
El Nino Akan Berganti La Nina, Ini Ngerinya ke Harga Beras RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Fenomena anomali iklim yang dapat disebut El Nino di Indonesia diperkirakan akan berakhir dan berganti menjadi anomali cuaca lainnya yakni La Nina.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan El Nino akan segera menuju masa netral. Nantinya fenomena itu akan digantikan dengan La Nina.
"El Nino diprediksi akan segera menuju netral pada periode Mei, Juni, Juli 2024," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam konferensi pers virtual.
La Nina diperkirakan akan muncul mulai Juli 2024. Nantinya akan melemah setelah triwulan ketiga pada Juli hingga September mendatang.
Sejumlah prediksi juga memperkirakan hal serupa. Salah satunya diungkapkan oleh Institute for Climate and Society (IRI).
"Namun peluang klimatologisnya (La Nina) mencapai musim panas boreal 2024 (Juni-September), La Nina menjadi kategori yang paling mungkin terjadi pada Juli-September 2024 dan seterusnya," demikian keterangan resmi IRI.
Baik El Nino dan La Nina memiliki karakteristik yang sangat berbeda. El Nino membuat iklim di Indonesia menjadi lebih kering sehingga cuaca Indonesia lebih banyak kemarau ketimbang hujan, bahkan membuat tidak adanya hujan.
Sedangkan La Nina sebaliknya, di mana iklim Indonesia cenderung lebih basah sehingga membuat cuaca hujan lebih sering ketimbang kemarau.
Adapun menurut laman resmi National Oceanic and Atmospheric Administration, ada perbedaan antara El Nino dan La Nina. Berikut perbedaan keduanya, dirangkum dari, Selasa (19/3/2024):
El Nino
El Nino yang berarti anak kecil dalam bahasa Spanyol merupakan saat fenomena angin pasat melemah. Ini akan membuat air hangat didorong ke arah timur yakni pada pantai barat Amerika.
Perairan yang hangat ini akan mempengaruhi cuaca. Misalnya pada AS bagian utara dan Kanada menjadi lebih kering dan hangat, sementara di Pantai Teluk dan Tenggara AS akan lebih basah bahkan berisiko mengalami banjir.
El Nino juga berdampak pada kehidupan laut. Misalnya pada Samudera Pasifik saat normal, upwelling akan membawa air yang dingin penuh nutrisi dari kedalaman menuju permukaan.
Namun saat El Nino, upwelling melemah atau berhenti sama sekali. Tanpa nutrisi dari perairan dalam membuat fitoplankton akan berkurang dan berdampak pada ikan yang memburunya hingga yang memangsa ikan.
Dampak lainnya adalah spesies tropis ke wilayah yang terlalu dingin. Spesies ini misalnya ikan ekor kuning dan tuna albakora.
La Nina
Jika El Nino membawa suhu yang hangat, La Nina berlaku sebaliknya. Upwelling akan meningkat saat La Nina, dan membawa air dingin kaya nutrisi ke permukaan.
Perairan yang dingin akan menyebabkan kekeringan di wilayah selatan AS dan hujan lebar disertai risiko banjir pada bagian barat laut Pasifik dan Kanada.
La Nina akan membuat suhu musim dingin menjadi lebih hangat di bagian selatan dan lebih dingin pada bagian utara. Fenomena ini juga membawa badai yang lebih parah dari biasanya.
Fenomena ini mendukung pada kehidupan laut. Misalnya menarik banyak spesies perairan dingin seperti cumi-cumi dan salmon ke tempat seperti pantai California.
![]() Seorang petani mengamati padi yang mengalami kekeringan di Desa Kramat, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu, (9/8/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo) |
Memang, keduanya memiliki karakteristik berbeda. Tetapi, keduanya dapat menyebabkan terganggunya pangan nasional. Jika El Nino membawa Indonesia menjadi kemarau, maka ancamannya yakni sulitnya kebutuhan air untuk lahan pertanian dan menyebabkan gagal panen.
Sedangkan untuk La Nina, meski diuntungkan karena potensi hujan yang tinggi, tetapi jika curah hujan semakin tinggi membuat adanya potensi bencana banjir di pesisir, sehingga hal tersebut juga membahayakan pangan karena adanya potensi gagal panen akibat banjir.
Sejak pertengahan 2023 lalu, Indonesia mengalami fenomena iklim El Nino yang menyebabkan musim kemarau panjang dan lebih ekstrim panas serta kering dibandingkan biasanya.
Akibatnya, produksi pertanian, termasuk gabah di dalam negeri mengalami penurunan. Dampak yang terasa pada sepanjang 2023 adalah penyusutan produksi sejumlah komoditas pangan RI.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi padi dan luas panen terus menyusut yang menunjukkan produktivitas turun.
Produksi yang menyusut membuat pemenuhan dalam negeri sempat terganggu, imbasnya Indonesia perlu mengimpor beras dalam jumlah besar.BPS mencatat beras menjadi salah satu komoditas impor terbesar sepanjang tahun 2023 mencapai 3,06 juta ton.
Dampak El Nino ini masih terasa pada produksi Januari-Februari 2024 dan diprediksi bakal defisit 2,8 juta ton setara beras.
Harga beras pun meroket belakangan ini, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan atau yang akrab disapa Zulhas juga mendapati harga beras premium lokal masih mahal di pasar tradisional, yakni tembus Rp 19.000 per kg.
Temuan tersebut didapati-nya saat Ia melakukan peninjauan harga dan pasokan di Pasar Kramat Jati, Jakarta Timur hari ini, Jumat (15/3/2024).
Sementara berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) per Rabu hari ini, terpantau harga beras mencapai Rp 15.700/kg. Angka ini sudah mulai menurun dari periode 13-19 Maret lalu yang hingga mencapai Rp 16.000/kg.
Ketika El Nino akan berakhir dan akan muncul La Nina, tentunya sektor pangan juga akan terdampak. Hal ini karena saat La Nina terjadi, curah hujan cukup tinggi, menyebabkan adanya risiko banjir yang lebih tinggi, suhu udara yang lebih rendah di siang hari, dan lebih banyak badai tropis.
BMKG menambahkan, La Nina akan memicu kondisi lebih basah dibandingkan kondisi normal, sehingga meningkatkan risiko hujan ekstrem yang merugikan lahan pertanian serta memicu potensi berkembangnya hama dan penyakit tanaman.
Tak hanya itu, risiko banjir membuat distribusi pangan juga cenderung terganggu karena jalan yang terkena banjir tidak bisa dilewati, alhasil pengiriman juga terganggu karena proses pengiriman bisa molor akibat banjir.
Efek negatif dari La Nina juga tidak hanya bakal terjadi di Indonesia. Negara-negara lain yang pertaniannya cukup besar juga bakal berdampak.
Indeks Harga Beras Organisasi Pangan dan Pertanian per Februari 2024 mencapai 140,55 poin. Angka ini naik 12,35% pada periode yang sama tahun lalu di angka 125,1. Meski begitu, angka Februari cenderung menurun dari periode Januari lalu yang berada di angka 142,78, atau turun 1,56%.
Kekhawatiran atas potensi dampak La Nina pada produksi di beberapa pemasok memberikan dukungan lebih lanjut terhadap harga.
Kesimpulannya yakni baik El Nino dan La Nina, kondisi pangan utamanya beras di dalam negeri dan luar negeri cenderung terdampak negatif. Hanya saja, penyebabnya berbeda.
Jika El Nino dapat mengancam pangan nasional karena kapasitas air untuk pertanian jauh menurun akibat kemarau dan iklim kering. Sebaliknya La Nina juga dapat mengancam karena curah hujan yang tinggi membuat lahan pertanian dapat terkena banjir, utamanya di dataran rendah atau daerah pesisir.
Dampak lain dari La Nina yakni terhambatnya distribusi pangan dari suatu daerah ke daerah lain, karena adanya banjir yang dapat memutus jalan utama dan pengiriman berpotensi terganggu.
Negara Lain Juga Terdampak
Institut Penelitian Internasional untuk prakiraan iklim Iklim dan Masyarakat memperkirakan dampak El Nino cukup besar di porsi negara berkembang Asia pada tahun 2023 dan 2024. Sebagai catatan Asian Development Bank (ADB) memperingatkan bahwa El Nino ini tidak mengikuti siklus yang teratur, tetapi terjadi rata-rata dalam interval 2 hingga 7 tahun dan berlangsung 9-12 bulan.
Berdasarkan data Nasional Administrasi Kelautan dan Atmosfer (NOAA), ada empat yang terkuat tercatat episode El Nino terjadi pada tahun 1972-1973, 1982-1983, 1997-1998, dan 2014-2016.
Data juga menunjukkan kepada dunia bahwa perekonomian sempat mengalami kerugian ekonomi yang cukup besar. Bahkan, kerugian ekonomi global berjumlah US$ 4,1 triliun pada tahun-tahun setelah 1982-1983. Kemudian kerugian tercatat mencapai US$5,7 triliun setelah tahun 1997-1998.
Hal ini berdasarkan penelitian dalam analisis terhadap 75 negara yang terkait melalui pola cuaca selama tahun 1975-2014, tunjukkan hal itu Peristiwa El Niño (dan La Niña) menyebabkan faktor total produktivitas turun, yang berdampak negatif pada output pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya.
Selama tahun 2014-2016 El Nino, negara berkembang Asia mengalami kekeringan, kekurangan air, degradasi lahan, hilangnya ternak dan produksi pertanian yang lebih rendah, dan lebih rendah produksi tenaga air, sehingga memperlambat pertumbuhan di beberapa perekonomian di kawasan ini (ADB 2016, UNESCAP 2017).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)