Duh! Saham-Saham Bank Ambruk Lagi, Gara-Gara Asing atau Tapera?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
29 May 2024 13:26
Pekerja melintas di depan layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin, (1/4/2024). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham perbankan kembali lesu pada perdagangan sesi I Rabu (29/5/2024), di mana saham perbankan raksasa kembali terkoreksi dan membebani Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Dari saham perbankan raksasa, kelima saham kompak ambles pada sesi I hari ini, dengan saham PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS) menjadi yang paling parah koreksinya pada sesi I hari ini, yakni mencapai 4,37% ke posisi Rp 2.190/unit.

Bahkan, hampir seluruh saham perbankan raksasa menjadi pemberat IHSG pada sesi I hari ini, dengan saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menjadi pemberat terbesar yakni mencapai 18,2 indeks poin.

Berikut pergerakan saham bank raksasa pada sesi I hari ini.

Selain perbankan raksasa, saham perbankan dengan kapitalisasi pasar menengah (mid cap) atau bank dengan KBMI 3-4 juga secara mayoritas melemah pada sesi I hari ini.

Setidaknya ada tujuh saham perbankan mid cap yang terkoreksi pada sesi I hari ini, dengan empat saham ambles lebih dari 1%, sedangkan tiga sisanya terkoreksi kurang dari 1%.

Berikut pergerakan saham bank mid cap pada sesi I hari ini.

Sementara untuk saham bank digital, secara mayoritas juga menguat pada hari ini. Ada empat saham bank digital yang terkoreksi pada hari ini, dengan saham PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) yang menjadi paling parah koreksinya yakni mencapai 3,76% menjadi Rp 895/unit.

Berikut pergerakan saham bank digital pada sesi I hari ini.

Terakhir, saham bank mini atau bank dengan KBMI 1-2 juga secara mayoritas melemah, dengan saham PT Bank JTrust Tbk (BCIC) menjadi yang paling parah koreksinya pada sesi I hari ini, yakni mencapai 3,12% ke Rp 93/unit.

Berikut pergerakan saham bank mini pada sesi I hari ini.

Dalam setidaknya hampir dua bulan terakhir sejak April lalu, saham perbankan terutama perbankan raksasa terus membentuk tren bearish atau tren penurunan.

Penurunan saham-saham perbankan tercatat sejak awal April 2024 setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengumumkan siaran pers SP-41/OJK/GKPB/III/2024 mengenai berakhirnya stimulus restrukturisasi kredit perbankan dalam rangka penanganan pandemic Covid-19.

Ambruknya saham perbankan juga disebabkan besarnya aliran dana asing keluar ataucapital outflowdi sektor tersebut.

Setidaknya dalam sebulan terakhir, asing masih melepas saham-saham perbankan raksasa, di mana saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) masih menjadi yang paling banyak dilepas asing hingga hampir sebulan terakhir, yakni mencapai Rp 10,5 triliun.

Kedua yakni saham BMRI yang dilepas asing mencapai Rp 2,5 triliun dalam hampir sebulan terakhir. Hal ini menunjukkan adanya aksi taking profit dari investor asing setelah profit daricapital gainsekaligus dividen yang telah dirilis.

Penurunan beberapa saham perbankan membawa pengaruh signifikan dengan melemahnya pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Tercatat sejak awal April 2024 hingga sesi I hari ini, IHSG mencatatkan penurunan hingga 1,04%.

Seperti diketahui, saham-saham perbankan raksasa sempat mencetak rekor tertinggi pada Februari 2024 hingga awal Maret 2024. Namun ketika memasuki April, saham perbankan raksasa tersebut mulai lesu dan makin menjauhi level rekor tertingginya.

Sementara itu,OJK resmi mengakhiri kebijakan stimulus restrukturisasi kredit perbankan untuk dampak Covid-19 pada 31 Maret 2024. Berakhirnya kebijakan tersebut konsisten dengan pencabutan status pandemi Covid-19 oleh pemerintah pada Juni 2023, serta mempertimbangkan perekonomian Indonesia yang telah pulih dari dampak pandemi, termasuk kondisi sektor riil.

Restrukturisasi kredit yang diterbitkan sejak awal 2020 telah banyak dimanfaatkan oleh debitur terutama pelaku UMKM. Stimulus restrukturisasi kredit merupakan bagian dari kebijakan counter cyclical dan merupakan kebijakan yang sangat penting (landmark policy) dalam menopang kinerja debitur, perbankan, dan perekonomian secara umum untuk melewati periode pandemi.

OJK menilai kondisi perbankan Indonesia saat ini memiliki daya tahan yang kuat (resilient) dalam menghadapi dinamika perekonomian dengan didukung oleh tingkat permodalan yang kuat, likuiditas yang memadai, dan manajemen risiko yang baik.

Kebijakan stimulus OJK yang merupakan kebijakan sangat penting (landmark policy) dalam menjaga ketahanan sektor perbankan selama masa pandemi, berakhir sesuai dengan masa berlakunya. Kontribusi ini merupakan kisah keberhasilan (success story) kontribusi signifikan sektor perbankan menopang perekonomian nasional melewati periode pandemi.

Untuk memastikan kelancaran normalisasi kebijakan tersebut, Bank tetap dapat melanjutkan restrukturisasi kredit Covid-19 yang sudah berjalan. Sedangkan permintaan restrukturisasi kredit baru dapat dilakukan dengan mengacu pada kebijakan normal yang berlaku yaitu POJK No. 40/2019 tentang Kualitas Aset.

Di satu sisi, berakhirnya restrukturisasi ini menunjukkan kondisi perbankan Indonesia yang semakin sehat. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran NPLakan meningkat karena sudah tidak ada kelonggaran. Terlebih, suku bunga saat ini masih relatif tinggi dan belum ada tanda-tanda pemangkasan.

Saham Perbankan Terbebani dari Sentimen Tapera?

Rencana pemberlakuan kewajiban pungutan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) menjadi isu panas saat ini. Gaji dan upah, atau penghasilan para pekerja di Indonesia akan kena potongan tambahan untuk simpanan Tapera.

Dengan demikian, akan ada empat potongan gaji karyawan, selain sebelumnya yang sudah berlaku yakni pajak penghasilan (PPh), BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.

Hal itu seiring dengan Presiden Joko Widodo  yang telah menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan atas PP Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024. PP 21/2024 itu menyempurnakan ketentuan dalam PP 25/2020, seperti untuk perhitungan besaran simpanan Tapera pekerja mandiri atau freelancer.

Secara keseluruhan, dalam Pasal 5 PP Tapera ini ditegaskan setiap pekerja dengan usia paling rendah 20 tahun atau sudah kawin yang memiliki penghasilan paling sedikit sebesar upah minimum, wajib menjadi peserta Tapera. Bahkan, Pasal 7 nya merinci jenis pekerja yang wajib menjadi peserta Tapera, tidak hanya PNS atau ASN dan TNI-Polri, serta BUMN, melainkan termasuk pekerja swasta dan pekerja lainnya yang menerima gaji atau upah.

"Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang berpenghasilan paling sedikit sebesar Upah minimum wajib menjadi Peserta," dikutip dari Pasal 5 ayat 3 PP Tapera, Senin (27/5/2024).

Rencana pemungutan Tapera ini mendapat penolakan keras dari masyarakat hingga pengusaha.

Pungutan dikhawatirkan akan membuat semakin banyak masyarakat yang tertekan karena penghasilannya berkurang karena banyaknya iuran yang harus dibayar pekerja. Kondisi ini bisa menekan konsumsi masyarakat dan penjualan perusahaan.

Tidak hanya keuntungan perusahaan yang berkurang tetapi juga ekonomi akan ikut melambat. Emiten-emiten yang terkait dengan consumer goods dan sektor keuangan bisa terdampak karena jika pungutan terus meningkat maka permintaan barang dan kredit bisa melemah.

Dana Pihak Ketiga (DPK) juga akan berkurang karena semakin sedikit masyarakat yang bisa menabung.

Namun, masih terlalu dini jika lesunya saham perbankan pada sesi I hari ini dapat dikaitkan dengan sentimen Tapera, karena pemberlakuan iuran Tapera ini baru akan diterapkan pada 2027.

Itupun juga kententuan ini dapat direvisi oleh pemerintahan Presiden berikutnya yang akan dilantik pada Oktober mendatang.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation