Mereka yang Menangis Karena Rupiah Ambruk: Indofood Hingga Sritex

tasya natalia & Susi Setiawati, CNBC Indonesia
25 June 2024 08:45
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Dolar Asia, Melawai, Blok M, Jakarta, Selasa, (3/10). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Dolar Asia, Melawai, Blok M, Jakarta, Selasa, (3/10). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah Indonesia makin merana setelah berhasil menembus Rp16.400/US$1. Anjloknya rupiah pun dapat berdampak buruk terhadap beberapa industri di Indonesia, terutama industri yang dominan lebih banyak menggunakan impor untuk bahan bakunya.

Sepanjang tahun 2024, rupiah telah melemah 6,46% di level Rp16.390/US$1 hingga perdagangan Senin (24/6/2024).

Selisih kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS), akan menambah beban hingga berakibat kerugian pada perusahaan-perusahaan tersebut. Kerugian yang timbul pun dapat berakibat pada pemutusan hubungan kerja (phk) sehingga menimbulkan pengangguran baru.

Melemahnya rupiah berdampak besar terhadap banyak sektor usaha mulai dari UMKM hingga perusahaan kelas kakap. Perusahaan UMKM yang mengandalkan barang impor bisa tertekan oleh kenaikan bahan mentah. Di antaranya adalah pengusaha tempe dan tahu hingga kecap.

Perusahaan besar yang juga terdampak karena pelemahan rupiah, termasuk yang mengandalkan barang impor dan punya utang dolar AS.  Perusahaan yang bergerak di bidang transportasi dan banyak memakan bahan bakar impor juga akan terdampak, seperti Garuda Indonesia dan Lion Air Indonesia.
Perusahaan semen juga banyak menanggung beban karena pelemahan rupiah karena bahan bakar impor.  

Beberapa emiten juga bakal terbebani dengan pelemahan rupiah. Berikut ulasannya:

Emiten dengan bahan baku impor

Ketika bahan baku produk yang dijual sebuah perusahaan banyak didapat dari luar negeri, maka pelemahan Rupiah tentu akan menjadi tantangan tersendiri.

Pelemahan rupiah tentu akan menambah beban perusahaan lantaran bahan baku produksi menjadi lebih mahal. Ketika harga pokok penjualan membesar, margin keuntungan pun bisa ikut tertekan.

Bila hal ini terjadi dalam jangka panjang, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan laba perusahaan akan menjadi lebih lambat dan membuat saham tersebut ditinggal oleh para investor.

Beberapa perusahaan yang sangat mengandalkan bahan baku impor adalah prosuden susu, mie instan, biskuit, elektronik, mobil, dan  maskapai. Di antaranya adalah Indofood Group, PT Ultrajaya Milk Industry,  hingga PT Garuda Indonesia.

Emiten dengan utang Dolar

Lemahnya nilai tukar rupiah turut menjadi kendala bagi perusahaan-perusahaan yang memiliki utang dalam mata uang dolar AS. Karena hal tersebut, nilai pokok utang dan bunganya akan meningkat secara otomatis.

Dalam jangka panjang, situasi ini dapat menyebabkan peningkatan beban keuangan, penurunan laba bersih, dan juga bakal berdampak ke menurunkan nilai saham perusahaan.

Berikut ada beberapa emiten yang rawan buntung ketika rupiah melemah  karena memiliki banyak utang adalah:

1. PT Indofood CBP (ICBP)

PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) menjadi salah satu emiten yang dirugikan dari pelemahan rupiah.

Melansir dari laporan keuangan hingga akhir 2023, ICBP memiliki utang obligasi jangka panjang dalam denominasi dolar AS mencapai Rp42,12 triliun. Nilai ini mewakili 73,69% dari total liabilitas perusahaan sebesar Rp57,16 triliun.

Selain itu, ICBP terdampak negatif dari keperkasaan dolar yang menekan mata uang naira Nigeria.

Selama 2023, naira telah anjlok lebih dari 50% membuat ICBP mencatat kerugian nilai investasi pada entitas asosiasinya, Dufil Prima Foods Plc (DPFP hingga Rp1,81 triliun.

ICBP akhirnya harus menanggung kerugian bersih pada kuartal IV/2023 sebesar Rp69 miliar. Nilai ini berbanding terbalik dari hasil laba bersih pada kuartal III/2023 sebesar Rp1,3 triliun.

2. PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF)

Selanjutnya ada induk usaha ICBP yakni PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) yang ikut terseret dampak negatif dari pelemahan rupiah.

Pasalnya, sebagai induk usaha INDF juga ikut menanggung beban ICBP yang berupa utang dalam denominasi dolar AS. Kontribusi ICBP bagi INDF pun sangat besar ke pendapatan mencapai lebih dari 70%.

Akibat ICBP menelan pil pahit pada akhir tahun lalu, INDF juga kena imbasnya dengan laba bersih pada kuartal IV/2023 hanya Rp1,06 triliun, anjlok 38% dalam basis tahunan.

3. PT Modernland Realty Tbk (MDLN)

Emiten properti PT Modernland Realty Tbk (MDLN) jadi berikutnya yang cukup dirugikan dari kondisi pelemahan rupiah.

Hingga akhir 2023, MDLN mencatat beban yang masih harus dibayar dalam dolar AS mencapai sekitar Rp30 miliar. Utang perusahaan dalam dolar AS juga cukup besar mencapai US$ 375,50 juta atau setara Rp5,78 triliun (Asumsi kurs Rp15.416/US$)

4. PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI)

Masih dari sektor properti, ada emiten PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) yang memiliki utang obligasi dalam dolar AS sebanyak Rp3,49 triliun. Nilai ini mewakili lebih dari 30% dari total liabilitas sebesar Rp10,96 triliun pada akhir 2023.

Dengan utang dalam dolar AS yang besar maka beban ASRI untuk membayar beban bunga akan meningkat, terutama di kondisi saat rupiah melemah.

5. PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES)

Berikutnya ada emiten retail PT Ace Hardware Indonesia Tbk (ACES) yang potensi dirugikan dari perkasanya dolar AS lantaran beban impor yang tinggi.

ACES merupakan perusahaan dengan penjualan utama di barang-barang kebutuhan rumah tangga dan gaya hidup. Untuk memasok persediaan barang tersebut, biasanya ACES melakukan impor.

Menurut laporan keuangan hingga akhir tahun lalu, ACES mencatatkan beban pokok penjualan Rp3,91 triliun. Dari nilai tersebut, persentase pembelian impor mencapai 81,21%.

6. Sektor Farmasi

Selanjutnya ada sektor farmasi lantaran dominasi impor bahan baku masih mencapai 90%. Pada 2023, nilai ekspor produk industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional Indonesia meningkat 8,78% dibandingkan 2022.

Beberapa emiten farmasi diantaranya seperti PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Pyridam Farma Tbk (PYFA), PT Kimia Farma TBk (KAEF), PT Indofarma Tbk (INAF), dan lain-lain.

Namun, perlu diakui juga, tidak selalu yang dirugikan ketika rupiah melemah, perusahaan bakal merugi. Kita juga harus mencermati kondisi fundamental perusahaan terkait arus kas, struktur modal-nya, hingga cara mereka dalam melakukan efisiensi.

Dalam bidang produk fashion, terdapat beberapa perusahaan garmen yang harus gulung tikar. Satu per satu pabrik tekstil, garmen, hingga alas kaki di Indonesia menghentikan operasionalnya, alias tutup. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tak terelakkan lagi. Salah satunya pabrik garmen di daerah Cileungsi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Sepinya orderan masuk alias permintaan hingga tingginya beban operasional pun mendorong bangkrutnya pabrik-pabrik garmen.

Selanjutnya masih pada tahun 2024, pabrik garmen PT Cahaya Timur Garment tutup di Pemalang, Jawa Tengah. Adapula, PT Sepatu Bata Tbk (BATA) resmi menutup pabriknya di Purwakarta, Jawa Barat per 30 April 2024.

Selain itu, beberapa perusahaan di industri tekstil yang telah tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) juga masuk dalam notasi khusus dan beberapa nyaris bangkrut.

Salah satu emiten tekstil yang nyaris bangkrut adalah PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex (SRIL). Sritex mulai karam tertimbun utang, padahal Sritex merupakan perusahaan yang sudah berdiri lebih dari 50 tahun dan sempat berjaya karena kualitas produknya.

Sritex memiliki masalah kesehatan keuangan akibat utang yang menggunung. Pada semester I 2023, Sritex menanggung defisit modal atau ekuitas negatif karena jumlah liabilitas yang lebih besar dari aset. Ini berarti kondisi Sritex di ambang kebangkrutan sebab jumlah jika hutang jatuh tempo tidak bisa dibayar, bahkan ketika menjual aset pun tidak mampu menutupi semua hutang.

Jumlah liabilitas Sritex adalah sebesar US$1,57 miliar atau Rp23,8 triliun (kurs=Rp15.200/US$). Sementara jumlah aset Sritex hanya US$707,43 juta atau Rp10,75 triliun, sedangkan defisit modal sebesar US$707,46 juta atau sekitar Rp 10,7 triliun.

Sritex menanggung utang jangka panjang yang besar, terutama dari bank dan penerbitan obligasi. Nilainya bahkan jauh lebih besar dari total aset SRIL.

CNBC Indonesia Research

research@cncbindonesia.com

(saw/saw)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation