CNBC Indonesia Research

10 Juta Gen Z Nganggur Jadi Beban Berat Prabowo-Gibran

Revo M, CNBC Indonesia
17 May 2024 13:55
GenZ Sudah Candu Akut, Tak Bisa Lepas TikTok-YouTube
Foto: Infografis/ GenZ Sudah Candu Akut, Tak Bisa Lepas TikTok-YouTube/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Hampir10 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tidak memiliki kegiatan. Banyaknya generasi muda yang menganggur  menjadi tantangan bahkan bisa berujung beban bagi era pemerintahan baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan menjadi pemimpin Indonesia 2024-2029.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada 2023 terdapat sekitar 9,9 juta penduduk usia muda (15-24 tahun) tanpa kegiatan atau youth not in education, employment, and training (NEET) di Indonesia.

Dari 9,9 juta orang tersebut, 5,73 juta orang merupakan perempuan muda sedangkan 4,17 juta orang tergolong laki-laki muda.

Kebanyakan dari mereka adalah Gen Z yang harusnya tengah di masa produktif.Gen Z merupakan generasi yang lahir pada 1997-2012. Mereka sekarang berusia 12-27 tahun.

Persentase penduduk usia 15-24 tahun yang berstatus NEET di Indonesia mencapai 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun secara nasional.

BPS mendefinisikan NEET sebagai penduduk usia 15-24 tahun yang berada di luar sistem pendidikan, tidak sedang bekerja, dan tidak sedang berpartisipasi dalam pelatihan. Hal ini mengindikasikan adanya tenaga kerja potensial yang tidak terberdayakan.

Alasan-alasan yang membuat anak muda masuk ke dalam kategori NEET antara lain putus asa, disabilitas, kurangnya akses transportasi dan pendidikan, keterbatasan finansial, dan kewajiban rumah tangga.

Sementara banyaknya perempuan muda yang masuk ke dalam NEET sering kali terkait dengan keterlibatan mereka dalam kegiatan domestik seperti memasak dan membersihkan rumah, yang menghalangi mereka untuk melanjutkan sekolah atau memperoleh keterampilan kerja.

Alasan Munculnya Golongan NEET

Dalam Jurnal Ketenagakerjaan yang berjudul ANALISIS TENAGA KERJA MUDA TANPA KEGIATAN (NOT IN EDUCATION, EMPLOYMENT OR TRAINING-NEET) BERDASARKAN STATUS PERKAWINAN, NEET disebabkan oleh:

  1. Pertumbuhan ekonomi yang rendah yang menyebabkan perusahaan menghentikan rekrutmen baru atau bahkan mengurangi tenaga kerjanya
  2. Kebuntuan pasar tenaga kerja dimana pertumbuhan ekonomi yang lambat membuat perusahaan enggan menciptakan lapangan kerja baru, sementara peraturan pemerintah yang terlalu melindungi tenaga kerja membuat perusahaan sulit mempensiunkan tenaga yang sudah tidak produktif
  3. Ketidaksesuaian lulusan sekolah/perguruan tinggi dengan tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri
  4. Inovasi-inovasi yang membuat proses produksi dan proses bisnis berjalan lebih efisien sehingga mengurangi tenaga kerja
  5. Globalisasi (negara yang dapat memproduksi barang atau jasa secara efisien akan kebanjiran order produksi, dan sebaliknya negara yang tidak efisien akan kebihan pengangguran).

Dampak Golongan NEET terhadap Perekonomian RI

Dikutip dari Global Affairs, banyaknya generasi muda yang masuk dalam kategori NEET akan berdampak negatif bagi perekonomian suatu negara.

"Terlalu banyak generasi muda di seluruh dunia yang tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan dan pasar tenaga kerja, sehingga dapat merusak prospek jangka panjang mereka, serta pada akhirnya melemahkan pembangunan sosial dan ekonomi negara mereka," kata Direktur Departemen Kebijakan Ketenagakerjaan di International Labour Organization, Sangheon Lee kepada PBB pada tahun 2020.

1. Penerimaan Pajak Berkurang

Tingginya golongan NEET di Indonesia akan memengaruhi kondisi perekonomian Indonesia, khususnya penerimaan pajak negara. Semakin banyak Gen Z yang menganggur maka mereka tidak bisa mendapatkan pendapatan sehingga mereka tidak bisa menyetor pajak penghasilan (PPh).  Akibatnya, setoran PPh pun bisa turun.

Pengangguran yang tidak memiliki pendapatan juga tidak akan ada belanja sehingga pendapatan pajak dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak akan datang dari mereka. 

Mereka juga akan terbatas dalam membeli barang-barang mewah seperti mobil dan perhiasan sehingga akan berdampak kepada Pajak Pernjualan Barang Mewah (PPnBM).

Dengan semakin banyak pengangguran, jumlah wajib pajak juga sulit bertambah. Dalam jangka panjang, kondisi ini menjadi persoalan serius.  Jumlah wajib pajak baru yang tidak berkembang akan membuat penerimaan sulit naik karena jumlah yang dikenai pajak dan setoran pajak akan berkurang. 
Pada saat yang bersamaan, banyak angkatan kerja yang menua dan harus pensiun sehingga mengurangi juga setoran pajak.

Realisasi penerimaan pajak 2023 tercatat sebesar Rp1.869,23 triliun atau telah mencapai 102,80% terhadap target. Realisasi penerimaan pajak tersebut tumbuh 8,88% year on year/yoy. Komponen PPh Non Migas berkontribusi paling besar dalam penerimaan pajak, di mana kontribusinya mencapai 53,1% terhadap realisasi penerimaan pajak.

Sepanjang 2018-2020, realisasi penerimaan pajak cenderung lebih rendah dibandingkan dengan target yang ditetapkan. Namun berbeda halnya dengan periode 2021-2023 yang cenderung lebih tinggi dibandingkan target. Namun, perlu dicatat jika bahwa penerimaan pajak 2022-2023 ditopang sangat besar oleh kenaikan harga komoditas.

Struktur pajak Indonesia juga lebih banyak ditopang oleh PPh badan yakni sekitar 25%. Setoran PPh 21 yang berasal dari penerimaan pajak karyawan hanya berkisar 10%. Kontribusi pajak PPh 21 bahkan stagnan dari pra-pandemi hingga 2023. 
Bila semakin banyak Gen Z yang menganggur maka PPh 21 bisa terus stagnan atau turun.

Kendati realisasi penerimaan pajak membaik dalam tiga tahu terakhir, namun selisih atau gap antara realisasi dengan target juga semakin menipis setelah pada 2022 memiliki perbedaan Rp231 triliun atau sekitar 15,6%.

Realisasi penerimaan pajak yang melebih target belakangan ini menunjukkan semakin gencarnya pemerintah untuk menarik pajak dari masyarakat dalam mengurangi defisit anggaran demi menunjang kepentingan negara.

Namun dengan banyaknya jumlah NEET di Indonesia, hal ini menjadi tantangan tersendiri karena dapat berdampak bagi jumlah pajak yang dapat diterima negara.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, ini karena peranan masyarakat dalam dunia kerja sangat berpengaruh terhadap pendapatan atau daya beli mereka.

Selain itu, bila masyarakat produktif tidak memperoleh pendapatan, setoran penerimaan negara bisa saja terganggu ke depan, salah satunya dalam bentuk pajak penghasilan atau PPh.

Oleh karena itu, Suahasil memastikan bahwa pemerintah akan terus memantau perkembangan serapan tenaga kerja dari waktu ke waktu.

Visi-Misi Prabowo-Gibran

Dalam program kerja Asta Cita-3, Prabowo-Gibran berkeinginan untuk meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur.

Prabowo-Gibran akan mendorong perusahaan untuk menempatkan angkatan kerja berusia 18-24 tahun sebagai karyawan tetap melalui subsidi premi asuransi untuk pekerja selama 12 bulan.

Persaingan terhadap Tenaga Kerja Asing (TKA) pun menjadi perhatian Prabowo-Gibran yakni dengan cara memperketat masuknya TKA melalui pembentukan Satgas Pengawasan TKA untuk melindungi tenaga kerja dalam negeri.

Hingga mendorong anak muda agar berwirausaha dengan memberikan bantuan dan insentif untuk membuka usaha melalui Gerakan Ekonomi Kerakyatan dengan membangun pusat kewirausahaan di tingkat kabupaten untuk memperkuat produk-produk UMKM.

Penerimaan pajak yang berkurang ini tentu saja akan menjadi beban pemerintahan Prabowo-Gibran yang menargetkan tax ratio sebesar 23%.

2. Pertumbuhan Ekonomi Terhambat
Banyaknya generasi Z yang tidak bekerja dan produktif bisa menekan pertumbuhan ekonomi. Semakin Gen Z yang tidak bekerja maka aktivitas ekonomi juga semakin berkurang.

Gen Z yang tidak bekerja tidak akan menyumbang konsumsi. Padahal, sekitar 53% ekonomi Indonesia disumbang oleh konsumsi masyarakat.

Konsumsi yang berkurang pada akhirnya juga akan menekan produksi sehingga semakin sedikit perusahaan yang melakukan ekspansi bisnis atau bahkan membuka usaha baru. Mesin ekonomi dari investasi pun melambat. Dua mesin ekonomi  yakni dari konsumsi dan investasi pun bisa macet sehingga pertumbuhan ekonomi terhambat.
Kondisi ini bisa berdampak besar terhadap target pertumbuhan ekonomi Prabowo-Gibran sebesar 7-8%.

3
. Tabungan Masyarakat Akan Turun 

Semakin banyak Gen Z yang menganggur bisa menekan jumlah tabungan masyarakat atau national savings. Padahal, national savings diperlukan untuk menjadi sumber pembiayaan pembangunan.

4. Menjadi Beban Masyarakat dan Menimbulkan Persoalan Sosial
Banyaknya Gen Z yang menganggur ataupun tidak sekolah akan menimbulkan banyak persoalan di masyarakat dan tata kelola anggaran kenegaraan. Mereka bisa menambah beban negara dalam bentuk pemberian bantuan sosial ataupun layanan kesehatan. Padahal, mereka tidak berpartisipasi menyumbang iuran.

Bila seseorang terus menganggur juga bisa menimbulkan penyakit sosial seperti gelandangan ataupun pengemis.

5. Mimpi Indonesia Maju Terancam Gagal

Banyaknya Gen Z dan generasi muda yang menganggur ataupun tidak sekolah alam jangka panjang bisa mengancam mimpi Indonesia untuk mencapai Indonesia Emas 2045.

Pada tahun tersebut, warga Indonesia diharapkan sudah memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita sebesar US$ 30.300. Jumlah tersebut enam kali lipat dari saat ini yang berkisar di US$ 4.917.

PDB per kapita setinggi tersebut tentu saja harus ditopang oleh struktur tenaga kerja yang produktif dan dibekali kemampuan yang mencukupi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation