
Rupiah & IHSG 'Kebakaran', Awal Pekan Jadi Suram!

Jakarta, CNBC Indonesia - Awal perdagangan pekan ini dibuka cukup suram khususnya bagi rupiah dan bursa saham Indonesia. Pendorong utama pelemahan ini ditengarai akibat kondisi eksternal yang datang dari Amerika Serikat (AS).
Dilansir dari Refinitiv pada hari ini, Senin (10/6/2024) pukul 10:21 WIB, rupiah terpantau ambruk 0,62% ke angka Rp16.290/US$ atau nyaris menyentuh level psikologis baru Rp16.300/US$ yang sebelumnya sempat disentuh pada jaman Covid-19 atau sekitar empat tahun lalu.
Sementara indeks dolar AS (DXY) sendiri melonjak signifikan pada Jumat lalu (7/6/2024) sebesar 0,75% dan hari ini kembali merangkak naik ke level 105,19 atau naik 0,29%.
Tidak sampai disitu, pasar saham Indonesia juga tersungkur 0,63% ke angka 6.852 atau posisi terendah sejak 14 November 2023 (sekitar tujuh bulan lalu).
Penurunan IHSG di sesi I hari ini cukup mengkhawatirkan mengingat pada akhir perdagangan pekan lalu, IHSG juga anjlok 1,1% ke angka 6.897.
Tekanan demi tekanan terhadap pasar keuangan domestik terjadi diikuti keluarnya dana asing dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) serta pasar saham.
Bank Indonesia (BI) merilis data transaksi 3-6 Juni 2024, bahwa investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp0,66 triliun di pasar SBN dan jual neto Rp1,45 triliun di pasar saham.
Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 6 Juni 2024, investor asing tercatat jual neto Rp36,02 triliun di pasar SBN dan jual neto Rp8,01 triliun di pasar saham.
Laporan data tenaga kerja AS lebih kuat dari perkiraan memberikan dampak signifikan terhadap Indonesia.
Departemen Ketenagakerjaan AS pada Jumat malam (7/6/2024) mengumumkan data pekerjaan tercatat di luar pertanian melonjak ke 272.000 pekerjaan pada Mei 2024. Angka ini lebih tinggi dari konsensus yang hanya proyeksi naik ke 185.000 dari 175.000 pekerjaan pada April. Sementara untuk tingkat pengangguran naik tipis menjadi 4%.
Ketika pasar tenaga kerja masih ketat, maka penghasilan masyarakat AS masih akan memenuhi untuk konsumsi bertahan kuat. Imbasnya, inflasi kemungkinan besar masih akan sulit untuk turun mencapai target bank sentral AS (The Fed).
Dikutip dari Reuters, Kepala Penelitian Regional Ing di Amerika, Padhraic Garvey mengatakan bahwa sangat sulit bagi The Fed untuk memangkas suku bunganya di tengah angka yang besar seperti gaji.
Hal ini berdampak negatif bagi risk asset termasuk pasar saham global dan Indonesia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)