Review Sepekan

Dolar Cetak Rekor Tembus Rp16.445, Ini 5 Alasan Rupiah Gagal Perkasa

Revo M, CNBC Indonesia
22 June 2024 12:30
Karyawan menghitung uang di tempat penukaran uang di money Changer Valuta Artha Mas, Mall Ambasador, Kuningan, Jakarta, (21/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Karyawan menghitung uang di tempat penukaran uang di money Changer Valuta Artha Mas, Mall Ambasador, Kuningan, Jakarta, (21/6/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara signifikan alami penurunan. Bahkan rupiah menyentuh level terendah dalam empat tahun terakhir.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,12% di angka Rp16.445/US$ pada Jumat (21/6/2024). Bahkan di tengah perdagangan, rupiah sempat menyentuh titik terlemahnya yakni di level Rp16.475/US$.

Sedangkan secara mingguan, rupiah kembali mengalami depresiasi sebesar 0,3%.

Posisi rupiah yang menyentuh level psikologis Rp16.400/US$ merupakan yang terparah sejak pandemi Covid-19 yang terjadi pada awal 2020 atau sekitar empat tahun silam.

Pada pekan ini, rupiah cenderung mengalami pelemahan kendati sempat menguat pada Rabu (19/6/2024) pasca neraca perdagangan menunjukkan surplus 49 bulan beruntun sejak Mei 2020.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan, nilai ekspor kembali melebihi impor dengan selisih US$2,93 miliar.

Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M Habibullah menyampaikan bahwa surplus Mei ini lebih tinggi dari sebelumnya dan bulan yang sama tahun lalu

"Surplus Mei 2024 lebih ditopang oleh surplus komoditas nonmigas yaitu US$ 4,26 miliar komoditas penyumbang utama bahan bakar mineral, lemak dan minyak hewan, besi baja," papar Habibullah.

Lebih lanjut, surplus ini lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Mei 2024 akan mencapai US$2,65 miliar.

Hal ini tentu memberikan angin segar kepada pasar keuangan domestik mengingat dolar AS berpotensi semakin banyak yang tersedia di Tanah Air.

Namun keesokan harinya (20/6/2024), rupiah alami pelemahan 0,4% menembus level Rp16.400/US$. Hal ini sontak mengejutkan pasar dan memberikan efek takut serta khawatir karena jika hal ini terus-menerus terjadi, maka negative multiplier effect akan terjadi di Indonesia.

Pada momen tersebut, Bank Indonesia (BI) merilis suku bunga acuan yang kembali ditahan di level 6,25% sejak Mei 2024.

"Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Juni 2024 memutuskan untuk mempertahankan BI rate 6,25%," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (20/6/2024).

Hal ini pada dasarnya sudah diekspektasikan oleh konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 lembaga/institusi dengan sepakat memperkirakan BI akan tetap di level 6,25% atau tidak mengalami kenaikan maupun penurunan pada pertemuan Juni ini.

Gubernur BI, Perry Warjiyo juga mengatakan, pelemahan yang terjadi pada rupiah belakangan ini salah satunya perihal ketidakpastian global khususnya bank sentral AS (The Fed) dalam memangkas suku bunganya.

"Pelemahan rupiah dipengaruhi dampak tingginya ketidakpastian pasar keuangan global terutama terkait ketidakpastian arah fed fund rate, penguatan mata uang dolar AS secara luas dan masih tingginya ketegangan geopolitik," ujar Perry.

Di samping itu, kenaikan permintaan valuta asing oleh korporasi serta kekhawatiran investor pada sisi fiskal juga menjadi pendorong depresiasi rupiah.

Berikut ini lima alasan penyebab rupiah masih cenderung melemah.

1. Ketidakpastian Pemangkasan Suku Bunga The Fed

The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis (13/6/2024) memutuskan untuk menahan suku bunganya di level 5,25-5,5% untuk ketujuh kalinya secara beruntun yakni sejak September 2023 silam.

Dalam Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP) pada rapat Juni ini mencakup grafik yang menjadi obsesi banyak pengamat The Fed yakni "dot plot".

Grafik ini menunjukkan kepada konsumen di mana setiap pejabat Fed melihat kenaikan atau penurunan suku bunga di masa depan, saat ini hingga tahun 2026.Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.

Dari 19 anggota, delapan memperkirakan adanya dua kali pemangkasan, tujuh menginginkan sekali pemangkasan sementara empat tidak ingin ada pemangkasan sama sekali.

Proyeksi baru ini jelas mengindikasikan adanya kecenderungan'hawkish'karena pada proyeksi sebelumnya hanya ada dua yang menentang pemangkasan.

