
Beda dengan RI, China Malah Bahagia Warganya Kuras Tabungan, Kok Bisa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat China menarik dana simpanan atau tabungan triliunan yuan dan dialokasikan untuk spending serta investasi. Hal ini dinilai baik mengingat kondisi ekonomi China saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Dikutip dari The Business Times, upaya China dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengurangi daya tarik simpanan di bank telah mendorong masyarakat untuk menarik uang tunai dalam jumlah besar, dengan sebagian besar disalurkan ke obligasi dan produk pengelolaan kekayaan.
Total simpanan merosot sebesar CNY 3,9 triliun (sekitar Rp8.648 triliun), atau 1,3% pada bulan April karena investor mencari keuntungan yang lebih tinggi di tempat lain dan para pembuat kebijakan menindak perusahaan yang memanfaatkan suku bunga simpanan preferensial untuk memarkir uang tunai di bank.
Aliran dana ke aset-aset dengan imbal hasil lebih tinggi menunjukkan upaya para pengambil kebijakan China untuk mengurangi simpanan membuahkan hasil meskipun dana tersebut belum menghasilkan lonjakan belanja konsumen atau investasi saham.
Kepala ekonom di Citic Securities di Beijing mengungkapkan bahwa masyarakat menarik tabungan mereka untuk dibelanjakan dan berinvestasi, dan hal ini akan membuat para pembuat kebijakan senang melihatnya.
Hal ini tercermin dari melonjaknya nilai produk wealth management sebesar CNY 2,95 triliun (sekitar Rp6.543 triliun) pada April 2024, dengan keuntungan terbesar diperoleh dari aset pendapatan tetap, menurut analisis Citic.
Lebih lanjut, dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) yang melacak obligasi China menarik arus masuk sebesar US$428 juta di bulan yang sama, terbesar sejak bulan Desember.
Permintaan ritel yang merajalela terhadap obligasi khusus pemerintah China tahap pertama mendorong harga surat berharga tersebut sebanyak 25% pada peluncurannya minggu lalu, sehingga memicu penghentian perdagangan.
Di saat yang bersamaan, imbal hasil obligasi satu tahun terus mengalami penurunan
Tanda-tanda aliran dana masuk ke pasar saham, terutama saham-saham yang mempunyai tingkat pembayaran dividen yang tinggi (DPR) dianggap lebih aman menjadi atraktif bagi investor.
Indeks Dividen Bursa Efek Shanghai telah naik 16% tahun ini, dan bulan lalu mencapai level tertinggi sejak 2015. Bandingkan dengan kenaikan yang hanya sekitar 6% pada indeks acuan.
Obligasi dan saham China telah menguat selama berbulan-bulan, dengan investor bertaruh bank sentral akan melonggarkan kebijakan moneter lebih lanjut sementara sejumlah langkah dukungan pemerintah akan membantu mendukung pemulihan. Namun, masih adanya kekhawatiran atas prospek ekonomi yang tidak menentu membuat investor lebih memilih saham dividen dibandingkan saham yang terkait dengan pertumbuhan.
Beda Nasib! Tabungan RI Naik, Tapi Tidak dengan Investasi
Bank Indonesia (BI) telah hari ini (27/5/2024) baru saja merilis data Dana Pihak Ketiga (DPK) yang mengalami kenaikan 8,1% (year on year/yoy) pada April 2024 menjadi Rp8.376,1 triliun. Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tumbuh 7,4% yoy.
Penghimpunan Dana Pihak Ketiga (DPK) berdasarkan valuta tercatat mayoritas dalam bentuk rupiah sebesar 84,5% atau sekitar Rp7.084,7 triliun.
Bahkan secara tahunan pun, kenaikan DPK pada April 2024 masih lebih tinggi dibandingkan April 2023 yang pada saat itu tumbuh sebesar 7%.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat cenderung memilih untuk bersikap wait and see di tengah ketidakpastian global yang masih menjadi topik tahun ini serta keuntungan perusahaan/korporasi yang masih cukup solid.
Deputi Gubernur BI Juda Agung menegaskan penyumbang pertumbuhan DPK berasal dari korporasi. Hal ini dipandang BI cukup positif.
"Artinya korporasi profitables sehingga mereka punya ekses yang ditempatkan di DPK," ujar Juda dalam paparan hasil RDG, Rabu (22/5/2024).
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro membenarkan kondisi ini. Senada, menurutnya, korporasi menjadi penopang DPK saat ini. Adapun, keuntungan korporasi disebabkan oleh harga komoditas yang tidak mengalami penurunan tajam.
"Pertumbuhan DPK banyak disupport juga oleh Corporate karena diantaranya ditopang dari pendapatan sektor komoditas yang harga rata-ratanya sepanjang tahun ini tidak turun banyak," kata Andry.
Harga batu bara acuan masih melanjutkan penurunan saat ini. Hal ini dipicu oleh tekanan terhadap kekuatan dolar AS kembali terulang setelah risalah banks sentral Amerika Serikat (AS) The Fed yang menunjukkan bank sentral AS masih cukup hawkish.
Dari sisi investasi, investor luar negeri cenderung keluar dari pasar keuangan domestik yakni Surat Berharga Negara (SBN), pasar saham, dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Sejak 1 April hingga 3 Mei 2024, net foreign sell terjadi di SBN lebih dari Rp9 triliun, lebih dari Rp14 triliun di pasar saham, dan lebih dari Rp5 triliun di SRBI. Alhasil dapat disimpulkan sepanjang April 2024, investor asing memilih untuk meninggalkan Indonesia nyaris Rp30 triliun.
Derasnya investor asing keluar dari SBN tercermin dari imbal hasil SBN tenor 10 tahun melonjak tinggi dari sekitar 6,7% di awal April menjadi 7,27% pada akhir April 2024.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)