Bukan EV, Sumber Energi Bersih RI Ini Bisa Kurangi Candu Konsumsi BBM

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
13 March 2024 12:50
Suasana di Stasin Pengisisan Bahan Bakar Gas (BBG). (CNBC Indonesia/Rahajeng Kusumo Hastuti)
Foto: Suasana di Stasiun Pengisisan Bahan Bakar Gas (BBG). (CNBC Indonesia/Rahajeng Kusumo Hastuti)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia kini tengah menggencarkan program energi bersih sebagai salah satu upaya mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Adapun salah satu sumber energi bersih yang diandalkan dalam proses transisi energi ini yaitu gas. Emisi gas dinilai jauh lebih rendah daripada batu bara, sehingga cocok untuk sumber energi saat transisi dari energi fosil ke energi bersih.

Dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (21/2/2024), Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto mengungkapkan, gas bumi menjadi sumber energi yang paling cocok untuk fase transisi energi ini, terutama karena Indonesia memiliki pasokan gas yang cukup melimpah saat ini. Djoko menjelaskan, "Gas adalah yang paling cocok memang untuk transisi sebelum kita sepenuhnya menggunakan EBT."

Hal ini didukung dengan pasokan gas Indonesia yang melimpah, berada di peringkat ke-13 dunia menurut data World ometers. Data juga menunjukkan produksi gas tahunan Indonesia berada di posisi ke-11 dunia, sehingga menunjukkan besarnya potensi, jika penggunaan gas dioptimalisasi. 

Djoko mengungkapkan bahwa sekitar 30 tahun yang lalu, Indonesia pernah memanfaatkan gas sebagai sumber energi untuk sektor transportasi. Saat itu, telah dibangun 28 Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), tetapi permintaan untuk kendaraan berbahan bakar gas menurun karena kurangnya dukungan kebijakan pemerintah.

Berdasarkan tinjauan Tim CNBC Indonesia Research, salah satu SPBG yang masih beroperasi terletak di Jl. Kapten Tendean No.38 2, RT.2/RW.5, Kuningan Bar., Kecamatan Mampang Prapatan, Kota Jakarta Selatan. Berdasarkan penelusuran pada Kamis (29/2/2024), SPBG Tendean masih dalam masa perbaikan. 

Pada saat kunjungan, CNBC melakukan wawancara dengan Mubin, tim manajemen keuangan SPBG tersebut. Mubin menyatakan bahwa harga BBG saat ini senilai Rp 4.500 per liter setara premium (LSP). Berdasarkan Jurnal Universitas Muhammadiyah Jakarta yang ditulis oleh Ika Kurniaty (2017), konsumsi 1 liter kendaraan berbasis bahan bakar minyak (BBM) dapat menempuh jarak 12 km, sedangkan bahan bakar CNG dapat menempuh jarak 13,5 km dari setiap penggunaan 1 LSP. 

Berdasarkan data tersebut, penggunaan BBG dapat lebih murah dibanding BBM. Perhitungan menunjukkan pengeluaran untuk setiap kilo meter BBM sebesar Rp 833, sedangkan BBG jauh lebih murah senilai Rp 333. Sayangnya, Mubin menjelaskan penggunaan SPBG Tendean ini hanya ditargetkan untuk mobil taksi milik Blue Bird. 

Salah satu permasalahan ini disebabkan oleh beberapa faktor. Mengutip CNBC Indonesia, mantan Anggota Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Jugi Prajogio berpandangan, ada empat hal yang harus dipenuhi untuk program BBG ini. Pertama, pasokan gas. Kedua, keberadaan tempat pengisian gas. Ketiga, ada penggunanya, dan terakhir harga yang cocok.

Data menunjukkan, konsumsi gas Indonesia stagnan dengan kecenderungan menurun dalam beberapa tahun terakhir. Dalam periode 2010-2022, konsumsi gas menunjukkan penurunan 17% menjadi 36,1 miliar meter kubik (bcm).

Hal ini diiringi dengan produksi gas Indonesia yang juga menunjukkan tren penurunan. Produksi gas Indonesia telah turun 33% dalam periode 2010-2022 menjadi 57,7 bcm. Salah satu persoalan keterbatasan dari konsumsi gas disebabkan oleh tidak adanya kepastian pasar dan calon pembeli.

Persoalan kedua, terkait masalah tempat pengisian gas yang masih belum jelas. Salah satu solusinya adalah dapat memaksimalkan penggunaan SPBG di SPBU yang telah ada saat ini yang telah mencapai lebih dari 7.000 titik. 

Permasalahan ketiga yaitu dari sisi pengguna gas yang sampai saat ini masih tidak jelas, terutama ketika dari sisi produsen kendaraan tidak diwajibkan menyediakan alat pengonversi (converter) ke BBG. Program konversi BBG ini tidak akan berjalan selama tidak ada ketersediaan alat converter BBM ke BBG. Agar produsen mobil ini menyediakan alat converter, maka menurutnya memang diperlukan payung hukum atau regulasi yang mewajibkan semua mobil yang dirakit atau diproduksi harus ada converter kit BBG.

Lalu, terakhir soal harga BBG ke konsumen. Meski dipatok harga lebih rendah dibandingkan harga BBM, namun jangan sampai badan usaha yang membuat stasiun pengisian BBG itu dibuat rugi yang pada akhirnya tidak mau menyediakan gas.

Berdasarkan beberapa masalah tersebut, tantangan dari program konversi BBM ke BBG saat ini yaitu peraturan dan badan usaha yang belum terintegrasi, serta ketersediaan dan keterjangkauan alat konversi BBM ke BBG.

Tidak hanya itu, penggunaan BBG juga terhitung lebih ramah lingkungan. Melansir data US EPA yang dikutip dari NY-Engineers, data menunjukkan intensitas emisi yang dihasilkan oleh bahan bakar minyak lebih besar dibanding gas alam, baik dari segi karbondikoksida (CO2), Metana (CH4), dan Nitrous Oxide (N2O). 

Kepala Unit Percepatan Proyek JTB SKK Migas Waras Budi Santosa mengatakan, Jawa Timur kemungkinan akan mengalami kelebihan pasokan gas pada 2023. Persoalan ini memerlukan adanya kebijakan yang lebih condong dalam penggunaan gas dibanding sumber energi seperti minyak dan batu bara yang lebih kotor. 

Salah satu usaha pemaksimalan penggunaan sumber energi gas dapat dilakukan pada sektor transportasi atau penggunaan BBG untuk kendaraan. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat sebagai negara pemain utama gas menunjukkan keberhasilannya.

Secara ekonomis, gas menjadikan transisi energi lebih terjangkau bagi konsumen. Selain itu, infrastruktur gas memiliki potensi besar untuk penyimpanan dan transportasi energi terbarukan. Banyak studi ilmiah menunjukkan keuntungan gas dalam mencapai karbon netral.

LNG sudah berperan penting dalam peralihan dari batu bara, menyumbang 40% listrik AS dan mengurangi emisi karbon sebesar 35% sejak 2005. LNG menggantikan batu bara dan membawa manfaat lingkungan yang signifikan. Estimasi Institut Minyak Amerika menyebutkan ekspor LNG bisa menambah hingga US$73 miliar pada ekonomi AS pada 2040.

Djoko mengungkapkan bahwa 30 tahun lalu, bus dan kendaraan umum lainnya telah menggunakan armada berbahan bakar gas. Bahkan, kendaraan dinas pemerintah, taksi, truk, kapal, kereta, dan bahkan uji coba untuk motor dengan penggunaan gas telah dilakukan.

"Uji cobanya sudah oke, harga pun lebih murah dari bensin," tambahnya.

Begitu juga dari hasil penelitian, seperti dilansir dari Latvian Journal of Physics and Technical Sciences. Penelitian tersebut menemukan bahwa pengoperasian kendaraan bertenaga gas (Compressed Natural Gas/CNG) 24% lebih murah per kilo meter dibandingkan dengan diesel dan 66% lebih murah dibandingkan dengan kendaraan bensin.

Jurnal tersebut menyebutkan bahwa harga paling tinggi dari setiap kilometer yaitu berasal dari bahan bakar bensin (0,06 EUR/km), sementara diesel lebih murah (0,04 EUR/km), tetapi CNG adalah yang paling murah dari ketiga jenisnya (0,03 EUR/km).

Namun, untuk menggenjot pemanfaatan gas di dalam negeri, Djoko menekankan bahwa pembangunan infrastruktur yang masif menjadi kunci utama. Ini akan memungkinkan wilayah-wilayah dengan cadangan gas besar untuk menyalurkan pasokan gas ke daerah-daerah yang membutuhkan.

Pentingnya gas dalam mencapai target energi baru dan terbarukan (EBT) juga disorot oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Direktur Pembinaan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Noor Arifin Muhammad menyatakan bahwa gas bumi akan mengisi gap atau selisih antara target dan realisasi bauran energi baru dan terbarukan.

"Tahun 2025, ditargetkan 23% dari EBT. Untuk menjembatani sebelum semuanya berasal dari energi baru, maka gas ini merupakan sumber energi paling feasible dengan jumlah melimpah dan lebih bersih dibandingkan dengan fosil lainnya," kata Noor Arifin dalam acara Energy Corner CNBC Indonesia, Senin (29/1/2024).

Mengutip data Indonesian Petroleum Association (IPA), kebutuhan gas Indonesia diproyeksikan akan meningkat 4 kali lipat dalam periode 2020-2050. Peran gas dalam bauran energi juga akan bertambah dari 21% pada 2020, menjadi 22% (2030), dan bertambah menjadi 24% (2050).

Meskipun gas diakui sebagai solusi transisi yang efektif, Djoko menegaskan bahwa kebijakan dan regulasi yang mendukung penggunaan gas di Indonesia perlu diperjelas. Ini melibatkan pengembangan lebih lanjut di daerah-daerah yang dekat dengan sumber gas, terutama yang dilalui oleh infrastruktur pipa, sambil tetap mempertimbangkan alternatif seperti kendaraan listrik (EV), biofuel, dan hidrogen untuk daerah-daerah yang jauh dari sumber gas.

Dengan komitmen mencapai Net Zero Emissions pada tahun 2060 atau lebih cepat, Indonesia tampaknya berada pada jalur yang benar dengan menggandeng gas sebagai mitra penting dalam perjalanan menuju Energi Baru dan Terbarukan.

Peran gas bumi akan menjadi penyokong dalam mendukung ketahanan energi Indonesia, dengan pertimbangan emisi yang relatif lebih rendah. Selain itu, langkah tersebut juga akan didukung dengan menekan impor migas untuk mengurangi defisit neraca perdagangan.

Kebutuhan energi yang besar pada 2050 akan menyebabkan gap atau selisih antara produksi dan permintaan yang jauh, sehingga menyebabkan perlu dilakukannya impor. Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi gap tersebut melalui peningkatan produksi.

Neraca migas Indonesia dalam periode 2017-2021 selalu menunjukkan defisit atau tingkat impor yang melebihi ekspor. Bahkan, IPA memperkirakan selisih produksi dan kebutuhan minyak akan mencapai 83% dan gas 78% pada 2050 jika tidak terjadi perbaikan.





CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected] 

(mza/wia)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation