
Amerika-China Ramai-Ramai Tenggelamkan Batu Bara, Harganya Jatuh 4%

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara jatuh. Penurunan ini terjadi seiring dengan produksi batu bara Amerika Serikat (AS) yang diproyeksi menurun akibat permintaan AS yang diproyeksi terendah sejak 1997, ditambah masifnya pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di berbagai belahan dunia.
Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak Februari ditutup di posisi US$ 126,25 per ton atau melemah 3,99% pada perdagangan Kamis (11/1/2024). Harga tersebut adalah yang terendah sejak 2 Januari 2024 atau tujuh hari perdagangan terakhir.
Koreksi harga batu bara ini menempatkan harga di bawah level psikologis US$ 126,25 per ton. Penurunan Ini menjadikan harga batu bara terkoreksi dua hari perdagangan.
Penurunan harga terjadi seiring adanya perkiraan permintaan batu bara yang lebih rendah tercermin dalam perkiraan produksi batu bara AS tahun 2024 yang dikeluarkan Administrasi Informasi Energi AS atau EIA, yang merupakan angka terendah sepanjang masa.
EIA memproyeksikan produksi batu bara akan turun 15,9% secara tahunan (year on year/yoy) menjadi 489,3 juta ton pada 2024 sebelum turun lagi sebesar 12,4% secara tahunan menjadi 428,8 juta ton pada 2025.
Total konsumsi batubara diproyeksikan sebesar 391,3 juta ton pada 2024, naik 1,6% dari proyeksi sebelumnya. EIA memperkirakan total konsumsi batubara pada 2025 sebesar 361,7 juta ton.
Untuk sektor ketenagalistrikan, konsumsi batubara diperkirakan sebesar 351,9 juta ton pada 2024, turun 8,4% dibandingkan setahun sebelumnya (yoy). Pada tahun 2025, konsumsi batubara sektor tenaga listrik diproyeksikan sebesar 322,2 juta ton, yang merupakan angka terendah sepanjang masa jika terwujud, menurut data EIA sejak tahun 1997.
Penurunan proyeksi batu bara AS mengindikasikan akan adanya penurunan permintaan signifikan akibat ekonomi yang melambat. Hal ini disinyalir dapat membatasi permintaan, sehingga harga mengalami koreksi.
Beralih ke Asia, status Tiongkok sebagai raksasa energi baru terbarukan akan diperkuat dalam lima tahun ke depan, dengan negara ekonomi terbesar kedua di dunia ini menambah kapasitas lebih besar dibandingkan gabungan negara-negara lain di dunia.
Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan dalam laporan Energi Terbarukan 2023, yang dirilis pada hari Kamis, bahwa Tiongkok akan menyumbang 56% dari penambahan kapasitas energi terbarukan pada periode 2023-2028.
Tiongkok diperkirakan akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan sebesar 2.060 gigawatt (GW) pada periode perkiraan, sementara negara-negara lain di dunia akan menambah 1.574 GW, menurut data IEA.
Status Tiongkok sebagai raksasa energi terbarukan akan diperkuat dalam lima tahun ke depan, dengan negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini menambah kapasitas lebih besar dibandingkan gabungan negara-negara lain di dunia.
Badan Energi Internasional mengatakan dalam laporan Energi Terbarukan 2023, yang dirilis pada hari Kamis, bahwa Tiongkok akan menyumbang 56% dari penambahan kapasitas energi terbarukan pada periode 2023-28.
Tiongkok diperkirakan akan meningkatkan kapasitas energi terbarukan sebesar 2.060 gigawatt (GW) pada periode perkiraan, sementara negara-negara lain di dunia akan menambah 1.574 GW, menurut data IEA.
Uni Eropa dan Amerika Serikat merupakan negara penghasil energi terbarukan terbesar berikutnya, masing-masing sebesar 429 GW dan 337 GW.
Namun perlu dicatat bahwa India diperkirakan akan menambah kapasitas energi terbarukan sebesar 203 GW, sementara 11 negara yang tergabung dalam Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) diperkirakan akan meningkatkan kapasitas sebesar 63 GW.
Hal ini menunjukkan bahwa Asia merupakan kekuatan dominan dalam pemanfaatan energi terbarukan, terutama karena kebijakan yang mendukung dan ketersediaan modal serta perjanjian offtake untuk listrik yang dihasilkan.
Penggunaan EBT akan mengurangi signifikan pemanfaatan pembangkit listrik berbasis batu bara. Besarnya rencana ekspansi EBT negara-negara di seluruh dunia dinilai turut menjadi faktor permintaan yang menurun, sehingga harga mengalami kejatuhan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)