
Kisah Sukses Brasil Gencarkan BBM Bioetanol, RI Siap Tiru?

Jakarta, CNBC Indonesia - Brasil, sebagai negara terkemuka dalam produksi Bahan Bakar Nabati (BBN) bioetanol, telah sukses mengembangkan bahan bakar kendaraan yang ramah lingkungan. Pada 2023, Brasil bahkan telah berhasil memproduksi sekitar 38 miliar liter bioetanol, menjadikannya salah satu produsen terbesar di dunia.
Kesuksesan ini tidak hanya berasal dari pengembangan bioetanol berbahan dasar tebu atau molase, tetapi juga dari diversifikasi menggunakan jagung. Keberhasilan Brasil dalam mengembangkan sumber Energi Baru Terbarukan (EBT) ini dapat menjadi acuan Indonesia dalam menuju emisi nol dengan mengadaptasi langkah strategis Brasil.
Lantas, bagaimana strategi Brasil mampu menjadi produsen bioetanol raksasa dunia? serta bagaimana cara Indonesia dapat mengadaptasi keberhasilan tersebut?
Kisah Brasil Memanfaatkan Krisis Menjadi Raksasa Bioetanol Dunia
Brasil, pemimpin produsen gula dunia, telah berhasil mengembangkan industri gula menjadi bioetanol dengan sukses. Melansir Energy Observer, keberhasilan ini dimulai pada 1933 ketika pemerintah menghadapi kelebihan produksi tebu dan memberikan insentif untuk memulai produksi etanol.
Flavio Castellari, Executive Director Brazillian Ethanol Cluster (APLA), menjelaskan dalam program Energy Corner Special CNBC Indonesia pada Rabu (24/1/2024), bahwa Brasil awalnya memutuskan untuk fokus pada etanol dari tebu pada tahun 1975 karena efisiensi produksi tebu dan etanol yang tinggi.
Pengembangan bioetanol Brasil saat itu dalam langkah merespons Krisis Minyak Pertama dengan Rencana Proálcool, sehingga Brasil harus memanfaatkan kekayaan alamnya sebagai komoditas substitusi minyak yang tidak bergantung dengan volatilitas harga global.
Langkah strategis ini mencakup pencampuran bensin dengan etanol, penelitian intensif, ekspansi penanaman tebu, dan peningkatan kapasitas pabrik etanol. Pada 1979, saat Krisis Minyak Kedua melanda, Brasil sudah menjadi pemimpin global dalam produksi etanol.
Etanol dihasilkan dari ekstraksi gula tebu, melibatkan teknik kuno dan teknologi modern. Petani mengumpulkan batang matang, yang diolah di pabrik untuk menghasilkan tebu cair. Tebu cair tersebut difermentasi dengan ragi untuk mengubah gula menjadi alkohol dan karbon dioksida, layaknya pembuatan bir atau anggur wine.
Proses distilasi diperlukan untuk memenuhi standar kualitas ketat bagi bahan bakar mobil. Di Brasil, bensin murni tidak lagi dijual, menggantinya dengan campuran etanol yang wajib 27%. Kendaraan yang bisa menggunakan campuran bensin-etanol turut diperkenalkan.
Souce: Energy Observer
Secara lingkungan, etanol memiliki dampak positif. Meskipun pembakarannya tidak bebas emisi, seluruh siklus, dari pertumbuhan tanaman hingga gas buang mesin, mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 50%-70% dibandingkan dengan bahan bakar fosil.
Brasil, sebagai produsen etanol terbesar kedua di dunia, tidak hanya fokus pada etanol konvensional. Mereka memimpin dalam produksi etanol generasi kedua, menggunakan biomassa non-pangan seperti ampas tebu. Inovasi ini meningkatkan keberlanjutan dan produktivitas, menghasilkan 50% lebih banyak bahan bakar dari lahan yang sama.
Di sektor penerbangan yang sulit dikurangi emisinya, Brasil menciptakan bahan bakar penerbangan berkelanjutan dari etanol. Dengan teknologi ini, Brasil berpotensi menjadi pemasok krusial untuk pasar global, mendukung target pengurangan emisi dan pencampuran bahan bakar berkelanjutan.
Dalam lima tahun terakhir, Brasil menggabungkan jagung ke dalam matriks produksinya. Saat ini, sekitar 80% etanol berasal dari tebu dan 20% dari jagung.
Penggunaan jagung sebagai bahan dasar bioetanol dimulai karena tanaman tebu bersifat musiman di Brasil. Selama musim tebu, produksi etanol dari tanaman ini berlangsung sekitar bulan April - November di bagian selatan Brasil, dan dari November - April di bagian utara.
Dengan kelebihan produksi jagung yang tetap ada sepanjang tahun, Brasil memanfaatkannya sebagai alternatif bahan baku. Flavio Castellari juga menekankan bahwa setiap negara dapat memanfaatkan berbagai jenis tanaman yang mengandung gula untuk memproduksi bioetanol.
Selain tebu dan jagung, bahkan tanaman seperti singkong dapat diolah menjadi bioetanol. Sebagai contoh, di Thailand, sekitar 50% produksi bioetanol berasal dari singkong. Dengan cerita sukses ini, Brasil terus memainkan peran penting dalam transformasi global menuju energi yang lebih bersih dan berkelanjutan, sehingga dapat menjadi acuan pengembangan bioetanol Indonesia.
Pengembangan Bioetanol Indonesia
Indonesia, seiring dengan upaya untuk memanfaatkan Bahan Bakar Nabati (BBN), telah berhasil "menyulap" tebu menjadi bahan bakar dengan campuran bioetanol berbasis tetesan tebu atau molase. Produk seperti Pertamax Green 95 yang dijual oleh PT Pertamina (Persero) merupakan bukti nyata dari implementasi ini.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan menjelaskan bahwa mereka bekerja sama dengan PT Energi Agro Utama (Enero) untuk mendapatkan pasokan bioetanol berbasis molase. Produksi bioetanol di Indonesia mencapai 30.000 kilo liter per tahun, dan sebagian digunakan untuk mencampur bensin Pertamax (RON 92), menghasilkan Pertamax Green 95 dengan pencampuran bioetanol sebesar 5% (E5).
Riva Siahaan menegaskan bahwa proses produksi molase menjadi bioetanol tidak mengganggu produksi gula untuk kebutuhan pangan. Pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk mempercepat swasembada gula dan mendukung penggunaan bioetanol sebagai bahan baku dari bahan bakar nabati, sejalan dengan Peraturan Presiden No. 40 tahun 2023.
Riva Siahaan menyatakan bahwa Pertamina terus melakukan riset untuk memanfaatkan tanaman selain tebu, seperti jagung, sorgum, dan tandan sawit, sebagai bahan baku bioetanol.
Melihat keberhasilan Brasil dalam mengembangkan bioetanol, Indonesia berpotensi untuk mengikuti langkah ini dengan diversifikasi bahan baku bioetanol dan terus meningkatkan pemanfaatan BBN dalam sektor energi.
Dengan riset yang terus dilakukan, Indonesia dapat mengeksplorasi potensi tanaman lain yang dapat dijadikan bioetanol, sejalan dengan upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mempromosikan energi terbarukan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)