Kisi-Kisi Debat 2024

Indonesia 2045, Jadi Generasi Emas atau Generasi Cemas?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
02 February 2024 09:20
Kelompok belajar anak-anak pemulung dan kaum duafa atau biasa dikenal Sekolah Kami hadir didekat tempat tinggal komunitas pemulung. Sekolah yang beralamat di Bintara Jaya IV Dalam RT 03 RW 09, Kelurahan Bintara Jaya, Kecamatan Bekasi Barat, Kota Bekasi. Dari pantauan CNBC Inonesia 29/10/19, sekolah yangberalas peluran seadanya dan dinding dari gedek(sulaman kayu) ada 90 siswa dari kelas 1 hingga kelas 9 didalamnya, dengan adanya sekolah ini banyak warga di lokasi TPS Bintara berantusias karena sekolah ini tidak dipungut biaya sepeserpun. Sekolah yang sudah berdiri sejak tahun 2001 dengan 10 staf pengajar didalamnya. (CNBC Imdonesia / Tri Susilo)
Foto: Kelompok belajar anak-anak pemulung dan kaum duafa atau biasa dikenal Sekolah KAMI (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah terus menggenjot berbagai kebijakan demi menyukseskan Indonesia menjadi generasi "Indonesia Emas 2045". Namun apakah Indonesia dapat mampu mencapai hal tersebut?

Persoalan "Indonesia Emas 2045" atau "Generasi Emas 2045" bisa menjadi salah satu isu dalam debat Pilpres 2024 pada Minggu (4/2/2024). Debat kelima akan mengambil tema Kesejahteraan Sosial, Kebudayaan, Pendidikan, Teknologi Informasi, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sumber Daya Manusia, dan Inklusi.

Debat kelima adalah debat terakhir sebelum masa kampanye memasuki masa tenang pada 10 Februari mendatang.

Sebelumnya di 2045 nanti, Indonesia genap berusia 100 tahun alias satu abad Indonesia. Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya ide, wacana, dan gagasan Generasi Emas 2045.

Memang, 2045 masih 25 tahun lagi. Namun, pada dasarnya bibit-bibit unggul itu sudah ada dari sekarang. Anak-anak kecil maupun yang baru lahir tahun ini sudah berada di sekeliling kita. Merekalah yang akan memimpin bangsa ini di tahun 2045 kelak.

Di tangan mereka yang masih bayi dan anak-anak sekarang inilah, masa depan dan nasib bangsa ini dipertaruhkan.

Namun sayangnya, Indonesia harus sangat berjuang keras untuk menggapai Generasi Emas 2045. Hal ini karena hingga 2022, Indonesia masih terjebak dalam negara dengan level pendapatan menengah atau dapat dikatakan Indonesia masih terjerat oleh middle income trap.

Middle income trap atau perangkap pendapatan menengah merupakan istilah untuk menggambarkan bagaimana sebuah negara berpenghasilan menengah, tak mampu keluar dari jeratannya untuk menjadi negara maju. Begitu setidaknya mengutip pengertian Bank Dunia atau World Bank.

Berdasarkan data Kementerian PPN/Bappenas, Indonesia sudah menjadi bagian dari negara berpendapatan menengah atau middle income sejak 1982-1983.

Perkembangan yang pesat di Asia, terutama Asia Timur, melambungkan ekonomi di negara kawasan tersebut. Di antaranya adalah Jepang, Korea Selatan, dan Indonesia.

Namun sayangnya, ekonomi Indonesia kemudian ambruk karena Krisis Keuangan/Moneter pada 1997/1998. Badai krisis membuat Indonesia negara low income atau negara berpenghasilan rendah/rentan.

Sebaliknya, perekonomian Jepang dan Korea Selatan terus melaju hingga mereka naik kelas menjadi negara high income dan maju.

Indonesia baru kembali masuk ke negara berpendapatan menengah ke bawah (lower middle income) pada 2002. Indonesia sempat masuk ke kelas negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income) pada 2019-2020.

Namun, perubahan hitungan Bank Dunia pada 2021 membuat Indonesia turun lagi menjadi negara lower middle income.

Sebagai catatan, per 1 Juli 2021, Bank Dunia membuat klasifikasi negara terbaru, yang dihitung berdasarkan Pendapatan Nasional Bruto atau Gross National Income (GNI) per kapita.

Kategori peringkat tersebut yakni negara berpenghasilan rendah atau Low Income dengan GNI sebesar US$ 1.046.

Negara berpenghasilan menengah ke bawah (US$ 1.046 - US$ 4,045), negara berpenghasilan menengah ke atas (US$ 4.096 - US$ 12.695) dan negara berpenghasilan tinggi atau high income dengan GNI lebih dari US$ 12.695).

Indonesia dengan GNI US$ 4.580 kini berstatus negara upper-middle income.

Selain itu, Indonesia yang berstatus upper-middle income juga dapat dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil sekitar 5% - 6%. Padahal sebelum terjadi krisis moneter 1998, ekonomi Indonesia sempat tumbuh sekitar 10%.

Dalam hitungan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), dibutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% dalam periode 2020-2030 sebagai prasyarat keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.

Namun, pandemi Covid-19 pada 2020 mengganjal upaya pertumbuhan 6%. Pada 2020, ekonomi Indonesia justru mengalami kontraksi 2,07% walaupun kemudian tumbuh 3,69% pada 2021.

Pemerintah bukan tidak menyadari pentingnya keluar dari jebakan kelas menengah. Untuk lepas dari middle income trap, pemerintah bahkan membuat visi dan misi khusus.

Indonesia bahkan menetapkan visi Indonesia Emas pada 2045, tepat pada 100 tahun usia kemerdekaannya.

Pada tahun tersebut, Indonesia diperkirakan sudah memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai US$ 9.100 miliar dengan PDB per Kapita sebesar US$ 21.000 - 27.000.

Dengan kata lain, Indonesia diharapkan sudah terbebas dari jebakanmiddle income trappada tahun tersebut. Berdasarkan data Bank Dunia, PDB per kapita Indonesia pada 2022 mencapai US$ 4.788. Namun menurut Badan Pusat Statistik, PDB per kapita Indonesia di 2022 mencapai US$ 4.784.

Menuju Generasi Indonesia Emas 2045, Apakah Pendidikan di RI Sudah Cukup Baik?

Tak hanya itu saja, tingkat mutu pendidikan di Indonesia yang masih terbilang rendah juga dapat membuat Indonesia sulit untuk mencapai Generasi Emas 2045. Padahal pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang mimpi besar Indonesia untuk menjadi negara maju.

Keberadaan pendidikan menjadi vital lantaran diharapkan bisa menghasilkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang hebat, sehingga mendorong produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat.

Sejak 2000, Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) secara konsisten mengadakan penilaian kualitas pendidikan suatu negara melalui Program for International Student Assessment (PISA) untuk mengevaluasi prestasi siswa yang berusia 15 tahun dalam tiga tahun sekali.

Baru-baru ini pada 5 Desember 2023 lalu, OECD melaporkan hasil skor PISA Indonesia periode 2022 yang hasilnya turun cukup dalam. Bahkan, skor literasi membaca Indonesia menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merefleksikan mutu pendidikan di Tanah Air masih rendah.

Sebagaimana terlihat grafis di atas, penilaian OECD melalui PISA didasarkan pada tiga aspek yakni Matematika, Membaca, dan Sains. Sebagai catatan, survei PISA 2022 seharusnya dilaksanakan pada 2021, akan tetapi ditunda karena pandemi Covid-19.

Pada PISA 2022, penilaian difokuskan pada kemahiran siswa dalam matematika dengan penekanan lebih besar diletakkan pada penalaran matematika. Survei PISA 2022 ini disebutkan merupakan studi ekstensif pertama yang berisi data tentang bagaimana pandemiCovid-19 berdampak pada kinerja siswa di seluruh dunia.

Kendati skor turun, tetapi Indonesia mencatatkan peningkatan peringkat PISA secara global di posisi ke-66 dari 81 negara pada 2022 atau 15 terendah di dunia. Capaian ini naik dari posisi PISA 2018 yang berada di urutan 72 dari 79 negara yang berpartisipasi.

Menurut riset UNESCO Global Education Monitoring (GEM) 2020 menyatakan bahwa kualitas pendidikan di seluruh dunia memang mengalami pemerosotan yang akibat kekurangan pendanaan lantaran alokasi anggaran digunakan untuk pengentasan Covid-19.

Kualitas pendidikan Indonesia belum membaik signifikan meskipun anggaran pendidikan terus melonjak. Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun atau 20 persen pada APBN 2024.

Sesuai amanat UUD 1945 danUndang-undangnomor20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari total APBN.

Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009.

Sejak tahun tersebut, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Anggaran pendidikan pun bengkak 206,8% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 665 triliun pada 2024.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation