Macro Insight

4 Faktor Ini Buat Rupiah Terkapar

Revo M, CNBC Indonesia
01 March 2024 07:10
Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Petugas menghitung uang di tempat penukaran uang Luxury Valuta Perkasa, Blok M, Jakarta, Kamis, 21/7. Rupiah tertekan pada perdagangan Kamis (21/7/2022) (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Lima hari beruntun rupiah tak berkuasa melawan dolar Amerika Serikat (AS). Beberapa faktor internal maupun eksternal menjadi pendorong pelemahan mata uang Garuda ini.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,19% di angka Rp15.710/US$ pada 29 Februari 2024. Pelemahan rupiah ini sejalan dengan depresiasi yang terjadi merupakan penurunan yang berlangsung selama lima hari beruntun sejak 23 Februari 2024 dan saat ini merupakan posisi terendah sejak 6 Februari 2024.

Hal ini sejalan dengan penguatan indeks dolar AS (DXY) pada 29 Februari yang naik 0,15% ke angka 104,13 yang juga merupakan posisi tertinggi sejak 19 Februari 2024.

Berikut ini beberapa faktor yang menyebabkan depresiasi rupiah:

1. Twin Deficit

Kembali munculnya hantu twin deficit ini menandai jika Indonesia kembali terimbas oleh guncangan eksternal. Alhasil transaksi berjalan dan budget fiscal berada di teritori negatif secara bersamaan.

Indonesia mencatatkan defisit Transaksi Berjalan hingga US$1,3 miliar pada kuartal IV-2023 sementara secara keseluruhan tahun 2023 defisitnya mencapai US$1,6 Miliar atau 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di sisi lain Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 defisit sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Guncangan eksternal terjadi di tengah pelemahan ekonomi global yang diperkirakan terjadi pada 2024 khususnya dari beberapa negara maju di dunia.

China sebagai negara terbesar di Asia yang memiliki dampak besar bagi negara tetangganya, diperkirakan memiliki pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 5% di tahun ini. Hal ini terjadi di tengah krisis properti yang melanda, tingkat pengangguran kaum muda yang cukup tinggi bahkan sempat menyentuh 21,3% pada Juni 2023. Tidak sampai di situ, jumlah utang yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan PDB juga memberikan tekanan.

Sementara negara maju lainnya yakni Jepang dan Inggris tercatat mengalami resesi atau dengan kata lain pertumbuhan PDB berada di zona negatif di kuartal tiga dan empat secara beruntun.

Situasi ini menunjukkan perekonomian global sedang tidak baik-baik saja dan hal ini memberi dampak kepada negara lainnya yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap negara-negara maju.

2. Ekspor Indonesia Melemah

Ekspor Indonesia sepanjang 2023 mengalami penurunan dampak dari pelemahan permintaan global. Merujuk berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total ekspor Indonesia sepanjang 2023 hanya sebesar US$258,8 miliar atau turun 11,34% jika dibandingkan 2022 yang berada di angka US$291,9 miliar.

Penurunan ini tercermin dari pelemahan ekspor terhadap China, AS, dan Jepang yang merupakan tujuan ekspor Indonesia.

Sepanjang 2023, penurunan ekspor Indonesia ke China menjadi US$64,94 miliar atau turun 1,37%, ekspor ke AS juga anjlok 17,5% menjadi US$23,25 miliar, dan ekspor ke Jepang juga ambles 16,35% menjadi US$20,79 miliar.

3. Impor Indonesia Masih Cukup Tinggi & Neraca Perdagangan Menyusut

Di tengah ekspor yang menyusut, impor Indonesia juga mengalami penurunan. Namun yang patut diperhatikan yakni penurunan impor jauh lebih rendah dibandingkan penurunan ekspor.

Sepanjang 2023, impor Indonesia tercatat sebesar US$221,9 miliar atau turun 6,55% jika dibandingkan dengan 2022. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih cukup bergantung dengan luar negeri untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Alhasil neraca perdagangan Indonesia pun menyusut sebesar 32,22% menjadi hanya US$36,9 miliar pada 2023.

Bahkan di tahun 2024, Bank Central Asia (BCA) dalam laporan The Focal Point yang berjudul FX loans: towards the fast lane mengatakan bahwa neraca perdagangan diproyeksikan kembali menurun menjadi hanya sebesar US$32,6 miliar atau lebih rendah dibandingkan tahun 2021.

Untuk diketahui, ekspor-impor dan neraca perdagangan bagi Indonesia menjadi hal yang penting diperhatikan karena hal ini berhubungan dengan ketersediaan valuta asing (valas).

Semakin tingginya impor, maka pasokan valas di Indonesia akan semakin berkurang karena digunakan untuk membayar akibat permintaan dolar AS yang meningkat.

Oleh karena itu, ekspor barang dan jasa perlu digenjot agar pasokan valas di Indonesia tetap terjaga dengan baik dan rupiah relatif dapat stabil.

4. Perekonomian AS Masih Kuat

AS selaku negara terbesar di dunia menjadi salah satu penentu perekonomian negara lainnya termasuk kebijakan-kebijakan yang diputuskan oleh bank sentral.

Sebagai catatan, bank sentral AS (The Fed) hingga kini masih menahan suku bunganya selama empat bulan beruntun di level yang cukup tinggi yakni 5,25-5,5%.

Dalam pernyataan resminya mengatakan pemangkasan suku bunga tidak layak dilakukan selama mereka belum yakin jika inflasi bergerak ke arah 2%.

"Kami merasa tidak patut untuk mengurangi target sasaran (suku bunga) sampai kami merasa lebih percaya diri jika inflasi sudah bergerak ke target sasaran 2%. Komite sangat berkomitmen untuk membawa inflasi ke target sasaran 2%. Inflasi sudah melandai dalam setahun terakhir tetapi kami masih memberi perhatian penuh terhadap risiko inflasi" tutur pernyataan The Fed dalam situs resminya.

Beberapa pejabat The Fed pun menegaskan perihal data inflasi menjadi hal yang penting sebelum pemangkasan suku bunga dilakukan, seperti Wakil Ketua Federal Reserve Philip Jefferson hingga Presiden Federal Reserve Bank of Atlanta Raphael Bostic.

Sebagai catatan, inflasi AS menembus 3,1%(year on year/yoy) pada Januari 2024, melandai dari 3,4% pada Desember 2023 tetapi jauh di atas ekspektasi pasar (2,9%).

Sementara inflasi inti tahunan tetap stabil di angka 3,9% yoy, dibandingkan ekspektasi yang diperkirakan akan melambat menjadi 3,7% (yoy).

Hingga saat ini dengan data yang ada, survei pelaku pasar yang tercermin dari CME FedWatch Tool menunjukkan potensi first cut rate terjadi pada Juni 2024 dengan 56,4% dan hingga akhir tahun, pelaku pasar berekspektasi suku bunga The Fed berada di rentang 4,25,4,5%.

CMEFoto: Meeting Probabilities
Sumber: CME FedWatch Tool

Suku bunga yang tinggi dalam waktu lama ini biasanya berkorelasi positif dengan DXY yang berada di level cukup tinggi. Maka dari itu rupiah akan semakin sulit menguat jika hal ini terus-menerus terjadi apalagi jika pemerintah tidak melakukan intervensi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation