CNBC Explain

Apa Itu Goodwill yang Buat GOTO Rugi Rp 90 Triliun?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
25 March 2024 08:10
Infografis, Simak Rekomendasi UBS Untuk Saham GOTO, Ini Target Harganya
Foto: Infografis/ GoTo/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten teknologi di Bursa Efek Indonesia (BEI) memiliki perlakuan khusus, di mana otoritas bursa sendiri menggelar karpet merah bagi perusahaan rintisan yang mau melakukan penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). Perlakuak khusus tersebut adalah membolehkan perusahaan IPO meskipun mereka masih dalam kondisi rugi asalkan memiliki fundamental yang bagus ke depan.

Dalam saham atau emiten teknologi, rasio valuasi umum yakni price to earnings (PER) dan price to book value (PBV) biasanya cenderung kecil, sehingga dapat dikatakan semakin murah.

Namun sayangnya, masih ada beberapa emiten teknologi dari startup yang belum bisa diukur PER dan PBV-nya, karena masih mencatatkan rugi.

Pada dasarnya PBV menjadi salah satu indikator awal penilaian mahal murahnya saham, akan tetapi penggunaannya relatif terbatas karena hanya melihat dari neraca keuangan, tanpa memperhitungkan kondisi laba rugi perusahaan. Terlebih lagi, kualitas aset tiap perusahaan dan industri juga berbeda dan berpotensi menimbulkan ilusi.

Perusahaan dengan jumlah aset lancar yang lebih dominan cenderung memiliki PBV relatif lebih tinggi dari perusahaan yang mayoritas asetnya masuk dalam klasifikasi tidak lancar atau tidak dapat dikonversi menjadi cash dalam waktu cepat.

Hal ini yang saat ini juga terjadi di beberapa perusahaan teknologi yang sudah melantai di bursa, di mana aset tidak lancar mewakili mayoritas total aset perusahaan. Aset tidak lancar tersebut nyaris 80% dari aset tidak lancar diklasifikasikan sebagai goodwill.

Mengenal Goodwill?

Goodwill adalah suatu bagian aset dalam neraca keuangan perusahaan, yang masuk dalam kategori aset yang tidak berwujud. Karena itu besaran goodwill sulit diukur secara pasti yang benar-benar merepresentasikan kondisi neraca keuangan perusahaan.

Goodwill tercipta ketika perusahaan mengakuisisi bisnis lain lebih dari nilai aset bersihnya. Secara umum selisih tersebut akan digolongkan sebagai goodwill.

Goodwill sendiri merupakan praktik umum yang banyak diterapkan oleh perusahaan teknologi, mengingat banyak dari aset perusahaan tidak berwujud.

Aset tidak berwujud sendiri termasuk di dalamnya paten hingga data konsumer. Akan tetapi tantangan utama masih tetap berkutat dengan seberapa akurat dan presisi goodwill merepresentasikan aset tidak berwujud yang dimiliki perusahaan.

Meski demikian, BEI sebagai regulator utama pencatatan perusahaan publik di Indonesia juga tidak mengatur secara ekstensif terkaitgoodwilldalam panduan dan persyataran IPO.

Otoritas bursa hanya menyebut perusahaan yang akan melantai di papan utama harus memiliki aset berwujud lebih dari Rp 100 miliar dan untuk papan pengembangan minimal Rp 5 miliar.

"Terkait dengan persyaratan angka-angka dalam laporan keuangan, perusahaan perlu memenuhi ketentuan batas minimal aset berwujud bersih atau net tangible asset (NTA) sebesar minimal Rp 5 miliar. NTA dihitung dari total aset dikurangi dengan aset tak berwujud, aset pajak tangguhan, total liabilitas dan kepentingan non pengendali," tulis BEI lewat Panduan IPO.

Sementara itu berdasarkan buku panduan BEI tidak terdapat aturan rinci terkait aset tidak berwujud (non-tangible asset), termasuk juga aturan terkait goodwill.

