CNBC Indonesia Research

Ini Alasan Investor Suka Investasi di India daripada RI

Revo M, CNBC Indonesia
02 April 2024 17:40
Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi melakukan pertemuan bilateral di sela-sela KTT G7 di Elmau, Jerman, Senin, 27 Juni 2022. Kedua pemimpin membahas upaya penguatan kerja sama di bidang pangan. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi melakukan pertemuan bilateral di sela-sela KTT G7 di Elmau, Jerman, Senin, 27 Juni 2022. Kedua pemimpin membahas upaya penguatan kerja sama di bidang pangan. (Dok: Biro Pers Sekretariat Presiden)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja pasar saham Indonesia masih jauh dibandingkan India. Hal ini tercermin dari data MSCI Emerging Markets Index.

Sebagai informasi, Morgan Stanley Capital International (MSCI) Emerging Markets Index merupakan suatu indeks untuk mengukur kinerja pasar saham di pasar negara berkembang.

Per 2022, posisi China unggul dari 24 negara yang ada dengan bobot terhadap MSCI Emerging Markets Index sebesar 31,4%. Taiwan di posisi kedua dengan bobot 14,8%. India di posisi ketiga dengan bobot 13,7%.
Posisi Indonesia jauh di bawah kedua negara itu dan hanya memiliki bobot 2%. 

MSCIFoto: Largest countries in the MSCI Emerging Markets Index
Sumber: MSCI

Posisi India  melompat tajam. Jika dibandingkan dengan 2009, posisi India di urutan kelima atau tepat berada di bawah Taiwan yang saat itu berada diperingkat empat.

Namun overlap terjadi pada 2015, yakni saat India melampaui Brazil dan dilanjutkan pada 2021, India mampu melewati Korea.

Mengutip dari Reuters, gap antara India dan China semakin menyempit seiring berjalannya waktu. Pada Februari 2024, terpantau bobot India sempat menyentuh level tertinggi sepanjang masa yakni 18,2% sedangkan China cenderung mengalami penurunan menjadi 25,4%.

IndiaFoto: India narrows gap with China in MSCI Global Standard Index (%)
Sumber: Nuvama Alternative & Quantitative Research, MSCI

Nuvama Alternative & Quantitative Research mengatakan bahwa lonjakan bobot India terjadi akibat aliran yang konsisten dari investor institusi dalam negeri dan partisipasi investor portofolio asing yang stabil.

Hingga akhirnya MSCI menambahkan lima saham India ke Global Standard index dan tidak mengeluarkan satu pun.

Berbeda halnya dengan China yang justru 66 sahamnya dikeluarkan dari indeks tersebut.

Mengapa India Menarik?

Pasar saham India tergolong sangat ramai. Hal ini tercermin dari traded value belakangan ini.Sebagai contoh pada 1 April 2024 terpantau traded value sebesar 84.466 crores atau sekitar Rp161 triliun (asumsi kurs Rp191/INR).

Sementara pasar saham Indonesia hanya sebesar Rp11 triliun di periode yang sama atau hanya 6,8% dari traded value di India.

Besarnya transaksi di pasar saham India terjadi disinyalir berkat pertumbuhan investor domestik terutama dari investor ritel yang sangat masif.

Sebagai contoh, hingga pertengahan 2023 investor retail telah mendominasi sekitar 52% pada setiap transaksi harian. Kemudian, diikuti investor institusi domestik menyumbang porsi 29% dan investor asing sebanyak 19%.

Kelompok usia dari investor ritel sebagian besar di rentang 22 - 35 tahun, dengan pendapatan sekitar 500 ribu sampai dengan 30 juta rupee India (kisaran Rp9 juta - Rp500 juta).

Jika berdasarkan kapitalisasi pasar atau jumlah uang yang dipegang investor retail memegang kepemilikan sekitar 18% pada sepanjang 2022-2023. Angka tersebut naik dari periode 2018 - 2022 dimana kepemilikan retail berada di 11%.

Sementara untuk investor institusi masih mendominasi secara nilai kepemilikan, menurut data Association of Mutual Funds in India Perusahaan atau Asosiasi Reksadana India (AMFI), ada kurang lebih 5000 manajer investasi dengan dana kelolaan tiap institusi kurang lebih 40 miliar rupee India atau sekitar Rp7,64 triliun.

Melonjaknya investor retail ini menjadi sentimen positif bagi pasar saham India karena hal ini akan menarik volume trading yang membuat likuiditas di pasar meningkat.

Sejalan dengan itu, ini menunjukkan minat investor dalam negeri yang semakin deras dan menandai perkembangan sikap pelaku pasar dengan literasi keuangan lebih tinggi untuk menempatkan dananya pada instrumen investasi.

Sebagai contoh, pada 2023 investor domestik dan asing terlihat masuk ke pasar saham India hingga akhirnya pasar saham India mengalami kenaikan 20% sejak awal 2023.

Investor domestik dan asing pada 2023 masing-masing berinvestasi di pasar ekuitas India nyaris sebesar 2.000 miliar rupee atau jika ditotalkan menjadi hampir 4.000 miliar rupee atau sekitar Rp764 triliun.

IndiaFoto: Investment in Indian Equities
Sumber: Refinitiv Datastream, NSDL

Derasnya investasi ke pasar saham India terjadi ditengarai akibat pertumbuhan struktural yang sangat baik bahkan salah satu yang terbaik di dunia.

Selain itu, India memiliki peluang dari generasi ke generasi untuk menjadi mesin pertumbuhan di negara-negara berkembang. Demografi adalah keuntungan utama, ditambah dengan peningkatan generasi muda terpelajar dan pemerintahan progresif yang melakukan reformasi struktural penting.

Beberapa ahli strategis dari Goldman Sachs Group Inc. Guillaume Jaisson dan Peter Oppenheimer juga mengatakan bahwa ada konsensus yang jelas bahwa India adalah peluang investasi jangka panjang terbaik.

"Ada konsensus yang jelas bahwa India adalah peluang investasi jangka panjang terbaik," Ungkap ahli strategi Goldman Sachs Group Inc pada catatan yang berisi hasil survei dari Konferensi Strategi Global perusahaan pada Selasa (16/1/2024).

Para investor juga melihat perekonomian India tergolong cukup baik, hal ini ditopang oleh permintaan konsumsi yang kuat, dorongan belanja modal yang kuat dari pemerintah, digitalisasi yang cepat, dan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan.

Alhasil, pada September 2023, tim JP Morgan Global Bond Index (GBI) mengumumkan bahwa India akan diikutsertakan dalam Seri Global GBI-Emerging Markets (EM) mulai bulan Juni. Penambahan ini, kata Kepala Ekonom India Kaushik Das dari Deutsche Bank Research, "akan menghasilkan arus masuk sebesar US$25 miliar atau sekitar Rp398,25 triliun (kurs US$ 1= Rp15.930) ke pasar pendapatan tetap India secara bertahap hingga akhir tahun fiskal 2024/2025 atau pada akhir Maret 2025.
Sebagai catatan, tahun fiskal dimulai pada April dan berakhir di Maret.

Kendati pasar saham India cukup baik, namun pasar saham China tergolong menarik juga. Bahkan beberapa aset manajemen seperti Lazard Asset Management, Manulife Investment Management, dan Candriam Belgium NV mengurangi eksposur ke India setelah kenaikan yang memecahkan rekor. Mereka beralih ke China, karena dukungan Beijing terhadap perekonomiannya mendorong pemulihan keuntungan industri dan manufaktur.

Perubahan yang baru terjadi ini menyoroti bagaimana dana mulai menerima narasi bahwa dukungan kebijakan Tiongkok akan cukup untuk menghidupkan kembali pertumbuhan.

Sementara berbeda halnya dengan Indonesia yang kendati secara perekonomian tergolong cukup baik (inflasi terjaga, neraca perdagangan surplus, pertumbuhan ekonomi cukup baik di 5%an), namun dampaknya tidak sebesar di India.

Tingkat literasi perihal investasi dan produk keuangan kepada masyarakat Indonesia masih cenderung rendah sehingga pemerintah perlu terus menggenjot berbagai cara untuk dapat meningkatkan kesadaran masyarakat dalam berinvestasi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation