
Dissenting Opinion Hakim Saldi Isra Soroti Pemilu Era Orba vs 2024

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Saldi Isra, memaparkan pandangan berbeda dalam putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 . Dalam persidangan yang berlangsung di gedung MK Jakarta, Senin (22/4), Saldi menjadi satu dari tiga hakim MK yang menyampaikan dissenting opinion, atau pendapat berbeda, terkait putusan MK yang menolak permohonan sengketa Pilpres 2024 dari AMIN.
Saldi Isra memfokuskan perhatiannya pada asas jujur dan adil dalam pelaksanaan Pilpres 2024. Baginya, meskipun proses Pilpres 2024 mungkin telah mengikuti mekanisme dan prosedur yang ada, hal tersebut tidak menjamin bahwa Pilpres berjalan dengan jujur. Dalam argumennya, Saldi menyinggung Pemilu era Orde Baru yang menunjukkan bahwa meskipun pemilu di masa itu mematuhi standar mekanisme yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu, namun tetap dianggap curang secara empiris.
"Pemilu di masa Orde Baru pun berjalan memenuhi standar mekanisme yang ditentukan dalam UU Pemilu saat itu. Namun, secara empirik, Pemilu Orba tetap dinilai curang," ujar Saldi Isra dalam dissenting opinion-nya di gedung MK pada Senin (22/4).
Lantas, bagaimana perjalanan pengawasan Pemilu dari Era Orde Baru hingga saat ini?
Pengawasan Pemilu: Dari Era Orde Baru Hingga Kini
Pengawasan pemilu di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang sejak era Orde Baru hingga masa kini. Dalam sejarahnya, pengawasan ini telah melibatkan berbagai lembaga dan mengalami transformasi signifikan untuk menjaga integritas dan transparansi dalam proses demokrasi di negeri ini.
Lahirnya Pengawasan Pemilu: Era Orde Baru (ORBA)
Pada awalnya, saat pemilu pertama kali diadakan di Indonesia pada tahun 1955, belum ada lembaga khusus yang bertugas mengawasi jalannya pemilu. Namun, pada 1982, di era Orde Baru, muncul sebuah lembaga pengawas yang dinamai Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu.
Peran utama Panwaslak pada masa itu adalah untuk mengawasi pemilu dan memberikan legitimasi bahwa pemilu yang diselenggarakan adalah demokratis di bawah pengawasan lembaga tersebut.
Pada masa Orde Baru, lembaga pengawas pemilu memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi jalannya pemilu. Namun, keanggotaannya cenderung berasal dari kalangan yang loyal kepada penguasa pada saat itu, yang dapat mempengaruhi independensinya. Meskipun demikian, lembaga pengawas tersebut telah menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakpuasan terhadap proses pemilu yang dianggap tidak adil.
Pengawasan Pemilu Era Orba
Dikutip dari laman Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).goi.id, pengawasan pemilu baru muncul pada era 1980-an. Pada pelaksanaan Pemilu yang pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 1955 belum dikenal istilah pengawasan Pemilu. Pada era tersebut terbangun trust di seluruh peserta dan warga negara tentang penyelenggaraan Pemilu yang dimaksudkan untuk membentuk lembaga parlemen yang saat itu disebut sebagai Konstituante.
Walaupun pertentangan ideologi pada saat itu cukup kuat, dapat dikatakan sangat minim terjadi kecurangan dalam pelaksanaan tahapan. Kalaupun ada gesekan, itu terjadi di luar wilayah pelaksanaan Pemilu.
Gesekan yang muncul merupakan konsekuensi logis pertarungan ideologi pada saat itu. Hingga saat ini masih muncul keyakinan bahwa Pemilu 1955 merupakan Pemilu di Indonesia yang paling ideal.
Kelembagaan Pengawas Pemilu baru muncul pada pelaksanaan Pemilu 1982, dengan nama Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Pada saat itu sudah mulai muncul distrust terhadap pelaksanaan Pemilu yang mulai dikooptasi oleh kekuatan rezim penguasa.
Pembentukan Panwaslak Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971.
Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif, protes-protes ini lantas direspon pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI. Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan 'kualitas' Pemilu 1982. Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
Lembaga Pemilihan Umum (LPU), yang sekarang dikenal sebagai KPU, berhasil mengamankan kemenangan untuk Golkar pada Pemilihan Umum tahun 1971, dan hal serupa terulang pada pemilu berikutnya. Ini menyebabkan Golkar kembali memperoleh mayoritas suara pada Pemilu 1977.
Dampak dari hal ini adalah masyarakat segera mengajukan protes terhadap hasil Pemilu 1977. Dukungan dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari gerakan mahasiswa, PDI, dan PPP, terus menerus melakukan tekanan kepada pemerintah untuk memperbaiki proses pelaksanaan pemilu yang dinilai kontroversial.
Meskipun begitu, anggota LPU dari pusat hingga daerah mayoritas merupakan aparatur pemerintah yang memiliki loyalitas terhadap Golkar. Selain itu, komposisi keanggotaannya juga diperkuat oleh kehadiran Pegawai Negeri Sipil (PNS), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), dan anggota Golkar. Skema keanggotaan ini memberikan kesempatan bagi partai politik untuk masuk dalam kepanitiaan pemilu, menimbulkan kekhawatiran akan kemungkinan adanya manipulasi.
Transformasi dan Perkembangan Pemilu Pasca Reformasi
Setelah runtuhnya rezim Orde Baru pada tahun 1998, terjadi perubahan besar dalam sistem pengawasan pemilu di Indonesia. Panwaslak berubah menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) pada Pemilu 1999.
Transformasi ini menandai langkah awal menuju proses demokratis yang lebih inklusif dan transparan. Selanjutnya, pada Pemilu 2004, 2009, dan 2014, Panwaslu berubah nama menjadi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), menegaskan perannya sebagai lembaga pengawas resmi dalam proses pemilihan umum di Indonesia.
Keberadaan lembaga pengawas pemilu menjadi lebih independen dan transparan. Meskipun demikian, perubahan ini tidak terjadi dengan mudah. Proses transformasi dari Panwaslak menjadi Panwaslu pada tahun 1999 adalah salah satu langkah awal dalam memperkuat peran lembaga pengawas pemilu dalam memastikan keadilan dan kejujuran dalam proses pemilihan umum.
Selama beberapa tahun terakhir, Bawaslu terus mengalami perkembangan dalam struktur dan fungsi. Pasca perdebatan dalam pansus RUU Penyelenggara Pemilu, keputusannya tak hanya mempertahankan Bawaslu, tetapi juga memperkuat kelembagaannya.
Pengawasan pemilu merupakan salah satu pilar penting dalam menjaga integritas demokrasi di Indonesia. Dengan terus menguatkan dan memperbaiki lembaga pengawas pemilu, diharapkan proses pemilihan umum di masa depan dapat berlangsung dengan lebih adil, transparan, dan demokratis.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)