Alhasil, goodwill yang sulit terdeteksi secara jelas membuat saham-saham teknologi di Indonesia sebagian besar masih mencatatkan rugi bersih, meski sudah ada pemulihan baik sisi keuangan lainnya.

Seperti contoh saham PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), membengkaknya aset tak berwujud GOTO kala IPO muncul akibat merger dan akuisisi dengan Tokopedia. Dalam merger tersebut Tokopedia dikonsolidasi secara bisnis dengan penilaian akuisisi jauh di atas aset bersih yang dimiliki perusahaan.

Pada saat merger Mei 2021 silam, nilai akuisisi Tokopedia tercatat Rp 103,2 triliun dan menghasilkan goodwill yang tercatat senilai Rp 93,12 triliun. Artinya aset bersih Tokopedia kala akuisisi adalah Rp 10 triliun.

Tingginya biaya akuisisi juga bukan tanpa alasan, mengingat pada puncaknya Tokopedia sempat mencapai valuasi US$ 7,5 miliar atau setara Rp 112,5 triliun pada putaran pendanaan seri A yang dipimpin oleh Temasek dan Google.

Akuisisi sendiri dilakukan secara non tunai, dimana perusahaan mengganti pembayaran kepada pemilik saham sebelumnya dalam bentuk kepemilikan saham di GOTO.

Merger yang dilakukan pada puncak reli investasi sektor teknologi pasca pandemi dan peredaran signifikan uang murah imbas kebijakan moneter lunak membuat guyuran dana ke startup tak ada henti-hentinya. Alhasil valuasi perusahaan ikut menggelembung secara signifikan, termasuk yang terjadi di Tokopedia akibat investor dana swasta yang bullish.

Namun, seiring pengetatan kebijakan moneter global, lanskap perusahaan teknologi ikut berbalik arah. Penilaian bombastis tersebut nyatanya tidak mampu dipertahankan, dengan sejumlah perusahaan rintisan global memangkas valuasinya secara signifikan.

Perusahaan pembayaran Stripe valuasinya sempat terpangkas dari US$ 95 miliar menjadi US$ 50 miliar, sedangkan raksasa edutech India Byju valuasinya turun dari US$ 22 miliar menjadi tersisa US$ 1 miliar.

Hal ini juga terjadi di Tokopedia, secara internal perusahaan telah mencatatkan kerugian akibat penurunan nilai pada laporan keuangan tahun 2022 silam.

Kala itu perusahaan mencoret nilai Rp 17 triliun dari goodwill Tokopedia dari semula Rp 93 triliun pada awal merger menjadi Rp 76 triliun di akhir tahun.

Terbaru pasca akuisisi oleh Tokopedia oleh TikTok, GOTO kembali membukukan penurunan nilai goodwill yang lebih jumbo lagi.

Akhir tahun lalu, Tokopedia diakuisisi oleh TikTok senilai US$ 840 juta atau sekitar Rp 13 triliun dengan TikTok menjadi pengendali dengan kepemilikan 75%.

Artinya sisa kepemilikan GOTO 25% di Tokopedia sebesar 3,38 triliun, seperti yang diungkapkan GOTO dalam laporan keuangan terbarunya.

Dalam akuisisi tersebut Tokopedia kembali mengalami penurunan nilai 73,19 triliun.

Hal ini pada akhirnya ikut menekan kinerja laba bersih perusahaan yang nilainya tercatat sebesar Rp 90,39 triliun.

Sebagai catatan kerugian akibat penurunan nilai ini merupakan kerugian non tunai, yang mana tidak mempengaruhi kas dan likuiditas perusahaan, karena nilai goodwill sendiri muncul dari transaksi non tunai. Penurunan nilai ini juga dapat diartikan sebagai meledaknya gelembung valuasi Tokopedia.

Ini merupakan kali terakhir Tokopedia dikonsolidasi dalam laporan keuangan GOTO, karena pasca kehilangan pengendalian 1 Februari lalu, Tokopedia tidak lagi menjadi entitas anak GOTO dan laporannya dikonsolidasi ke TikTok.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation