
Hidup Pemilik Kripto Tidak Tenang, Ada 3 Ancaman di Depan Mata!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar kripto masih cenderung stagnan pasca halving yang terjadi April lalu. Sebagian pelaku pasar khawatir bahwa kripto termasuk bitcoin akan menghadapi tantangan yang besar hingga sulit untuk naik tahun ini.
Dilansir dari Refinitiv, setelah halving terjadi pada 20 April 2024 atau sekitar tiga minggu lalu, harga bitcoin masih mengalami konsolidasi antara US$57.000-67.000.
Sentimen yang ada hingga saat ini masih cenderung variatif dan belum ada yang mampu membuat bitcoin mengalami lonjakan yang signifikan untuk kembali menembus level psikologis US$70.000 yang sempat disentuh terakhir kali pada 11 April 2024.
Berikut ini beberapa sentimen yang dapat menekan harga bitcoin sepanjang 2024.
1. Tingginya Suku Bunga The Fed
Bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed saat ini memiliki tingkat suku bunga acuan sebesar 5,25-5,5% dan belum ada rencana untuk melakukan pemangkasan suku bunga dalam waktu dekat.
Berdasarkan survei CME FedWatch Tool, first cut rate berpotensi terjadi pada September dan diikuti pada Desember 2024 dengan total penurunan suku bunga sebesar 50 basis poin (bps).
![]() Sumber: CME FedWatch Tool |
Pejabat The Fed belum berniat membabat suku bunganya mengingat data ekonomi AS belum ada tanda-tanda mendingin. Bahkan inflasi AS terpantau mengalami kenaikan dari yang sebelumnya 3,2% (year on year/yoy) pada Februari menjadi 3,5% yoy pada Maret 2024.
Begitu pula dengan inflasi inti yang lebih panas dari konsensus yang memperkirakan angka 3,7% yoy. Namun kenyataannya mencapai 3,8% yoy pada Maret 2024, sama seperti bulan sebelumnya.
Tingginya suku bunga The Fed dalam jangka waktu yang cukup lama ini (high for longer) akan memberikan tekanan bagi risk asset termasuk kripto, mengingat aset yang cenderung lebih aman (safe haven) akan menjadi lebih menarik dengan imbal hasil yang tinggi.
Sebagai contoh imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun yang masih tinggi yakni di angka 4,48% pada 13 Mei 2024.
2. Penolakan Kripto di Berbagai Negara
Di tengah berbagai keunggulan yang dimiliki bitcoin, beberapa negara di dunia ini mewaspadai volatilitas yang tinggi dan sifat desentralisasinya hingga akhirnya memilih untuk menolaknya.
Beberapa pihak juga menganggapnya sebagai ancaman terhadap sistem moneter mereka saat ini.
Lebih lanjut, mereka juga khawatir terkait akan penggunaannya untuk mendukung kegiatan terlarang seperti perdagangan narkoba, pencucian uang, dan terorisme.
Bank Sentral Qatar telah melarang perdagangan mata uang kripto seperti bitcoin. "Alasan dibalik hal ini terutama untuk menjamin perlindungan konsumen, karena pada saat itu hal tersebut tidak diatur. Beberapa orang berpendapat hal itu karena sifatnya yang spekulatif," komentar Kepala Urusan Regulasi di Otoritas Pusat Keuangan Qatar, Maha Al-Saadi yang dikutip dari cointelegraph.com.
Sebelumnya pada 2020, sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Otoritas Pengatur Pusat Keuangan Qatar (QFCRA) menandai perubahan signifikan dalam pendekatan negara tersebut terhadap mata uang kripto, dengan menyatakan larangan terhadap semua aktivitas terkait mata uang kripto di Pusat Keuangan Qatar, sebuah zona ekonomi utama.
Tidak hanya di Qatar, Arab Saudi pun cenderung menolak kripto.
Pada tahun 2018, pemerintah membatasi bank untuk membantu transaksi terkait mata uang kripto. Pihak berwenang telah berulang kali menyatakan bahwa orang yang memperdagangkan mata uang kripto tidak memiliki perlindungan finansial dan dapat mempertaruhkan investasi mereka.
Saat ini, tidak ada konsekuensi hukum yang diakui bagi siapa pun yang memilih untuk berinteraksi dengan aset digital dalam bentuk apa pun.
Lebih lanjut, Otoritas Moneter Arab Saudi (SAMA) berada di garis depan dalam memantau transaksi mata uang kripto, dengan fokus pada lingkungan peraturan yang bertujuan untuk melindungi investor sekaligus mendorong stabilitas keuangan. SAMA berupaya mencapai keseimbangan antara kehati-hatian dan inovasi.
Jika semakin banyak negara yang menolak kripto baik untuk adopsi yang lebih jauh atau hanya sekadar untuk trading, maka hal ini akan memberikan tekanan bagi kripto termasuk bitcoin.
3. Reward Penambang yang Terus Berkurang
Pasca halving yang terjadi bulan lalu, para penambang dihadapkan dengan tingkat hash jaringan yang tinggi dan pendapatan yang lebih rendah, para penambang bitcoin mungkin akan mengalami beberapa bulan yang sulit karena pasar menyesuaikan diri dengan peristiwa empat tahunan ini.
Imbalan bagi para penambang bitcoin dari yang awalnya 6,25 BTC per blok menjadi 3,125 BTC per blok.
Semakin sedikitnya reward yang didapatkan penambang, ini akan menjadi tantangan tersendiri karena para penambang perlu mengkalkulasi ulang apakah dengan perangkat yang dimiliki saat ini dan kebutuhan listrik untuk melakukan penambangan akan masih worth it atau tidak.
Bukan tidak mungkin khususnya bagi penambang ritel dengan skala kecil semakin sulit untuk mendapatkan keuntungan hingga akhirnya mereka berhenti menambang.
Salah satu penelitian terbaru dari Bitwise yang dikutip dari Economic Times, menemukan bahwa total pendapatan penambang merosot satu bulan setelah tiga halving sebelumnya. Namun angka tersebut telah meningkat secara signifikan setelah setahun penuh berkat lonjakan harga bitcoin serta penambang besar yang memperluas operasi mereka.
Waktu akan menunjukkan bagaimana kinerja perusahaan pertambangan setelah halving berikutnya terjadi.
Jika semakin sedikit penambang bitcoin, maka akan mengganggu operasi dan keamanan jaringan bitcoin itu sendiri. Tanpa penambang, proses penting dalam memvalidasi dan menambahkan transaksi baru ke blockchain akan terhenti.
Penghentian ini akan berdampak langsung pada kemampuan jaringan untuk memproses transaksi, sehingga menyebabkan terhentinya pertukaran dan transfer bitcoin.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)