Daftar Kutukan IHSG "Sell in May and Go Away", BREN Jadi Biang Kerok

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
03 June 2024 08:15
Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Masih Dihantui Virus Corona, IHSG Merah. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup merana pada perdagangan Jumat (31/5/2024) akhir pekan lalu sekaligus akhir Mei 2024, di mana kinerja IHSG menjadi yang terburuk sepanjang tahun ini.

IHSG ditutup merosot 0,9% di posisi 6.970,74. IHSG pun berakhir di zona psikologis 6.900, menjadi yang terendah sepanjang tahun ini. Sejatinya, terakhir IHSG berada di level psikologis ini yakni pada November 2023 lalu.

Diketahui, IHSG sepanjang tahun ini sudah ambles hingga 4,15%. Bahkan pada tahun ini, kinerja IHSG di Mei 2024 menjadi yang terburuk untuk sementara ini dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya.

IHSG pada Mei ambles 3,64%, atau menjadi yang terburuk bila dibandingkan pelemahan pada Januari, Maret, dan April 2024.

Kinerja IHSG bulanan pada Mei 2024 juga memperpanjang buruknya pasar saham RI. Dalam 10 tahun terakhir, IHSG hanya hijau selama tiga kali dan selebihnya merah.

Koreksi IHSG hingga menyentuh level psikologis 6.900 pun semakin menjauhi level tertinggi sepanjang masanya yang sempat dicetak pada 14 Maret lalu tepatnya di 7.433,31. Dari posisi tersebut hingga akhir pekan lalu, IHSG sudah ambruk 6,22%.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan akhir pekan lalu mencapai Rp 35 triliun dengan volume transaksi mencapai 30 miliar lembar saham dan sudah ditransaksikan sebanyak 1 juta kali.

Meski ambles, tetapi investor asing pada perdagangan akhir pekan lalu tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy) mencapai Rp 18,81 miliar di pasar reguler. Hal ini tentunya berkebalikan dengan posisi sehari sebelumnya yang mencatatkan penjualan bersih (net sell) hingga mencapai Rp 1,1 triliun di pasar reguler.

Namun dalam sepekan terakhir, asing masih mencatatkan net sell hingga Rp 5,16 triliun di pasar reguler. Sepanjang Mei 2024, asing telah melepas saham-saham RI hingga mencapai Rp 14,87 triliun dan sepanjang tahun ini sudah net sell hingga Rp 13,39 triliun.

Saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) menjadi pemberat terbesar IHSG selama tiga hari beruntun, di mana pada akhir pekan lalu saham BREN membebani IHSG hingga mencapai 35,2 indeks poin.

Saham BREN pun terkena auto reject bawah (ARB) selama tiga hari beruntun sejak Selasa pekan lalu, atau sejak suspensi kedua BREN dibuka oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).

Hal ini lantaran perdagangan saham BREN mempergunakan sistem full call auction (FCA), karena saham BREN pun masuk kedalam papan pemantauan khusus dan juga diberikan notasi khusus X oleh BEI.

Posisi BREN yang menjadi salah satu saham berkapitalisasi pasar besar (big cap), jika terus-terusan mengalami ARB, maka IHSG bakal sulit untuk bangkit, jika saham big cap lainnya, terutama bank raksasa terus lesu.

Padahal dalam beberapa bulan terakhir, saham BREN dan beberapa emiten Prajogo Pangestu lainnya sempat menjadi penggerak utama IHSG, membuat komposisi big cap yang sebelumnya kebanyakan diisi oleh bank raksasa, kemudian digeser oleh beberapa saham Prajogo, sehingga IHSG pun bergantung kepada saham tersebut.

Namun sejak BREN terkoreksi parah selama tiga hari beruntun, posisi big cap mulai kembali seperti semula, di mana bank raksasa sepertinya mulai kembali unggul dalam posisi big cap di Indonesia.

IHSG ambles pada akhir pekan lalu meski sentimen pasar cenderung membaik setelah imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) mulai melandai kemarin.

Pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu, yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) acuan tenor 10 tahun melandai 5 basis poin (bp) menjadi 4,502%, turun dari posisi tertingginya sejak awal Mei 2024.

Melandainya yield Treasury AS terjadi setelah data proyeksi kedua dari pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal I-2024 tumbuh lebih lambat dari perkiraan sebelumnya dan data klaim pengangguran terbaru menunjukkan adanya kenaikan.

Departemen Perdagangan melaporkan PDB riil AS meningkat pada tingkat tahunan sebesar 1,3% pada kuartal pertama, turun dari perkiraan awal sebesar 1,6% tetapi sedikit lebih buruk dibandingkan perkiraan Dow Jones sebesar 1,2%.

Pengurangan konsumsi, dari pertumbuhan 2,5% menjadi 2%, merupakan penyebab utama revisi penurunan tersebut.

Selain itu, data klaim pengangguran mingguan AS untuk periode pekan yang berakhir 25 Mei 2024 terpantau meningkat yakni menjadi 219.000, dari sebelumnya pada April lalu sebanyak 216.000 klaim.

Kutukan Sell In May
Buruknya kinerja IHSG pada Mei tahun ini menegaskan "kutukan" Sell in May and Go Away. Hal ini seperti IHSG terkena fenomena yang biasanya terjadi di pasar saham global, utamanya di Amerika Serikat (AS) di Mei. Fenomena tersebut yakni 'Sell on May and Go Away'.

Perlu diketahui, fenomena ini mengacu pada strategi investor mengurangi porsi saham pada Mei. Misalnya, para investor asing meninggalkan pasar saham untuk pergi berlibur selama musim panas, lalu masuk kembali ke pasar saham pada November.

Fenomena tersebut awalnya berasal dari sebuah pepatah kuno di Inggris yang berbunyi: "Sell in May and go away, and come back on St. Leger's Day".

Pepatah yang biasa dilontarkan di antara para pedagang, bangsawan, dan bankir di kota London, Inggris ini sebetulnya merujuk pada kebiasaan mereka yang suka meninggalkan kota selama berbulan-bulan sepanjang musim panas untuk kemudian kembali pada pertengahan September untuk menonton gelaran pacuan kuda, St. Leger's Day, di arena balap Doncaster, South Yorkshire.

Kebiasaan orang Inggris tersebut ternyata juga mirip seperti yang ditemukan di Amerika Serikat (AS). Ketika memasuki bulan Mei, para trader dan investor di AS cenderung memilih menghabiskan waktunya untuk liburan musim panas yang biasanya berlangsung antara bulan Mei hingga Oktober.

Pada akhirnya, fenomena tersebut memiliki dampak riil pada kinerja pasar modal di AS selama lebih dari setengah abad. Hal ini dibuktikan lewat kinerja historis saham yang buruk selama periode enam bulan dari Mei hingga Oktober.

Namun, beberapa pengamat menilai bahwa fenomena ini belum terjadi di Indonesia. Koreksi IHSG di Mei yang cenderung lebih banyak dalam lima tahun terakhir terjadi karena disebabkan kondisi ekonomi saat itu, mulai dari Covid-19 hingga perang Rusia-Ukraina.

Fenomena Sell on May and Go Away juga kerap digunakan investor ketika mereka memiliki kecenderungan untuk menjual saham di awal Mei. Lalu mereka cenderung membeli kembali pada awal November.

Fenomena ini mencuat karena kepercayaan bahwa secara historis performa saham pada periode Mei-Oktober lebih rendah dibandingkan November sampai April.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan:Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation