
The Fed Berubah Sikap Soal Ekonomi AS, Efek ke RI Untung Atau Buntung?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) memberi kejutan dalam memproyeksi target inflasi serta suku bunga yang berbeda dari dot plot Maret 2024.
The Fed dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada Kamis (13/6/2024) memutuskan untuk menahan suku bunganya di level 5,25-5,5% untuk ketujuh kalinya secara beruntun yakni sejak September 2023 silam.
Sebelumnya, The Fed telah mengerek suku bunga dengan cukup agresif sejak Maret 2022 hingga Juli 2023 yakni dari 0-0,25% ke angka 5,25-5,5% atau 525 basis poin (bps).
Dalam Ringkasan Proyeksi Ekonomi (SEP) pada rapat Juni ini mencakup grafik yang menjadi obsesi banyak pengamat The Fed yakni "dot plot".
Grafik ini menunjukkan kepada konsumen di mana setiap pejabat Fed melihat kenaikan atau penurunan suku bunga di masa depan, saat ini hingga tahun 2026.Setiap titik dalam dot plot tersebut merupakan pandangan setiap anggota The Fed terhadap suku bunga.
Dari 19 anggota, delapan memperkirakan adanya dua kali pemangkasan, tujuh menginginkan sekali pemangkasan sementara empat tidak ingin ada pemangkasan sama sekali.
Proyeksi baru ini jelas mengindikasikan adanya kecenderungan 'hawkish' karena pada proyeksi sebelumnya hanya ada dua yang menentang pemangkasan.
![]() Sumber: The Fed |
Dengan inflasi yang membutuhkan waktu lebih lama untuk mereda dibandingkan perkiraan para pejabat sebelumnya, The Fed memberi isyarat dalam proyeksi terbarunya bahwa mereka kini memperkirakan akan memangkas suku bunga sekali saja pada tahun ini, turun dari estimasi median yang memperkirakan tiga kali pemotongan pada Maret lalu.
Bahkan dengan satu kali pemotongan pada tahun ini, suku bunga acuan utama The Fed akan tetap berada pada level tertinggi sejak tahun 2006.
Perkiraan tersebut menandakan para pengambil kebijakan siap untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, sebuah keputusan yang dapat berdampak besar pada keuangan konsumen.
Sedangkan pada 2025, The Fed mengindikasikan pemangkasan yang lebih agresif yakni empat kali pemotongan dengan besaran 100 bps sehingga suku bunga ada di angka 4,1% pada 2025.
Bila dihitung dari 2024-2025 maka The Fed diperkirakan akan melakukan lima kali pemangkasan dengan besaran 125 bps.Jumlah pemangkasan ini tetap lebih rendah dibandingkan enam kali pada proyeksi Maret 2024.
Proyeksi The Fed: Tingkat Pengangguran, PDB, Inflasi PCE
Dalam SEP yang dikeluarkan The Fed tidak hanya menunjukkan suku bunga, melainkan terdapat inflasi PCE, pertumbuhan ekonomi (PDB), hingga tingkat pengangguran.
Inflasi PCE AS diperkirakan akan meningkat sebesar 2,6% pada kuartal keempat tahun 2024 dibandingkan tahun lalu, naik dari perkiraan kuartal sebelumnya sebesar 2,4%.
Sementara itu, jika tidak termasuk pangan dan energi, harga "inti" bisa mencapai 2,8% pada tahun 2024, naik dari proyeksi kuartal lalu sebesar 2,6%.
Untuk diketahui, target inflasi The Fed sendiri yakni di level 2%. Maka dari itu, proyeksi angka inflasi yang semakin menjauhi target The Fed pada dasarnya dinilai kurang cukup baik.
Hal ini mengindikasikan bahwa berbagai kebijakan yang diambil pemerintah maupun The Fed belum mampu menekan angka inflasi untuk semakin mendekati target.
Sementara untuk tingkat pengangguran tidak mengalami perubahan untuk 2024 ini yakni tepat di level 4%, tingkat yang dicapai pada bulan Mei untuk pertama kalinya sejak Januari 2022.
Sebagai informasi, tingkat pengangguran merupakan salah satu indikator ekonomi yang digunakan untuk mengukur kesehatan suatu perekonomian.
Nilai ini cenderung berfluktuasi seiring dengan siklus bisnis, meningkat pada saat resesi dan menurun pada saat ekspansi. Indikator ini merupakan salah satu indikator yang paling sering diperhatikan oleh para pembuat kebijakan, investor, dan masyarakat umum.
Pertumbuhan ekonomi AS sepanjang 2024, 2025, hingga 2026 pun diperkirakan tumbuh moderat di sekitar 2%.
Hal ini menunjukkan bahwa AS diproyeksikan masih akan tetap tumbuh namun tidak digenjot dengan signifikan.
Dalam laporan tersebut, disampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi tetap lebih baik dari perkiraan, meskipun terjadi kenaikan suku bunga oleh The Fed, yang merupakan siklus pengetatan suku bunga tercepat sejak tahun 1970an.
"Indikator-indikator terbaru menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi terus berkembang dengan kecepatan yang solid," demikian pernyataan FOMC.
Ekonom Senior Bank Central Asia (BCA), Barra Kukuh Mamia mengungkapkan bahwa hasil FOMC cenderung bersifat netral. Ia mengatakan bahwa The Fed saat ini bersikap lebih berhati-hati dengan risiko inflasi di tengah inflasi AS yang tercatat melandai belakangan ini.
Namun demikian, dengan masih adanya harapan pemangkasan suku bunga, pasar cenderung senang dan menyambut positif.
Bagaimana Dampaknya ke Indonesia?
Keputusan The Fed Kamis dini hari sejauh ini memberi dampak positif ke pasar keuangan Indonesia. Pada Kamis (13/6/2024), rupiah menguat 0,02% dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menanjak 0,3%. Sementara itu, imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun melandai 0,58% ke 6,98%. Imbal hasil sudah melandai dari 7,0%.
Imbal hasil berbanding terbalik dengan harga SUN. Imbal hasil yang melandai menandai Surat Utang Berharga Negara (SBN) sedang dicari investor sehingga harganya naik.
"Perkembangan ini berdampak positif ke pasar keuangan Indonesia seperti yang tercermin di rupiah dan imbal hasil SBN," tutur Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro dalam analisanya.
Namun, dia mengingatkan jika proyeksi masih hawkish. Bank Mandiri juga tetap mempertahankan proyeksi nilai tukar rupiah akan ada di Rp 15.813 pada akhir 2023 dan imbal hasil SUN tenor 10 tahun di 6,82%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)