kembali tercatat menyentuh level Rp16.000/US$ pada 16 April 2024 yang ditutup di level Rp16.170/US$.

Hal tersebut terjadi setelah libur Hari Raya Idul Fitri 2024 sekitar 10 hari sehingga perdagangan tidak berjalan dan seluruh sentimen negatif dari eksternal pada akhirnya terealisasi di awal perdagangan setelah libur panjang.

Lebih lanjut, rupiah menyentuh level yang lebih parah yakni Rp16.400/US$ pada 20 Juni 2024 yang semakin mengkhawatirkan berbagai pihak, mulai dari masyarakat/ritel, pebisnis/pengusaha, hingga pemerintah.

 

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan bahwa tekanan ini terutama disebabkan oleh faktor global, termasuk kekuatan ekonomi AS dan kebijakan moneter yang ketat dari bank sentral AS (The Fed). Selain itu, arus keluar modal asing juga memberikan kontribusi terhadap pelemahan rupiah.

Untuk diketahui, saat ini AS sedang bergelut melawan inflasi yang membandel dan sulit diturunkan hingga mencapai target 2%.

Alhasil, suku bunga The Fed tampak masih akan berada di level yang tinggi yakni 5,25-5,5% dalam waktu yang cukup lama.

Namun tidak hanya faktor eksternal, faktor internal pun menjadi pendorong lemahnya nilai tukar rupiah.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menegaskan, permasalahan faktor fundamental itu ialah bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih harus dipenuhi dengan impor. Hal ini membuat kebutuhan dolar pun tentu masih sangat tinggi untuk membeli produk asing tersebut.

Bhima menganggap, pangan sebagai komoditas pokok masyarakat, ke depan pun potensi impor oleh pemerintah masih akan tinggi. Disebabkan tak siapnya pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim yang memburuk terhadap sektor pertanian dan peternakannya. Berakibat pada tipisnya stok pangan di dalam negeri sehingga masih harus dipenuhi dari impor lagi.

Oleh sebab itu, Bhima menekankan untuk menghadapi permasalahan itu pemerintah perlu melakukan perbaikan di sektor pertanian dengan memperbesar diversifikasi pangan lokal, subsidi pertanian yang tepat sasaran ditambah, hingga infrastruktur yang tak lagi harus terus menerus diarahkan ke megaproyek, melainkan diperkuat untuk infrastruktur skala petani.

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti. Ia mengatakan, dengan masih besarnya kebutuhan impor bahan pokok itu tentu kebutuhan dolar di dalam negeri masih akan tinggi, hingga menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang itu masih akan melemah.

Meski begitu, Esther menilai, faktor itu tidak bisa menjadi penyebab tunggal sulit menguatnya rupiah ke depan. Sebab selama ini Indonesia telah terkenal sebagai negara importir kebutuhan bahan pokok.

Namun, dia mengakui untuk kembali memperkuat nilai tukar rupiah itu pemerintah harus semakin selektif mengurangi impor. Selain itu Esther juga menekankan pentingnya bagi pemerintah untuk terus menerus mengurangi porsi utang dalam bentuk valuta asing atau valas khususnya dolar AS

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation