
5 Petaka Ancam RI Akibat Dolar Rp 16.000 & Bunga Tinggi: HP Mahal-PHK

Jakarta, CNBC Indonesia - Kondisi ekonomi dalam negeri diperkirakan masih akan berat ke depan akibat ketidakpastian global yang terus terjadi. Hal ini semakin diperparah karena ketidakpastian diperkirakan akan terjadi bahkan hingga 2025.
Ketidakpastian datang dari kondisi geopolitik di Timur Tengah yang memanas serta belum adanya kejelasan mengenai pemangkasan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Dua faktor tersebut memicu capital outflow sehingga mata uang banyak negara, termasuk rupiah jatuh. Suku bunga The Fed yang masih sulit turun juga membuat bank sentral banyak negara, termasuk Bank Indonesia, menahan diri bahkan mengerek suku bunga kembali karena derasnya outflow da suku bunga tinggi di AS.
Setidaknya dua hal yang menjadi perhatian masyarakat maupun pengusaha yakni suku bunga yang tinggi dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terpantau tembus Rp16.000/US$ belakangan ini.
Suku bunga Bank Indonesia (BI) tercatat mengalami kenaikan sejak Agustus 2022 dari 3,5% menjadi 3,75% dan dilanjutkan hingga pada Mei 2024 berada di angka 6,25%.
Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak Juli 2016 atau sekitar delapan tahun terakhir.
Tidak sampai disitu, nilai tukar rupiah juga berada di level yang cukup mengkhawatirkan yakni di atas Rp16.000/US$.
Posisi rupiah di sekitar level Rp16.000/US$ telah terjadi sejak 16 April 2024 atau di awal pembukaan perdagangan pasca libur Lebaran 2024 yang terjadi sekitar 10 hari.
Pada saat itu, rupiah mengalami depresiasi dari angka Rp15.840/US$ menjadi Rp16.170/US$ dan hingga kini, rupiah masih berada dikisaran Rp16.000/US$ atau tepatnya Rp16.215/US$ pada penutupan perdagangan Selasa (4/6/2024).
Dengan kata lain, posisi rupiah yang berada di sekitar Rp16.000/US$ telah terjadi dalam kurun waktu 1,5 bulan terakhir.
Ketidakpastian global masih menjadi perbincangan dan menjadi tema besar pada 2024 bahkan 2025. Hal ini disampaikan Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI, Selasa (4/6/2024).
"Ekonomi global tahun depan itu juga masih tidak pasti," ungkap Perry.
Masalah berikutnya adalah inflasi global yang masih tinggi. Meskipun banyak negara sudah menaikkan suku bunga acuan, akan tetapi sulit turun dalam level yang aman.
Perry menyebutkan bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (the Fed) diperkirakan menurunkan suku bunga acuan pada akhir tahun.
"Ini membuat ketidakpastian kenapa DXY masih sangat kuat," jelasnya. Suku bunga obligasi pemerintah AS yang tinggi karena inflasi dan tingginya utang bisa berdampak terhadap penerbitan surat utang pemerintah Indonesia.
Persoalan yang kini menjadi sorotan adalah tensi geopolitik."Itu akan berdampak ke ekonomi Indonesia kita harus kerja keras untuk tumbuhkan suatu pertumbuhan kita," papar Perry.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani juga menjelaskan suku bunga tinggi di banyak negara membuat cost of borrowing naik sehingga membebani perusahaan.
Berikut ini hal-hal yang diakibatkan tingginya suku bunga BI serta pelemahan rupiah.
1. Harga Barang Impor Naik
Sejak November 2023, impor Indonesia terpantau terus mengalami penurunan dari US$19,59 miliar menjadi US$16,06 miliar pada April 2024, turun 10,60% dibandingkan Maret 2024 atau naik 4,62% dibandingkan April 2023..
Deputi Bidang Distribusi dan Jasa, Pudji Ismartini mengungkapkan penurunan nilai impor bulanan disebabkan karena penurunan nilai impor nonmigas dengan andil penurunan minus 8,75%.
Melemahnya nilai tukar membuat barang impor semakin mahal sehingga permintaan barang dari luar negeri juga turun. Mahalnya barang impor ini menekan banyak angka mulai dari pengusaha hingga masyarakat biasa.
Perusahaan yang mengandalkan bahan mentah impor harus membayar lebih mahal bahan baku mereka, terutama sektor farmasi dan semen.
Masyarakat biasa juga dirugikan dengan melemahnya rupiah karena barang konsumsi yang diimpor semakin mahal. Di antaranya adalah kedelai, susu, barang elektronik, laptop, handphone, hingga buah-buahan.
2. Konsumsi Masyarakat Tertekan
Setidaknya sejak 2022, data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa konsumsi memang cenderung mengalami kenaikan pada bulan Ramadhan dan dilanjutkan pada momen Lebaran.
Namun jika dilihat porsi alokasi konsumsi masyarakat pada momen Ramadhan dan Lebaran 2022, 2023, dan 2024, terlihat jelas bahwa tahun ini porsi konsumsi cenderung lebih rendah.
Lebih lanjut, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tampak mengalami kenaikan namun tidak mengalami kenaikan sebesar pada 2022 di momen Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Pada momen Ramadhan dan Lebaran 2024, IKK berada di angka 123,8 dan 127,7 atau naik 3,9 poin. Berbeda halnya pada 2022 yang di momen yang sama mengalami kenaikan sebesar 15,8 dari 113,1 pada bulan April menjadi 128,9 pada bulan Mei 2022.
Begitu pula dengan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) di momen Ramadhan dan Lebaran 2022 berada di angka yang cukup tinggi dan optimisme yang jelas. Berbeda di tahun 2023 dan 2024 yang tampak lebih rendah.
3. PHK Merajalela
Beban operasional yang terjadi di perusahaan/bisnis berdampak pula terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan khususnya dengan tujuan efisiensi.
Ketika keuangan perusahaan terguncang, maka agar perusahaan tetap bertahan, salah satu caranya yakni dengan menekan pengeluaran yaitu dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Suku bunga tinggi juga bisa menghambat perusahaan untuk melakukan ekspansi bisnis karena ongkos pinjaman yang mahal. Sementara itu, pelemahan nilai tukar akan membebani perusahaan yang mengimpor bahan mentah dalam jumlah besar seperti farmasi dan tekstil dan produk tekstil.
Baru-baru ini, PT Sepatu Bata Tbk (BATA) terpaksa harus menyetop pabrik produksi di daerah Purwakarta, Jawa Barat. Sebanyak 233 pekerja harus menerima kenyataan pahit yaitu terkena PHK massal.
Menurut catatan CNBC Indonesia, dalam kurun waktu setahun terakhir (2023-2024), sudah ada 8 pabrik 'raksasa' yang tutup di Jabar. Sebelum pabrik Bata yang akhirnya tutup dan melakukan PHK massal terhadap 233 pekerjanya, publik juga gempar karena tutupnya pabrik ban PT Hung-A Indonesia yang beroperasi di Cikarang, Jawa Barat, PT Hung-A Indonesia tutup pada awal Februari 2024 yang menyebabkan seluruh karyawan yang berjumlah sekitar 1.500 orang diberhentikan sejak 16 Januari 2024.
Kementerian Ketenagakerjaan sendiri telah merilis jumlah angka PHK pada tahun 2024 (Januari-Maret) ini. Khusus di Jawa Barat, angka PHK berjumlah 2.650 dengan rincian Januari sebanyak 306 pekerja terkena PHK, Februari 654 pekerja, dan Maret 1.690 pekerja.
4. Beban Bunga Melonjak
Suku bunga yang tinggi berdampak negatif bagi perusahaan yang memiliki korelasi dan sensitivitas yang tinggi terhadap perubahan suku bunga.
Sebagai contoh, perbankan di Indonesia memiliki beban bunga (interest expenses) yang tumbuh jauh lebih besar dibandingkan pendapatan bunga (interest income).
Untuk diketahui, beban bunga merupakan biaya yang harus dikeluarkan perusahaan yang diberikan kepada pihak lain. Semakin tinggi beban bunga, maka hal ini akan mengurangi laba bersih yang diterima perusahaan.
Enam perbankan besar di Indonesia, yakni Bank Mandiri (BMRI), Bank Rakyat Indonesia (BBRI), Bank Central Asia (BBCA), Bank Negara Indonesia (BBNI), Bank Tabungan Negara (BBTN), dan Bank Syariah Indonesia (BRIS) memiliki pertumbuhan beban bunga yang lebih besar dibandingkan pendapatan bunga dalam empat bulan pertama 2024 dibandingkan 2023.
5. Kenaikan Kredit Macet Perusahaan
Kredit macet atau yang dikenal juga Non-Performing Loan berpotensi akan meningkat di tengah era suku bunga yang tinggi.
Terkhusus bagi masyarakat yang meminjam uang/kredit ke perbankan dan akan memasuki era floating rate (suku bunga mengambang), maka suku bunga yang tinggi akan membebankan nasabah.
Jika nasabah masih memiliki dana atau ruang yang cukup untuk membayar utang kredit, maka rasio NPL perbankan (sebagai kreditur) tidak akan terganggu.
Namun berbeda ceritanya jika dana nasabah (debitur) terbatas, maka besar kemungkinan nasabah tidak mampu membayar utang hingga akhirnya kredit macet.
Ketika nasabah mengalami kredit macet, maka hal ini akan terhitung menjadi NPL dan angka NPL perbankan akan mengalami kenaikan.
Bila hal ini terjadi, maka perspektif investor terkhusus pihak asing kepada Indonesia dan perusahaan perbankan akan menjadi kurang baik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)