
Bukan Greenflation Mas Gibran, 4 Hal Ini Masalah RI Zaman Now!

Jakarta, CNBC Indonesia - Green inflation (greenflation) tengah menjadi perbincangan masyarakat setelah disinggung calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gibran RakabumingRaka dalam debat pada Minggu (21/1/2024). Namun, greenflation belum menjadi persoalan besar Indonesia.
Greenflation menjadi istilah yang menjadi trending topic di lini masa setelah debat. Dalam debat, istilah itu digiring masuk Gibran kepada lawan debatnya cawapres nomor urut 03 Mahfud MD. Dia menanyakan kepada Mahfud bagaimana cara mengatasi greenflation.
Mahfud pun menjawab pertanyaan itu dengan dua aspek, pertama terkait keberadaan ekonomi hijau yang pemanfaatannya tidak boleh mengganggu ekologi, kedua ialah penanganan inflasi dengan merujuk pada data-data.
"Untuk mengatasi inflasi yang paling gampang adalah mengatur kebijakan-kebijakan, diatur saja datanya, kecenderungannya begini, kebijakannya harus begini. Ini yang kita pahami tentang inflasi hijau," papar Mahfud dikutip Senin (22/1/2024).
Jawaban Mahfud tak memuaskan Gibran, dia berlagak menggerak-gerakan badannya sambil meletakkan tangan di atas jidat, seolah-olah tengah mencari sesuatu dari kejauhan. Dia mengatakan tengah mencari-cari jawaban Mahfud karena dianggap enggak nyambung.
"Saya lagi nyari jawabannya Prof Mahfud. saya nyari-nyari di mana ini jawabannya kok enggak ketemu jawabannya, saya tanya masalah inflasi hijau kok malah menjelaskan ekonomi hijau," kata Gibran.
Lalu seperti apa sebenarnya grenflation? Green inflation sering mengacu pada inflasi yang terkait dengan kebijakan publik dan swasta yang diterapkan sebagai bagian dari transisi hijau.
Pada dasarnya, greenflation sendiri merupakan istilah yang menggambarkan naiknya harga barang-barang ramah lingkungan akibat tingginya permintaan terhadap bahan bakunya, namun pasokannya tak mencukupi. Sehingga terjadi inflasi imbas dari transisi energi itu.
Greenflation mungkin sudah menjadi persoalan besar bagi sejumlah negara yang sudah berpacu dalam transisi energi, seperti Prancis.
Dibandingkan greenflation, Indonesia menghadapi persoalan mendesak dan lebih pelik dalam urusan inflasi pangan. Persoalan ini bahkan sudah berlangsung puluhan tahun.
Selain pangan, inflasi Indonesia juga kerap melonjak karena kenaikan harga BBM.
Setidaknya ada 4 persoalan besar dalam inflasi Indonesia:
1. Harga Pangan Sangat Bergejolak
Selama puluhan tahun, Indonesia berkutat dengan inflasi kelompok volatile yang didominasi pangan. Tidak stabilnya pasokan akibat faktor musiman, kenaikan permintaan saat Lebaran, tidak adanya storage pangan, hingga kebijakan pangan yang tidak pro-petani membuat komoditas pangan selalu menjadi pemicu kenaikan harga.
Setiap tahun kenaikan harga cabai rawit, beras, telur, daging ayam, hingga minyak goreng bergonta-ganti mendongkrak inflasi.
Inflasi kelompok pangan sangat rentan dengan musiman di mana biasanya naik saat pasokan menipis karena musim panas atau hujan. Inflasi kelompok pangan juga menjadi penting mengingat 75% pengeluaran masyarakat miskin Indonesia adalah pangan.
Jika inflasi pangan melonjak maka makin banyak masyarakat Indonesia yang jatuh miskin.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) sepanjang 15 tahun terakhir, inflasi kelompok harga bergejolak yang didominasi pangan selalu jauh di atas inflasi umum. Pengecualian hanya terjadi pada 2011 dan 2017.
2. Pasokan yang Tidak Menentu
Pasokan pangan kerap bermasalah karena sejumlah faktor mulai dari datangnya musim hujan, banjir, gunung meletus, gagal panen, serangan hama, benih banjir, dan perubahan iklim.
Harga cabai rawit, sayur mayur, bumbu-bumbuan seperti bawang merah selalu melonjak pada saat datangnya musim hujan. Jumlah panen yang sedikit atau rusak karena hujan membuat kebutuhan tidak bisa dipenuhi.
Harga cabai rawit merah di sejumlah wilayah bahkan sempat melonjak sekitar Rp 125.000 per kg pada Novemebr tahun lalu. Harga tersebut jauh di atas harga normalnya yakni Rp 50.000/kg.
Harga beras terus mencatat rekor demi rekor dalam setahun terakhir. Kekeringan serta larangan ekspor di sejumlah negara membuat pasokan berkurang sehingga harga beras melonjak.
Data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menunjukkan harga beras bulanan melonjak 23% dalam dua tahun dari Rp 11.750 pada Januari 2022 menjadi Rp 14.550 per Desember 2023.
Harga beras bahkan terus menyumbang inflasi di hampir sepanjang 2023.
BPS mencatat inflasi beras pada September 2023 sebesar5,61% (year on year/yoy). Inflasi itu merupakan inflasi beras tertinggi selama lima tahun terakhir.
Kenaikan harga beras sangat menentukan inflasi umum mengingat beras memiliki bobot dalam perhitungan inflasi makanan mencapai 3,33%, tertinggi dari komoditas lainnya.
3. Minimnya Storage
Harga komoditas pangan Indonesia sangat volatile tergantung musim. Harga akan jatuh pada musim panen sementara melonjak pada saat panen bermasalah.
Harga bawang merah, misalnya, bisa jatuh ke kisaran Rp 13.000/kg di sentra bisnis Brebes. Harganya bisa terbang menjadi Rp 50.000 jika terjadi gangguan pasokan.
Begitu pula harga cabai rawit merah, harganya bisa berkisar Rp 30.00-125.000.
Tidak adanya storage yang memadai membuat hasil panen yang melimpah tidak bisa ditampung untuk kemudian diawetkan agar bertahan lama dengan teknologi yang lebih canggih.
Pengadaan storage baru berjalan baik di sektor perikanan sementara komoditas pangan lain baru akan dimulai.
Sejak 2022, Badan Pangan Nasional/ National Food Agency (NFA), telah memfasilitasi sarana prasarana logistik pangan antara lain berupa cold storage, reefer container, air blast freezer, dan heat pump dryer di 9 provinsi sentra produksi.
Hingga akhir 2023, sebanyak 30 unit telah tersebar di provinsi sentra produsen dan konsumen.
4. Kenaikan Harga BBM
Inflasi Indonesia selalu melonjak setiap kali harga Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi naik.
Pemerintah menaikkan harga BBM subsidi pada September 2022 rata-rata sebesar 30%. Inflasi langsung melonjak 1,17% (month to month/mtm) dan 4,84% (year on year/yoy) pada September 2022. Inflasi (yoy) adalah yang tertinggi sejak Oktober 2015 atau tujuh tahun.
Secara historis, kenaikan harga BBM akan mengerek inflasi hingga 1-2 bulan setelahnya karena ada second round effect dari kebijakan tersebut. Di antaranya adalah karena kenaikan tarif angkutan dan harga makanan.
Kenaikan harga BBM pada November 2014, misalnya, mengerek inflasi (mm) sebesar 1,50% sementara pada Desember menyentuh 2,46%.
CNBC INDONESIA RESEARCH