
Dunia Dibuat Deg-Degan oleh China & Amerika, Rupiah Jadi Korban

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali terkapar di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan ini, terutama karena meningkatnya kekhawatiran global mengenai kembali memanasnya ekonomi AS dan melandainya ekonomi China
Pada penutupan perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (19/1/2024), rupiah ditutup di posisi Rp 15.610 per US$ 1. Rupiah menguat tipis 0,03%. Penguatan tersebut memperpanjang tren positif pada Kamis di mana rupiah menanjak 0,13%.
Namun, secara keseluruhan, mata uang Garuda melemah 0,42% pada pekan ini. Pelemahan dalam sepekan tersebut memperpanjang derita rupiah yang juga melemah pada dua pekan sebelumnya.
Artinya, rupiah belum pernah menguat dalam sepekan sepanjang tahun ini. Pada pekan pertama Januari, rupiah ambruk 0,75%, pekan kedua jatuh 0,23% dan pekan ketiga terkapar 0,42%.
Setidaknya ada tiga faktor yang membuat rupiah terkapar pekan ini. Di antaranya adalah keraguan pasar mengenai kebijakan suku bunga di AS, suramnya ekonomi China, serta ketegangan di Timur Tengah.
1. Pasar Mulai Ragu dengan Waktu Pemangkasan Suku Bunga The Fed
Pelaku pasar mulai ragu jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga dalam waktu dekat.
Keyakinan pasar akan pemangkasan suku bunga yang mulai goyah ini tercermin dari perangkat CME's Fed Watch Tool. Dalam data terbaru, pelaku pasar memperkirakan kemungkinan 48,1% pemangkasan suku bunga di Maret. Kemungkinan ini jauh lebih rendah dibandingkan pada pekan lalu di angka 71%.
Keraguan pelaku pasar global juga membuat dolar AS kembali terbang. Indeks dolar AS sempat menguat hingga 103,5 pada Rabu pekan ini yang merupakan rekor tertingginya sejak 12 Desember 2023 atau sebulan lebih.
Kondisi ini menandai jika dolar kembali menjadi incaran sehingga mata uang negara lain jatuh, termasuk rupiah.
Keraguan pelaku pasar akan suku bunga AS dilandasi fakta jika ekonomi AS masih berlari kencang.
Penjualan ritel untuk periode Desember 2023 tumbuh 0,6% secara bulanan(month-to-month/mtm), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 0,3% dan konsensus pasar sebesar 0,4%.
Dalam basis bulanan, ini menjadi kenaikan terbesar dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Sementara dalam basis tahunan (year on year/yoy), penjualan ritel AS naik 5,6% (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya dan konsensus pasar di 4%yoy. Peningkatan ini menjadi yang terbesar dalam sebelas bulan terakhir.
Inflasi AS pada Desember 2023 juga meningkat 3,4% yoy, lebih panas dibandingkan konsensus pasar yang proyeksi hanya naik 3,2% yoy dan bulan sebelumnya sebesar 3,1% yoy.
2. Ekonomi China Lesu
Ekonomi China hanya tumbuh 5,2%tahun lalu. Ini terungkap dari angka resmi yang ditunjukkan badan statistik setempat, NBS, Rabu (17/1/2024).
Ini akan menjadi salah satu pertumbuhan tahunan terlemah China dalam lebih dari tiga dekade terakhir atau sejak 1990 silam, di luar tahun-tahun yang terdampak pandemi Covid-19.
Selain itu, kemarin juga rilis data penjualan ritel Tiongkok yang tercatat hanya tumbuh sebesar 7,4% pada Desember, meleset ekspektasi pertumbuhan sebesar 8%. Tingkat pengangguran juga rilis tetapi hasilnya malah naik 5,1%, meleset juga dari perkiraan yang proyeksi masih menetap di 5%.
Melemahnya ekonomi China juga tercermin dari berlanjutnya deflasi. Indeks Harga Konsumen China turun atau mengalami deflasi sebesar 0,3% secara tahunan(year-on-year) pada Desember 2023.
Deflasi pada Desember semakin memperpanjang tren deflasi yang berlarut-larut di Tiongkok dan menandai penurunan terpanjang sejak Oktober 2009.
Sementara itu, untuk Indeks Harga Produsen China juga tercatat deflasi sebesar 2,7% yoy pada Desember 2023, dibandingkan deflasi 3% pada bulan sebelumnya dan meleset dari konsensus pasar yang proyeksi deflasi 2,6%.
Hal tersebut menandakan deflasi produsen selama 15 bulan berturut-turut, dan masih menjadi persoalan utama dalam perekonomian China.
Terjadinya deflasi pada Indeks Harga Konsumen dan Indeks Harga Produsen adalah hal yang langka mengingat permintaan domestik China biasanya sangat kencang.
Bagi dunia, China adalah motor pertumbuhan ekonomi terbesar kedua setelah China sehingga pelemahan ekonomi Tiongkok bisa membuat pemulihan ekonomi global macet.
Bagi Indonesia, melemahnya ekonomi China juga menjadi peringatan keras mengingat China adalah pasar ekspor terbesar bagi Indonesia. Bila ekonomi China terus melemah dan ekspor turun maka pasokan dolar bisa berkurang sehingga rupiah tertekan.
3. Konflik Geopolitik Memanas
Ketegangan geopolitik di sejumlah wilayah juga meningkatkan ketidakpastian global sehingga rupiah pun tertekan.
Kelompok Houthi Yaman yang didukung Iran melakukan serangan terhadap kapal-kapal komersial sebagai solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza di Jalur Laut Merah.
Iran melancarkan serangan rudal dan drone terhadap apa yang mereka sebut sebagai sasaran "teroris" di Pakistan pada Selasa (16/1/2024). Dilaporkan dua orang tewas.
Pakistan yang marah dan menarik duta besarnya dari Iran kemudian menyerang sasaran militan di Iran pada hari Kamis. Ini menewaskan sembilan orang.
Perang Rusia dan Ukraina juga masih panas. Drone Ukraina menyerang depot minyak di St Petersburg, Rusia. Hal ini dikonfirmasi sebuah sumber di dinas keamanan Kyiv, Kamis waktu setempat. Salah satu drone dilaporkan terbang di atas kediaman Presiden Putin di Valdai.
Banyaknya sentimen negatif dari eksternal membuat sentimen dari dalam negeri kurang bertaji. Seperti diketahui, Bank Indonesia memutuskan untuk menahan suku bunga di level 6,00% pada Rabu pekan ini.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan, keputusan itu ditempuh sebagai langkah konsistensi BI menjaga stabilitas ekonomi dan keuangan, di tengah masih bergejolaknya ketidakpastian ekonomi global. Seiring dengan upaya untuk menjaga kinerja pertumbuhan ekonomi domestik pada tahun ini.
BI juga masih membuka peluang khususnya pada paruh kedua 2024 untuk melakukan pemangkasan suku bunga beberapa basis poin (bps).
Tidak hanya rupiah yang terkapar pada pekan ini. Banyaknya sentimen negatif global membuat mata uang Asia kompak melemah. Yen Jepang menjadi yang paling menderita dengan jatuh 2,24%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]