The FedFoto: Dot Plot Juni 2024
Sumber: The Fed

Jika suku bunga The Fed masih tetap tinggi dalam waktu yang lama/high for longer, maka indeks dolar AS (DXY) akan berada di level yang tinggi pula dan tekanan terhadap rupiah akan terus terjadi.

2. Ekonomi AS Cukup Kuat

Data Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur AS menunjukkan fase ekspansif.

PMI manufaktur AS naik ke level tertinggi dalam tiga bulan di 51,7 pada Juni 2024 dari 51,3 pada bulan Mei, mengalahkan perkiraan 51, menurut perkiraan awal.

Angka tersebut menandakan perbaikan kondisi bisnis di sektor produksi barang selama dua bulan berturut-turut.

"Peningkatan ini terjadi secara luas, karena peningkatan permintaan terus mempengaruhi perekonomian. Meskipun dipimpin oleh sektor jasa, yang mencerminkan belanja domestik yang kuat, ekspansi tersebut didukung oleh pemulihan yang sedang berlangsung di bidang manufaktur, yang sepanjang tahun ini sedang menikmati masa pertumbuhan terbaiknya selama dua tahun," papar Kepala Ekonom Bisnis di S&P Global Market Intelligence, Chris Williamson.

Selain itu, data inflasi AS pun masih terbilang tinggi yakni di level 3,3% year on year/yoy untuk periode Mei 2024 dan inflasi inti di angka 3,4% yoy. Hal ini menunjukkan kemampuan atau daya beli masyarakat masih cukup terjaga.

3. Surplus Neraca Perdagangan Relatif Menurun

Neraca perdagangan secara kumulatif periode Januari-Mei 2024 hanya sebesar US$13,06 miliar atau turun US$3,41 miliar dari periode yang sama tahun lalu.

Penurunan terjadi baik dari sisi migas maupun nonmigas yang masing-masing terkoreksi sebesar US$0,23 miliar dan US$3,18 miliar.

Jika dilihat lebih dalam, penurunan neraca perdagangan nonmigas kumulatif paling parah terjadi ke China dari surplus US$0,21 miliar pada periode Januari-Mei 2023 menjadi defisit US$4,73 miliar atau turun hampir US$5 miliar.

Hal ini cukup mengkhawatirkan mengingat perekonomian China belakangan ini tampak mengalami perbaikan namun ekspor Indonesia ke China masih belum mampu menutupi kebutuhan impor yang besar dari China.

4. Impor Kebutuhan Pokok

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menegaskan, permasalahan faktor fundamental itu ialah bahan-bahan pokok kebutuhan masyarakat Indonesia yang masih harus dipenuhi dengan impor. Hal ini membuat kebutuhan dolar pun tentu masih sangat tinggi untuk membeli produk asing tersebut.

BPS mencatat kegiatan impor beras ke Indonesia masih tinggi hingga Mei 2024. Menurut data BPS, pada periode Januari-Mei 2024 impor beras ke Indonesia meningkat 165,27% dari posisi data pada Januari-Mei 2023 sebanyak 854 ribu ton, menjadi 2,2 juta ton pada periode Januari-Mei 2024.

Pemerintahan Presiden Jokowi memang telah menetapkan menetapkan impor pangan sebesar 12,43 juta ton sepanjang tahun 2024. Impor pangan itu terdiri dari impor beras, gula, bawang putih, daging lembu, hingga jagung. Jumlah tersebut telah ditetapkan dalam Sistem Nasional Neraca Komoditas (SINAS NK), yang diputuskan melalui rapat terbatas (ratas) oleh pemerintah.

Bhima menganggap, pangan sebagai komoditas pokok masyarakat, ke depan pun potensi impor oleh pemerintah masih akan tinggi. Disebabkan tak siapnya pemerintah dalam menghadapi perubahan iklim yang memburuk terhadap sektor pertanian dan peternakan. Berakibat pada tipisnya stok pangan di dalam negeri sehingga masih harus dipenuhi dari impor lagi.

5. Transaksi Berjalan Defisit 4 Kuartal Beruntun

BI melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada kuartal I-2024 defisit US$ 6 miliar. Begitu juga dengan transaksi berjalan defisit US$ 2,2 miliar atau 0,6% PDB.

Defisit awal tahun ini lebih dalam dibandingkan kuartal IV-2023 yang berada di angka US$1,1 miliar atau 0,3% dari PDB.

Direktur Ciptadana AM Herdianto Budiarto menyebutkan di era defisit transaksi berjalan pengelolaan portofolio MI masih mengedepankan strategi defensif. Dimana untuk saham MI masuk ke emiten berfundamental positif dan obligasi dengan tenor pendek.

Investor asing juga cenderung akan lebih berhati-hati menempatkan dananya di Indonesia bahkan dalam beberapa waktu terakhir investor asing cenderung keluar dari pasar keuangan domestik.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation