Duh! Rupiah Jeblok, Warga RI Malah Makin Doyan Nabung Dolar!

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
24 June 2024 20:10
Petugas menghitung uang  dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah saat ini masih tertekan di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), tetapi warga RI malah banyak yang memburu dolar.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat 0,3% di angka Rp16.390/US$ pada hari ini, Senin (24/6/2024). Kendati menguat, mata uang Garuda masih dalam tren pelemahan. Rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya yakni di level Rp16.470/US$. Sepanjang tahun ini, nilai tukar rupiah sudah melemah 6,1%.

Tekanan rupiah terhadap dolar AS disinyalir banyak datang dari eksternal, salah satunya adalah ekspektasi penurunan suku bank sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed) yang terus mundur.

Sebut saja dari akhir tahun lalu, ekspektasi pasar memperkirakan akan ada enam kali penurunan suku bunga, yang kemudian akan dimulai pemangkasan pertama pada Maret 2024. Namun, harapan ini pupus dan mundur pada Juni 2024.

Namun, sampai pada bulan Juni, pada pertemuan FOMC The Fed nada hawkish masih digaungkan dan tren higher for longer berlanjut. Alhasil, ekspektasi kembali mundur, dan pasar hanya bisa memperkirakan kemungkinan sekali saja pemangkasan terjadi tahun ini.

Hal ini membuat pelaku pasar melakukan normalisasi terhadap ekspektasi yang terlampaui tinggi di akhir tahun lalu. Terlebih sejumlah data masih menunjukkan ekonomi AS yang lebih kuat menyebabkan inflasi sulit turun menuju target the Fed di 2%.

Adapun, dari internal terdapat keraguan terhadap kebijakan fiskal pada pemerintah baru yang dirasa terlalu ekspansif dapat menyebabkan defisit APBN menyentuh 3% dan meningkatkan rasio utang menuju 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Fithra Faisal Hastiadi, Economic Adviser PT Samuel Sekuritas Indonesia, menjelaskan rencana kebijakan Presiden terpilih Prabowo Subianto yang sangat ekspansif dan kebijakan fiskalnya yang berlebihan atau excessive ikut melemahkan rupiah.

"Fiskal kita cenderung excessive. Rencana fiskal Pak Prabowo sangat ekspansif," ujarnya.

Namun kekhawatiran itu mulai mereda setelah Konferensi Pers terkait Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025 di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta yang menghadirkan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, ⁠Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Anggota Bidang Keuangan Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Pemerintahan Thomas Djiwandono digelar pada hari ini, Senin (24/6/2024).

Kekhawatiran investor perihal defisit akan menembus level 3% PDB dipatahkan oleh Airlangga yang menegaskan bahwa APBN pada 2025 akan tetap dijaga sesuai dengan batas-batas aman sesuai yang diamanatkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Termasuk soal batasan rasio utang terhadap PDB.

"Range defisit di APBN 2,29-2,82% PDB untuk mendukung APBN yang sehat dan berkelanjutan," ucap Airlangga.

Lebih lanjut, Thomas juga memastikan presiden terpilih 2024-2029, Prabowo Subianto, tidak akan meningkatkan rasio utang negara hingga 50% dari produk domestik bruto (PDB). Pernyataan itu menjawab rumor yang sebelumnya telah beredar.

Thomas menyangkal rumor tersebut dan telah merugikan mata uang negara dan pasar obligasi Indonesia.

Meskipun begitu, sebagai pelaku pasar hendaknya tetap objektif karena ada beberapa hal yang menjadi kekhawatiran selanjutnya.

Pada 2025 mendatang, ada jatuh tempo utang pemerintah mencapai Rp800 triliun. Jalan tercepat untuk membayar ini tentu dengan menerbitkan obligasi baru. Alhasil, yield masih akan bertahan di level tinggi.

Penerbitan obligasi tentu menyebabkan adanya peningkatan utang, meskipun tidak akan sampai 50% dan level rasio utang kita masih di bawah negara-negara maju seperti AS, Jepang, dan Singapura yang sampai di atas 100%, tetapi kualitas rating surat utang kita berbeda.

Jika keraguan terhadap ekonomi politik yang berhubungan pada kebijakan fiskal terus berlanjut, yield atau bunga obligasi akan terus melambung.

Selain berbicara soal makan gratis, ada juga kebijakan terkait kemungkinan pemerintah baru menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%

Hal tersebut dapat memberikan tekanan bagi daya beli masyarakat, apalagi PDB kita yang lebih dari 50% ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Kenaikan pajak ini menjadi kontra dengan harapan pertumbuhan RI di kisaran 7% - 8%.

Dari berbagai tekanan tersebut, akhirnya membuat seseorang hanya bisa bertahan pada apa yang bisa di kontrol dari dirinya sendiri. Berbicara soal uang, salah satu caranya akhirnya masyarakat memilih memburu dolar sebagai alat lindung nilai.

Bukti dari warga RI yang terus memburu dolar tercermin dari data uang beredar dalam arti sempit (M1) untuk simpanan time deposit valuta asing (valas) ternyata nilainya terus naik, berbanding terbalik dengan tabungan valas.

Ini menunjukkan adanya perubahan perilaku warga RI yang kemungkinan besar memindahkan valasi-nya dari tabungan ke time deposit yang memiliki imbal hasil lebih tinggi, terutama di kondisi era suku bunga tinggi saat ini.

Terlihat pada grafik di bawah ini, time deposit valas pada Mei mencapai Rp320,3 triliun, nilainya naik lebih dari 10% secara tahunan (yoy). Sementara di tabungan valas malah turun sekitar 2,5% yoy.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation