
Analisa & Fakta Jatuhnya Rupiah: Dolar AS Tembus Rp16.200!

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah tercatat anjlok terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan setelah 10 hari perdagangan ditutup karena momen libur Lebaran 2024.
Dilansir dari Refinitiv, rupiah pada pembukaan perdagangan terpantau anjlok 1,23% ke angka Rp16.035/US$ dan dalam kurun waktu 30 menit, rupiah kembali ambles 2,27% ke level psikologis Rp16.200/US$.
Posisi tersebut merupakan yang terlemah sejak April 2020 atau di saat pandemi Covid-19 melanda Indonesia.
Depresiasi rupiah yang lebih dari 2% ini cukup jarang terjadi bahkan secara rata-rata, pergerakan rupiah selama satu tahun terakhir hanya sebesar 0,02%.
Jika dilihat secara historis, pelemahan lebih dari 2% terakhir kali terjadi pada 23 Maret 2020 atau sekitar empat tahun terakhir.
Penelusuran CNBC Indonesia Research pada pergerakan rupiah dalam lima tahun terakhir, depresiasi lebih dari 2% hanya terjadi sebanyak empat kali yakni 28 Februari 2020, 19 Maret 2020, 23 Maret 2020, dan 16 April 2024.
Atau dengan kata lain hingga saat ini, pelemahan rupiah lebih dari 2% terjadi sebanyak tiga kali pada 2020 dan satu kali terjadi pada 2024.
Rupiah Terpuruk Gegara AS Hingga Perang Iran-Israel
AS merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, sehingga ekonomi AS yang kuat akan sangat berdampak kepada negara lainnya.
Inflasi AS di luar dugaan menanjak ke 3,5% (year on year/yoy) pada Maret 2024, dari 3,2% pada Februari 2024. Inflasi inti di luar makanan dan energi tercatat stagnan di angka 3,8%.
Data tenaga kerja AS juga menunjukkan ada penambahan tenaga kerja hingga 303.000 untuk non-farm payrolls. Angka ini jauh di atas ekspektasi pasar yakni 200.000.
Lonjakan inflasi AS dan masih panasnya data tenaga kerja AS ini menimbulkan kekhawatiran jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan menahan suku bunga lebih lama.
Berdasarkan CME FedWatch Tool saat ini, pelaku pasar meyakini The Fed mulai memangkas suku bunganya pertama kali pada September 2024 atau dengan kata lain, The Fed akan menahan suku bunganya pada Mei, Juni, dan Juli 2024.
![]() Sumber: CME FedWatch Tool |
Selain itu kekhawatiran pelaku pasar perihal perang yang semakin melebar di Timur Tengah pun muncul mengingat Iran melakukan penyerangan terhadap Israel pada Sabtu pekan lalu.
Iran meluncurkandronelebih dari 300 dan rudal terhadap sasaran militer di Israel pada hari Sabtu dalam serangan yang digambarkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden sebagai "belum pernah terjadi sebelumnya."
Amerika melakukan intervensi untuk membantu Israel secara langsung menembak jatuh hampir semua amunisi yang masuk, kata Biden dalam sebuah pernyataan pada hari Sabtu pekan lalu.
Kepala juru bicara militer Israel, Laksamana Muda Daniel Hagari, menyebut tindakan Iran sangat serius dan mendorong kawasan itu menuju eskalasi. Iran meluncurkan puluhan rudal darat ke Israel, termasuk lebih dari 10 rudal jelajah, dan sebagian besar dicegat di luar perbatasan Israel, kata Hagari.
Ekonom Senior Bank Central Asia (BCA), Barra Kukuh Mamia mengatakan anjloknya rupiah secara umum terjadi akibat faktor global yang terdiri dari konflik Timur Tengah (Timteng) dan data AS yang di atas ekspektasi pasar.
Senada dengan Barra, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter (DPM) Bank Indonesia (BI) Edi Susianto mengungkapkan selama periode libur Lebaran terdapat perkembangan di global dimana rilis data fundamental AS makin menunjukkan bahwa ekonomi AS masih cukup kuat seperti data inflasi dan retail sales yang di atas ekspektasi pasar. Selain itu, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh memanasnya konflik di timur tengah khususnya konflik Iran-Israel.
"Perkembangan tersebut menyebabkan makin kuatnya sentimen risk off, sehingga mata uang emerging market khususnya Asia mengalami pelemahan terhadap dolar AS," ujar Edi kepada CNBC Indonesia.
Ketidakpastian yang terjadi baik dari luar negeri ini membuat para investor untuk mencari aset-aset aman seperti dolar AS saat masa genting kerap terjadi, menyebabkan nilai tukar rupiah terus menerus merosot.
"Ketidakpastian ini akan dan telah menyebabkan flight to safety, capital outflow terjadi, karena investor mencari aset yang aman, yaitu dolar dan obligasi AS. Dengan demikian rupiah yang menunjukkan tanda-tanda melemah akan melemah lebih lanjut lagi," ucap Ekonom Senior yang juga merupakan mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia, Mari Elka Pangestu dalam program Squawk Box CNBC Indonesia, Selasa (16/4/2024).
Arus modal asing yang keluar dan menyebabkan nilai tukar rupiah semakin melemah, termasuk nilai tukar negara-negara emerging markets, menurut Mari akan juga diperburuk dengan potensi tingginya inflasi global ke depan, imbas dari terganggunya aktivitas perdagangan dan naiknya harga-harga komoditas akibat perang tersebut.
Alhasil, dana cenderung masuk ke dolar AS atau dengan kata lain selling pressure terjadi pada rupiah maupun saham Indonesia.
Faktor Internal Pendorong Pelemahan Rupiah
Ekonom Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto mengatakan bahwa tren permintaan dolar AS di dalam negeri memang dalam tren yang meningkat untuk impor BBM maupun bahan pangan yang secara permintaan kebutuhannya meningkat untuk menghadapi faktor musiman Lebaran maupun juga realitas bahwa harga komoditas global untuk energi maupun pangan saat ini tengah menanjak.
Selain itu, Head of Equity Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro menegaskan pelemahan rupiah juga terjadi perusahaan lokal yang terburu-buru membeli valas untuk utang luar negeri dan musim pembayaran dividen pada bulan Mei-Juni.
Di tengah tekanan yang menghujam rupiah saat ini, BI selaku bank sentral akan kembali mengandalkan cadangan devisanya untuk melakukan intervensi di pasar Spot Rupiah, DNDF, maupun pasar sekunder obligasi domestik.
Hari ini, BI pun sudah menegaskan akan melakukan langkah- langkah konkret. Pertama, BI akan menjaga kestabilan rupiah melalui menjaga keseimbangan supply-demand valas di market melalui triple intervention khususnya di spot dan DNDF.
Kedua, BI meningkatkan daya tarik aset Rupiah untuk mendorong capital inflow, seperti melalui daya tarik Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan hedging cost. Ketiga, BI tetap koordinasi dan komunikasi dengan stakeholder terkait, seperti pemerintah, Pertamina dan lainnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/mij)