
Subak dan Berbagai Tradisi di Indonesia untuk Melestarikan Air

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia adalah negara penuh kekayaan alam, mulai di daratan, di dalam tanah, perairan, hingga udara. Semuanya menjadi harmoni dan dijaga oleh leluhur untuk keberlangsungan hidup dengan berbagai tradisi.
Salah satu tradisi yang masih ada dan terus dijalankan adalah sistem pertanian Subak di Bali. Subak bukan sistem pertanian saja, namun sarat akan nilai dan budaya. Pada Subak, hadir budaya gotong-royong, pelestarian lingkungan, pengetahuan musim, angin, dan pengendalian hama.
Subak merupakan salah satu manifestasi Tri Hita Karana (THK), yakni filosofi Hindu Bali dalam menjaga keseimbangan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.
Kekayaan Subak Jatiluwih menjadi salah satu lokasi yang dipilih untuk karyawisata delegasi World Water Forum ke-10 yang akan berlangsung 18-25 Mei 2024.
Pengelola Daerah Tujuan Wisata (DTW) Subak Jatiluwih kini mulai merancang kegiatan untuk delegasi yang nanti akan melihat sawah berundak-undak di sana.
Para delegasi, utamanya kepala negara dijadwalkan akan hadir ke Jatiluwih. Panitia akan menyajikan teh beras merah khas Jatiluwih Tabanan lengkap dengan pentas Tari Metangi dan pertunjukan aktivitas pertanian sehari-hari.
Sejumlah pemandu disiapkan untuk memaparkan budaya pertanian di sana, terutama bagaimana air diatur subak untuk kesejahteraan bersama.
Sejarah Subak di Bali
Sistem irigasi yang disebut "Kasubakan" atau "Subak" ada di Bali pada 1.071 M, tercermin dari prasasti Klungkung pada 1.072 M.
Prasasti tersebut disebutkan nama "Subak" yaitu "Subak Rawas" dan tertulis: " ...masukatang huma di kedandan di errara di kasuwakan rawas...." yang artinya "mengukur sawah di Kadandan pada Yeh Aa dalam Subak Rawas" (Callenfels, 1926 dalam Purwita, 1993: 41).
Kegiatan bercocok tanam padi sendiri diperkirakan sudah ada di Bali sekitar tahun 882 M. Hal itu dibuktikan lewat dengan ditemukannya arti kata "Huma" yang berarti "sawah" dalam prasasti tertua di Bali, yaitu Prasasti Sukawana A1 (Purwita, 1993: 42).
Adapun pada kata "sawah" bisa berarti sawah atau tadah hujan, tetapi bisa juga berarti sawah beririgasi.Sementara, "Huma" menurut kamus bahasa Indonesia-Inggris oleh John M. Echols dan Hassan Shadily (1989) diterjemahkan sebagai ladang untuk budidaya padi kering, yang berarti mengolah padi.
Artinya irigasi memiliki sejarah yang sangat panjang yang telah diterapkan oleh petani di Bali sejak lebih dari seribu tahun yang lalu.
Bali purbakala memiliki medan yang ekstrim, maka diyakini para pendiri "Subak" di masa lalu seharusnya memiliki kearifan lokal sehingga mampu menghasilkan sistem irigasi tradisional yang dilengkapi dengan bangunan irigasi sederhana, namun dapat bekerja seperti sistem irigasi modern.
Asal tahu saja, pulau Bali purba adalah kawasan yang terdapat hutan lebat dan medan perbukitan serta mata air dari sungai-sungai yang jauh di bawah, tentunya sangat sulit bagi petani untuk mendistribusikan air ke sawah-sawah petani di atas.
Kearifan lokal dalam membangun dan mengelola sistem irigasi diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Bali hingga menjadi lembaga adat "Subak" seperti sekarang ini.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa, UNESCO, pada sidangnya di Saint Petersburg, Rusia, 20 Juni 2012, pun menetapkan Subak sebagai warisan budaya dunia.
Tradisi Parafu Suku Mbojo Lestarikan Sumber Mata Air
Suku Mbojo di Kabupaten Bima NTB memiliki tradisi untuk melestarikan sumber mata air bernama Parafu.
Parafu adalah mata air tertentu yang dijaga secara turun temurun. Sebagai catatan, tidak semua mata air memiliki status Parafu. Terdapat empat titik Parafu khususnya di desa Kuta, Bima yakni Lanco, Oi Mbou, Ama Sele, dan Lombi.
Setiap tahun Parafu hanya boleh dibersihkan oleh para keturunan pemangku waris Parafu. Selain itu, para pemangku juga melarang adanya kegiatan buang kotoran sembarangan di area Parafu yang tetap dituruti hingga kini oleh masyarakat setempat.
Warga desa setempat pun meyakini Parafu harus dijaga kelestariannya. Pepohonan dan tumbuhan yang ada di area sekitar Parafu tidak diperbolehkan untuk ditebang.
Warga desa setempat mempercayai adat apabila menebang pohon di sekitar Parafu seketika akan jatuh sakit atau terkena musibah.
Masyarakat Suku Mbojo dengan kearifan lokalnya sebagai salah satu upaya merawat sumber air. Pemberian label Parafu oleh para leluhur Bima di titik mata air tertentu menjadi sangat efektif bagi upaya perlindungan dan kelestarian lingkungan
Tradisi Tuk Serco di Kendal
Masyarakat Desa Purwogondo di Kendal sama-sama menjaga mata air Tuk Serco yang dianggap sebagai karunia Allah yang bermanfaat nagi kehidupan masyarakat (Siswandi dkk, 2011).
Masyarakat Desa Purwogondo menilai Tuk Serco adalah tempat yang sakral dan suci sehingga tidak boleh dirusak atau diganggu Ada arca di area Tuk Serco yang tidak kasat mata dan dipercaya jika ada yang mengambil arca itu maka akan membuat sumber air mati.
Tuk Serco debitnya besar dengan debit 12,03lt/dt atau 1.039.392 liter per hari. (Siswandi dkk,2011) sehingga dapat memenuhi berbagai kegiatan rumah tangga hingga pertanian. Jika Tuk Serco mati, maka sawah akan kering dan keperluan air untuk rumah tangga terlantar. Masyarakat setempat menjaga Tuk Serco yang diyakini mata air sebagai titipan leluhur mereka.
CNBC INDONESIA RESEACH
(ras/ras)