
Pengusaha Tekstil RI Teriak Berdarah-darah Kena Hantaman Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs Rupiah terhadap Dolar AS terpantau dalam tren pelemahan. Rupiah terpantau sempat melemah 0,15% ke angka Rp16.300/US$ terhadap dolar AS di pagi hari ini, Selasa (11/6/2024). Dilansir dari Refinitiv, rupiah tercatat menyentuh level psikologis baru dalam intraday hari ini, setelah empat tahun terakhir, tepatnya pada 6 April 2020, rupiah sempat bertengger di angka Rp16.380/US$.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, tren pelemahan rupiah saat ini menambah beban bagi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di dalam negeri yang tengah mengalami pukulan beruntun. Mulai dari pelemahan ekspor, serbuan barang impor, kesulitan akses modal kerja, hingga pelemahan rupiah.
Kondisi ini, ujarnya, menyebabkan industri TPT bakal sulit bangkit, terutama jika pemerintah tak turun tangan segera.
"Ini kan sudah hampir selama 2 minggu ini kita lihat rupiah melemah. Ini efek juga ke industri TPT di tengah kondisi yang sudah tertekan sana-sini. Saat ini kita juga sudah tidak full capacity, hanya sekitar 45%. Pelemahan rupiah ini memberi beban tambahan di tengah kondisi industri tekstil yang sudah bisa dibilang berdarah-darah," katanya dalam Power Lunch CNBC Indonesia, dikutip Selasa (11/6/2024).
"Pelemahan rupiah ini efeknya ke industri yang membeli bahan baku dalam dolar lalu produknya dijual ke industri hilir dalam negeri dengan kurs rupiah. Ini tentu memberikan beban tambahan," ujarnya.
Redma menuturkan, pada tahun 2023, industri TPT di dalam negeri bahkan tumbuh negatif. Terpukul oleh pelemahan ekspor, hingga memaksa perusahaan melakukan efisiensi di lini produksi, terpaksa dengan memangkas karyawan alias pemutusan hubungan kerja (PHK).
"Kondisi sempat membaik di kuartal pertama tahun 2024 ini. Setelah pemerintah menerbitkan Permendag No 36/2023. Karena masalah utama yang selalu dihadapi industri tekstil ini kan membanjirnya impor. Dengan Permendag No 36/2023 itu, ada perbaikan. Namun, pertumbuhan positif di kuartal pertama 2024 juga karena memang di kuartal I-2023 itu negatif," tukasnya.
"Kalau kita bicara daya beli, buying power masyarakat itu masih ada. Masalahnya adalah barang yang dibeli itu produksi mana? Itu yang terjadi sampai sekarang, barang yang dibeli adalah barang impor. Terutama dengan diubahnya Permendag No 36/2023 ke Permendag No 8/2024," sebut Redma.
Saat ini, lanjut dia, perusahaan tekstil di dalam negeri berusaha untuk bertahan. Namun, hal itu hanya bisa dilakukan oleh perusahaan dengan cashflow yang baik dan memiliki pasar ekspor yang kuat dan mendukung.
Sementara, perusahaan dengan cashflow yang sudah terganggu dan hanya berorientasi pasar lokal tidak akan bisa bertahan. Bahkan, dia memprediksi, setidaknya ada 10 perusahaan tekstil yang kemungkinan bakal ambruk dan gulung tikar.
"Ke depan akan ada lebih 10 perusahaan yang akan gulung tikar, skalanya dengan tenaga kerja 1.000-7.000 pekerja. Perusahaan menengah yang cashflownya sudah tergerus habis. Tertekan rupiah, suku bunga tinggi, nggak bisa dapat modal kerja lagi," paparnya.
"Karena itu, kami berharap pemerintah fokus menyelamatkan industri tekstil karena ini adalah sektor yang bukan cuma padat karya, tapi juga bisa saving devisa. Karena itu, seperti yang disampaikan Presiden Jokowi pada Oktober 2023 lalu, industri tekstil bisa jadi sektor yang saving devisa. Karena itu kami berharap impor akan terus dikendalikan," pungkas Redma.
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Diam-diam PHK Pabrik Tekstil RI Makan Korban 1 Juta Orang Pekerja
