Macro Insight

Ekonomi China Sudah Mulai Pulih, Benarkah?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
11 March 2024 20:00
Ilustrasi bendera China. (VCG via Getty Images/VCG)
Foto: Ilustrasi bendera China. (VCG via Getty Images/VCG)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian China sepertinya masih belum sepenuhnya pulih hingga awal Maret 2024, meski beberapa data ekonomi menunjukkan tanda pemulihan.

Padahal sebelumnya, pemerintah China telah melakukan berbagai kebijakan untuk mendukung pemulihan ekonominya. Bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) telah memangkas salah satu suku bunga acuan pinjamannya (Loan Prime Rate/LPR) pada pertemuan edisi Februari lalu, yakni LPR tenor 5 tahun yang dipangkas menjadi 3,95%, dari sebelumnya di level 4,2%.

Pemotongan suku bunga lima tahun dalam penetapan bulanan untuk Februari lebih besar dari ekspektasi penurunan antara lima hingga 15 basis poin dalam jajak pendapat para ekonom Reuters. Ini juga merupakan yang pertama sejak terakhir kali dipangkas pada Juni sebesar 10 basis poin (bp).

"Pergerakan asimetris ini menandakan berlanjutnya preferensi pihak berwenang terhadap pelonggaran yang ditargetkan, dan keinginannya untuk meningkatkan dukungan bagi sektor properti," tutur Louise Loo, kepala bidang ekonomi di Oxford Economics, dilansirCNBC International, Selasa (20/2/2023).

Selain Loo, analis di E-House China Research and Development Institution, Yan Yuejin mengatakan bahwa siklus penurunan suku bunga terbesar dalam sejarah telah dimulai dan pemotongan ini akan berdampak langsung pada sektor real estate dengan menurunkan biaya hipotek.

Lebih lanjut, dengan potensi pemangkasan suku bunga beberapa bulan ke depan khususnya dari bank sentral Amerika Serikat (AS) The Fed, maka akan semakin besar kemungkinan Beijing untuk memberikan lebih banyak dukungan kebijakan moneter dalam rangka menggerakkan perekonomian.

LSEG DatastreamFoto: Suku Bunga China
Sumber: LSEG Datastream

Kendati hal ini secara umum memberikan angin segar bagi pasar properti China, namun pembeli rumah ada rasa ragu dan takut bukan karena hipotek yang terlalu tinggi, namun karena pengembang yang berpotensi bangkrut dan harga rumah turun.

Menanggapi hal ini, ahli strategi investasi Asia-Pasifik di Legal and General Investment Management di Hong Kong, Ben Bennett menegaskan agar terdapat tindak lanjut dengan lebih banyak suntikan dana ke pemberi pinjaman, proyek perumahan dan pengembang sehingga pembeli rumah tidak merasa ragu.

Satu hal lain yang perlu dicermati yakni meskipun suku bunga acuan lima tahun mengalami penurunan, namun pemegang hipotek yang ada tidak akan mendapatkan keuntungan dari pengurangan pembayaran pinjaman hingga tahun depan, karena penyesuaian harga suku bunga hipotek dilakukan setiap tahun.

Alhasil pemangkasan suku bunga ini tak serta-merta langsung menggerakkan sektor properti China.

Menurut bank-bank investasi internasional besar memperkirakan perekonomian China akan tumbuh lebih lambat pada 2024 dibandingkan pada 2023, menurut perkiraan tahunan yang dirilis dalam beberapa bulan terakhir.

Prediksi rata-rata di antara lima perusahaan, termasuk Goldman Sachs dan Morgan Stanley, menunjukkan peningkatan produk domestik bruto (PDB) riil sebesar 4,6% tahun ini, turun dari perkiraan 5,2% pada tahun 2023.

CPI China pulih sedikit, PPI masih Deflasi

Data ekonomi terbaru menunjukkan China masih dilanda deflasi dari sisi produsen. Sebelumnya pada Sabtu lalu, consumer price index (CPI) China pada periode Februari 2024 naik menjadi 0,7% secara tahunan (year-on-year/yoy) dan tumbuh 1% secara bulanan (month-to-month/mtm), dari sebelumnya pada Januari lalu yang kontraksi 0,8% (yoy) dan tumbuh 0,3% (mtm).

Kenaikan sedikit inflasi China pada bulan lalu diuntungkan oleh peningkatan belanja selama liburan Tahun Baru Imlek.

Namun, producer price index (PPI) China menyusut lebih besar dari perkiraan selama periode tersebut, alias PPI China masih mengalami deflasi yakni menjadi kontraksi 2,7% pada Februari lalu, menandakan bahwa penggerak ekonomi terbesar China sebagian besar masih berada di bawah tekanan.

Tren yang sedang berlangsung ini mengindikasikan tekanan deflasi yang terus-menerus di masa depan, yang mengisyaratkan lemahnya permintaan konsumsi.

Deflasi tetap menjadi perhatian penting di kalangan investor terkait lanskap ekonomi China. Kekhawatiran lain adalah meningkatnya ketegangan perdagangan antara AS dan China.

Pada Jumat lalu, Bloomberg melaporkan bahwa Washington sedang mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi terhadap beberapa perusahaan teknologi China, menambah ketidakpastian geopolitik di sekitar kedua negara.

Arus keluar modal dari China telah menjadi tren yang konsisten selama beberapa waktu. Namun, para analis di Institute of International Finance menunjukkan bahwa tren ini mungkin akan berbalik.

Pada Februari lalu, China mengalami arus masuk ekuitas pertama dalam enam bulan, menandai masuknya modal yang paling signifikan dalam lebih dari satu tahun.

Pergeseran arus modal ini dapat mengindikasikan perubahan sentimen investor dan berpotensi menandakan kepercayaan diri yang baru di pasar China.

Sektor manufaktur China masih melambat

Aktivitas manufaktur China hingga Februari masih cenderung bervariasi, tetapi cenderung lesu. Aktivitas manufaktur China pada Februari menyusut selama lima bulan berturut-turut. Data ini terlihat ditunjukkan oleh survei resmi yang dirilis Biro Statistik Nasional (NBS) China pada Jumat (1/3/2024).

Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur resmi turun menjadi 49,1 pada Februari dari 49,2 pada Januari dengan penurunan yang cukup besar pada komponen output.

Angka tersebut berada di bawah angka 50 yang memisahkan pertumbuhan dari kontraksi dan sejalan dengan perkiraan median sebesar 49,1 dalam jajak pendapatReuters.

Faktor musiman berkontribusi terhadap beberapa pelemahan tersebut adalah Tahun Baru Imlek pada 10 Februari lalu. Ini menyebabkan pabrik-pabrik tutup karena para pekerja kembali ke rumah untuk berlibur pada waktu tersebut.

Namun menurut Caixin, PMI manufaktur China pada bulan lalu justru mengalami kenaikan meski sedikit yakni menjadi 50,9, dari sebelumnya pada Januari lalu di angka 50,8.

Meski dari Caixin data PMI manufaktur China masih lebih baik, tetapi data acuan aktivitas manufaktur tetap dari versi NBS, sehingga dapat dikatakan bahwa aktivitas manufaktur di China masih lesu.

Pesanan ekspor baru telah menyusut selama 11 bulan bertutut-turut menurut PMI manufaktur NBS. Lapangan kerja di sektor pabrik juga mengalami penurunan. Ini mencerninkan bahwa tekanan pada dunia usaha terus berlanjut.

Dengan data-data di atas, sejatinya China masih cukup jauh untuk selamat dari krisis yang sudah terjadi sejak pandemi Covid-19. Hal ini juga merupakan dampak jangka panjang dari penerapan lockdown di China saat terjadinya Covid-19, sehingga sektor properti bahkan manufaktur masih sulit untuk pulih dalam waktu jangka pendek.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation