"Kutukan" Libur Lebaran Berlanjut, Dolar Tembus Rp 16.170

Revo M, CNBC Indonesia
16 April 2024 16:16
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Awal perdagangan setelah libur Lebaran kembali menjadi kutukan buruk bagi rupiah. Mata uang Garuda terpantau ambles 2,08% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan hari ini, Selasa (16/4/2024).

Dilansir dari Refinitiv, rupiah pada hari ini, Selasa (16/4/2024) ditutup di angka Rp16.170/US$ yang merupakan posisi terendah sejak 6 April 2020 atau sekitar empat tahun terakhir.

Hal ini diikuti oleh kenaikan indeks dolar AS (DXY) pada 14:54 WIB sebesar 0,1% ke angka 106,31.

Kutukan Libur Lebaran Berlanjut

Sejak 2014 hingga 2024, rupiah mayoritas ditutup melemah satu hari pasca libur Lebaran yang berdurasi lebih dari satu minggu selesai. Hanya tahun 2016, 2019, dan 2023 di mana rupiah menguat satu hari pasca lebaran.

Artinya dalam 11 tahun terakhir, delapan diantaranya menunjukkan bahwa rupiah selalu mengalami depresiasi. Bahkan penurunan rupiah hari ini merupakan yang terburuk dalam 11 tahun terakhir pasca libur Lebaran.

Melemahnya rupiah setelah libur Lebaran biasanya berbarengan dengan banyaknya sentimen negatif selama periode lebaran. Sebagai catatan, libur Lebaran menjadi periode libur terpanjang di pasar keuangan Indonesia di mana pasar biasanya tutup selama sepekan.  Pada tahun ini, periode libur bahkan berlangsung delapan hari yakni 8-15 April 2024.

Dengan periode libur yang panjang maka tidak pasar keuangan Indonesia, termasuk rupiah, baru bisa mengabsorb atau menyerap sentimen negatif dari eksternal begitu pasar dibuka. Jika banyak sentimen negatif seperti pada libur Lebaran tahun ini maka dampak yang bertubi-tubi itu baru bisa diserap oleh pasar keuangan begitu pasar dibuka hari ini.

Amblesnya rupiah ini didominasi oleh faktor eksternal baik data AS yang masih kuat maupun konflik Timur Tengah antara Iran dan Israel yang memanas.

Inflasi AS di luar dugaan menanjak ke 3,5% (year on year/yoy) pada Maret 2024, dari 3,2% pada Februari 2024. Inflasi inti di luar makanan dan energi tercatat stagnan di angka 3,8%.

Data tenaga kerja AS juga menunjukkan ada penambahan tenaga kerja hingga 303.000 untuk non-farm payrolls. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yakni 200.000.

Lonjakan inflasi AS dan masih panasnya data tenaga kerja AS ini menimbulkan kekhawatiran jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan menahan suku bunga lebih lama.

Selain itu kekhawatiran pelaku pasar perihal perang yang semakin melebar di Timur Tengah pun muncul mengingat Iran melakukan penyerangan terhadap Israel pada Sabtu pekan lalu.

Iran meluncurkan drone lebih dari 300 dan rudal terhadap sasaran militer di Israel pada hari Sabtu dalam serangan yang digambarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sebagai "belum pernah terjadi sebelumnya."

Amerika melakukan intervensi untuk membantu Israel secara langsung menembak jatuh hampir semua amunisi yang masuk, kata Biden dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu pekan lalu.

Kepala juru bicara militer Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, menyebut tindakan Iran sangat serius dan mendorong kawasan itu menuju eskalasi. Iran meluncurkan puluhan rudal darat ke Israel, termasuk lebih dari 10 rudal jelajah, dan sebagian besar dicegat di luar perbatasan Israel, kata Hagari.

Kedua faktor tersebut dipertegas oleh Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Bank Indonesia (BI) Edi Susianto yang mengungkapkan bahwa selama periode libur Lebaran terdapat perkembangan di global dimana rilis data fundamental AS makin menunjukkan bahwa ekonomi AS masih cukup kuat seperti data inflasi dan retail sales yang di atas ekspektasi pasar. Selain itu, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh memanasnya konflik di timur tengah khususnya konflik Iran-Israel.

"Perkembangan tersebut menyebabkan makin kuatnya sentimen risk off, sehingga mata uang emerging market khususnya Asia mengalami pelemahan terhadap dolar AS," ujar Edi kepada CNBC Indonesia.

Ketidakpastian yang terjadi baik dari luar negeri ini membuat para investor untuk mencari aset-aset aman seperti dolar AS saat masa genting kerap terjadi, menyebabkan nilai tukar rupiah terus menerus merosot.

Senada dengan Edi, Ekonom Senior yang juga merupakan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu memperkirakan hal serupa dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dengan menyatakan bahwa rupiah masih akan terus melemah terhadap dolar AS.

Menurutnya, sifat investor yang mencari aset-aset aman seperti dolar AS saat masa genting kerap terjadi, menyebabkan nilai tukar rupiah terus menerus merosot saat ini setelah serangan rudal Iran ke Israel.

"Ketidakpastian ini akan dan telah menyebabkan flight to safety, capital outflow terjadi, karena investor mencari aset yang aman, yaitu dolar dan obligasi AS. Dengan demikian rupiah yang menunjukkan tanda-tanda melemah akan melemah lebih lanjut lagi," ucap Mari dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Selasa (16/4/2024).

Berdasarkan data transaksi 1-4 April 2024 yang dirilis BI, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat jual neto Rp 8,07 triliun terdiri dari jual neto Rp1,41 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), jual neto Rp5,88 triliun di pasar saham, dan jual neto Rp0,78 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation