
Batu Bara Belum Jadi 'Kiamat', Harganya Terbang 7%!

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara dunia melejit seiring dengan lana perusahaan pembangkit listrik tenaga batu bara di China melonjak karena permintaan yang meningkat meningkat. Suhu dunia yang meningkat juga meningkatkan permintaan batu bara.
Dilansir dari Refinitiv, harga kontrak batu bara Juni acuan ICE Newcastle pada perdagangan Selasa (30/4/2024) naik 4,40% di level US$143 per ton. Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak 19 April 2024 yang saat ini sempat menyentuh angka US$141 per ton.
Dalam dua hari perdagangan pekan ini harga batu bara tercatat telah menguat hingga 7%.
Huaneng Power Internasional memperoleh lonjakan laba bersih sebesar 104,25% pada kuartal pertama 2024.
Datang International Power Generation bagian dari China Datang Corp, melaporkan peningkatan laba bersih sebesar 872,26% menjadi 1,33 miliar yuan pada kuartal pertama 2024.
Lonjakan laba Datang terutama disebabkan oleh rendahnya harga batu bara dan konsumsi listrik yang lebih tinggi, kata Wang Xiuqiang, peneliti di lembaga pemikir energi Beijing Linghang.
Perusahaan telah membukukan kerugian bersih tahunan sebesar 407,7 juta yuan pada tahun 2023 karena tingginya harga batu bara, kekurangan air di pembangkit listrik tenaga air, guncangan cuaca ekstrem, dan bencana alam.
Analis Huatai Securities meningkatkan perkiraan mereka mengenai konsumsi listrik Tiongkok pada paruh kedua tahun 2024 yang akan mendorong pemulihan harga batu bara kata mereka dalam sebuah catatan pada hari Sabtu (27/4/2024).
S&P dalam laporannya vv Market Movers Asia April 29-May 3 menjelaskan suhu dan perubahan iklim yang drastis akan menjadi kunci bagi pergerakan batu bara.
Sejumlah negara Asia tengah dilanda suhu panas yang luar biasa. Ramai-ramai tetangga RI kini diserang "neraka bolong". Ini mengindikasikan cuaca panas ekstrem yang terjadi saat ini akibat meningkatnya suhu bumi.
Kondisi ini akan meningkatkan permintaan batu bara di Asia karena tingginya penggunaan listrik untuk pendingin ruangan. Kekeringan dan suhu panas juga akan membuat sumber daya air berkurang sehingga pembangkit tenaga listrik akan berkurang kapasitasnya.
Setidaknya hal itu terjadi di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Mulai dari India, Bangladesh lalu Filipina, Thailand, Kamboja, Myanmar, dan Vietnam.
Di India, cuaca mencapai 44 derajat Celsius di beberapa lokasi. Pemilu yang sedang dilaksanakan pun harus menyaksikan jutaan orang memilih dengan mengantri di tengah suhu panas menyengat.
"Saya belum pernah mengalami suhu panas seperti ini sebelumnya," kata Ananth Nadiger, seorang profesional periklanan berusia 37 tahun, mengutip AFP, Selasa (30/4/2024).
Di Bangladesh penutupan sekolah dilakukan karena suhu ekstrem. Badan meteorologi setempat mengatakan gelombang panas akan terus berlanjut setidaknya selama tiga hari ke depan.
Sementara itu, India berencana mendirikan enam pusat pembangkit listrik tenaga panas yang mampu menghasilkan listrik sebesar 30 GW bahkan ketika India sedang mengejar net-zero di bawah rencana transisi energi yang ambisius.
Dengan perkiraan biaya lebih dari Rs8 crore per megawatt (MW), perkiraan belanja modal untuk membangun kapasitas 30 GW akan mencapai sekitar Rs2,5 lakh crore.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(ras/ras)