
Dolar Tembus Rp16.300, Ini Sebenarnya yang Terjadi Pada Rupiah!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali tak perkasa dihadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa (11/6/2024). Hal ini bersamaan dengan kuatnya indeks dolar AS (DXY) yang menekan mata uang Garuda.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah mengalami depresiasi 0,09% hari ini ke angka Rp16.290/US$ dan bahkan pada intraday sempat menyentuh level psikologis Rp16.300/US$ yang terakhir kali disentuh pada 6 April 2020 atau empat tahun lalu.
Sementara DXY sendiri merangkak naik pada Jumat (7/6/2024) dan Senin (10/6/2024) masing-masing sebesar 0,75% dan 0,25%.
Anjloknya rupiah ini disebabkan baik dari faktor internal maupun eksternal. Berikut ini beberapa alasan dari para ekonom.
1. David Sumual, Kepala Ekonom Bank Central Asia
David menyampaikan kepada CNBC Indonesia bahwa pelemahan nilai tukar disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya arus modal asing yang terus bergerak keluar (capital outflow).
Outflow asing terutama dari Surat Berharga Negara (SBN) dan akhir-akhir ini juga dari saham, selain kebutuhan dolar untuk pembayaran utang dan impor juga cukup tinggi menjadi penyebab depresiasi rupiah.
Ia juga menyampaikan bahwa dari sisi eksternal, inflasi AS masih stubborn khususnya di sektor jasa. Selain itu, data non-farm payroll (NFP) juga jauh di atas ekspektasi pasar sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi AS masih cukup robust.
Oleh karena itu, bank sentral AS (The Fed) diperkirakan hingga kuartal III-2024 masih tampak no landing meskipun bank sentral Eropa (ECB) telah memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps).
2. Rully Wisnubroto, Ekonom Senior Mirae Asset Sekuritas
Rully mengungkapkan situasi global yang tidak menentu menjadi penyebab aliran modal asing keluar.
"Kalau melihat dari sektor finansial, tidak bisa terhindar dari sentimen global. Dampaknya terhadap perekonomian tergantung dari berapa lama rupiah ini tertekan, dan kondisinya sangat sulit untuk di kontrol, even oleh BI," jelasnya kepada CNBC Indonesia.
Masalah lain adalah situasi tensi geopolitik yang semakin memanas.
"Faktor geopolitik selalu berubah, dari yang lalu muncul dari timur tengah, saat ini muncul dari Eropa, dengan meningkatnya kekuatan politik yang beraliran ekstrim kanan, yaitu Marine LePen, yang terus menekan nilai tukar Euro, sehingga USD semakin kuat," pungkasnya.
3. Andry Asmoro, Kepala Ekonom Bank Mandiri
Andry mengatakan bahwa pelemahan rupiah tampak akan terus terjadi setidaknya hingga pengumuman The Fed pada Kamis dini hari nanti (13/6/2024).
Selama The Fed belum ada indikasi pemangkasan suku bunga, maka tekanan terhadap rupiah diperkirakan akan terus terjadi.
4. Ralph Birger Poetiray, Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega
Faktor pelemahan rupiah didominasi oleh sisi eksternal khususnya pasca job data yang naik tajam.
Variabel penting yang perlu diperhatikan yakni data inflasi AS yang akan dirilis esok hari (12/6/2024) dan The Fed pada Kamis dini hari nanti.
Ke depan, ia perkirakan rupiah mampu kembali menguat dan stabil lagi menginga PCE deflator AS terpantau stabil bahkan cenderung turun.
Lebih lanjut, ia sampaikan jika data inflasi dan hasil rapat The Fed nanti tidak bagus, maka rupiah akan kembali tertekan.
5. Agus Basuki Yanuar, Presiden Direktur Samuel Aset Manajemen
Agus menyampaikan penyebab depresiasi rupiah terdiri dari empat hal, yakni outflow dana asing dari obligasi dan saham, repatriasi dividen untuk investor asing dari perusahaan asing maupun Penanaman Modal Asing (PMA), musim haji di mana Jemaah haji dan biro perjalanan haji membutuhkan valuta asing (valas), dan keperluan membayar utang dolar di akhir kuartal II-2024.
Ia juga mengutarakan bahwa puncak repatriasi dividen dan keperluan membayara utang dolar yakni pada Juni 2024 sehingga setelah Juni, diharapkan rupiah dapat bergerak lebih stabil.
6. Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia
Faisal meyakini rupiah yang tersungkur bukan disebabkan oleh faktor dalam negeri, melainkan faktor luar negeri, terutama apa yang terjadi di AS.
Ketika ekonomi AS terpantau membaik, dolar AS turut merespon dengan mengalami kenaikan atau menarik kapital ke AS sehingga menekan mata uang emerging market termasuk Indonesia.
Sementara di sisi dalam negeri, perhatian perlu tertuju pada transaksi berjalan yang defisit dan juga neraca perdagangan yang cenderung semakin tipis surplusnya.
7. Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios)
Senada dengan Faisal, Bhima menyampaikan pelemahan rupiah bertubi-tubi datang dari eksternal, seperti arah kebijakan The Fed soal suku bunga, konflik geopolitik israel-palestina, China melambat permintaan domestiknya, sampai harga komoditas yang tidak alami bonanza.
Selain tekanan dari eksternal, fundamental ekonomi Indonesia juga perlu dicermati.
Kinerja industri manufaktur terutama yang berorientasi ekspor biasa-biasa saja, bahkan beberapa pabrik ekspor alas kaki tutup produksi. Nikel harganya turun tajam, karena overproduksi.
8. Myrdal Gunarto, Global Market Economist Maybank Indonesia
Myrdal mengungkapkan data makroekonomi yang lebih baik khususnya dari inflasi AS serta keputusan suku bunga The Fed akan memberikan optimisme bagi pergerakan rupiah.
Sementara dari dalam negeri, Myrdal mengatakan bahwa kondisi makroekonomi Indonesia masih tergolong cukup baik dengan cadangan devisa (cadev) yang masih solid dan mengalami peningkatan.
Peningkatan cadangan devisa pada bulan Mei2024terlihat wajar karena disebabkan oleh hot money inflow di pasar utang pemerintah yang mulai kembali pasca dampak perang Israel, Iran memiliki risiko yang terbatas, selain itu pada bulan tersebut juga berhasil penerbitan Samurai Bond.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)