Minyak Dunia Anjlok 7% Sepekan, Imbas Gencatan Senjata Israel-Hamas?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
04 February 2024 11:00
Kapal Gamsunoro, kapal minyak Indonesia. (Dok: Pertamina)
Foto: Kapal Gamsunoro, kapal minyak Indonesia. (Dok: Pertamina)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia berakhir di zona merah pekan ini. Imbas dari rumor laporan gencatan senjata Israel-Hamas, efek memudar-nya ekspektasi pasar akan pemangkasan suku bunga Amerika Serikat (AS), serta permintaan China yang masih lemah.

Melansir data Refinitiv, pada penutupan perdagangan Jumat (2/2/2024), harga minyak mentah Brent anjlok 1,74% menuju posisi US$ 77,33 per barel. Begitu pula dengan minyak mentah WTI yang ambles lebih dalam 2,09% ke US$ 72,28 per barel.

Selama sepekan dua harga acuan minyak mentah dunia tersebut sudah tergelincir lebih dari 7%, yang kemudian mengakhiri tren penguatan selama dua minggu beruntun.

Penyusutan harga minyak mentah dunia diduga akibat laporan yang tidak berdasar mengenai gencatan senjata antara Israel dan Hamas.

Ada suatu laporan yang muncul bahwa perjanjian gencatan senjata antara dua negara yang sudah berkonflik ratusan tahun tersebut sedang dalam proses, dan Hamas mengatakan pihaknya sedang meninjau perjanjian tersebut.

Gencatan senjata Israel-Hamas apabila benar bisa terjadi, harapannya bisa meredakan ketegangan konflik di Timur Tengah dan membuat Houthi menghentikan serangan terhadap pelayaran di Laut Merah yang selama ini sudah mengganggu perdagangan global dan membebani ongkos bahan bakar kapal.

Faktor lain yang mengerek turun harga minyak juga ditengarai oleh sikap Hawkish bank sentral AS, The Federal Reserve (the Fed) yang masih lanjut menahan suku bunga pada level tinggi dan belum memberikan isyarat pemangkasan suku bunga dalam jangka pendek.

Beberapa bulan lalu, pasar nampak terlalu optimis memperkirakan the Fed akan segera pangkas suku bunga pada kuartal pertama tahun ini. Realitanya, ekonomi AS masih panas dengan pasar tenaga kerja yang ketat walau inflasi sudah melandai, hanya saja masih jauh dari target di level 2%.

Imbasnya, saat ini ekspektasi pelaku pasar mulai memudar dan berpikir normal ke arah suku bunga AS akan ditahan lebih lama. Hal ini akan berdampak pada indeks dolar AS (DXY) tetap kuat yang membuat permintaan minyak tak terlalu atraktif.

Apalagi ditambah dengan kondisi ekonomi Tiongkok yang masih lesu. Dalam laporan International Monetary Fund (IMF) yang terbit Jumat (2/2/2024) memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi China akan melambat dari 5,2% pada 2023 menjadi 4,6% pada 2024, dan makin menurun pada 2028 menjadi 3,4%.

Ekonomi China masih terpuruk akibat krisis properti dan deflasi yang berlarut-larut, Analisis IMF juga memperkirakan investasi real estat kemungkinan besar akan turun 30% hingga 60% dalam sepuluh tahun ke depan dibandingkan dengan level pada 2022.

Di sisi lain untuk menyeimbangkan permintaan, dari pasokan (suplai) nampaknya masih akan terus berkurang. Mengingat, Arab Saudi, salah satu negara penghasil minyak terbesar dunia yang tergabung dalam OPEC+ menyatakan masih lanjut memangkas produksi secara sukarela sebanyak 2,2 juta barel per hari hingga kuartal pertama tahun ini. 

CNBC INDONESIA RESEARCH 

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation