
Dunia Menanti Inflasi Amerika di Tengah Panasnya Konflik Laut Merah

- Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam di mana IHSG menguat tetapi rupiah melemah
- Wall Street kompak menguat di tengah sikap wait and see pelaku pasar menunggu data inflasi AS
- Data inflasi dan tenaga kerja AS serta memanasnya situasi Laut Merah bisa menjadi sentimen penggerak pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Rabu (10/1/2024) kemarin kembali bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau menguat, sedangkan rupiah berbalik melemah, dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) melanjutkan kenaikan.
Pasar keuangan Indonesia diharapkan kompak menguat di tengah wait and see pelaku pasar menunggu data inflasi Amerika Serikat (AS). Selenegkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
IHSG pada perdagangan kemarin ditutup menguat 0,38% ke posisi 7.227,297. Sebelum bergerak di zona hijau, IHSG sempat dibuka terkoreksi, namun beberapa menit setelah dibuka IHSG langsung rebound. Meski berhasil bangkit, tetapi IHSG masih bertahan di level psikologis 7.200.
Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 9 triliun dengan melibatkan 18 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak 273 saham menguat, 243 saham melemah, dan 249 saham stagnan.
Secara sektoral, sektor kesehatan menjadi penopang terbesar IHSG pada perdagangan kemarin, yakni mencapai 1,52%. Selain kesehatan, sektor infrastruktur juga menjadi movers IHSG yakni sebesar 1,37%
Investor asing terpantau masih mencatatkan aksi beli bersih (net buy) hingga kemarin, namun jumlahnya mulai berkurang. Asing mencatatkan net buy sebesar Rp 22,92 miliar di pasar reguler pada perdagangan kemarin.
Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, IHSG menjadi posisi runner up terbaik setelah indeks Nikkei 225 Jepang dan sama seperti indeks BSE S&P India.
Sementara dari indeks saham Asia-Pasifik yang melemah, indeks PSEi Filipina menjadi yang paling parah koreksinya kemarin.
Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin ditutup berbalik melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15.565/US$ di pasar spot, melemah 0,32% di hadapan dolar AS.
Di Asia-Pasifik, rupiah menjadi yang terburuk kedua kemarin, setelah peso Filipina dan di atas yen Jepang. Secara mayoritas, mata uang Asia-Pasifik juga melemah. Hanya yuan China, ringgit Malaysia, rupee India, dan won Korea Selatan yang mampu melawan The Greenback.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Rabu kemarin.
Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya kembali melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali mengalami kenaikan.
Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 0,4 basis poin (bp) menjadi 6,732%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.
Rupiah yang kembali melemah dan yield SBN yang masih melanjutkan kenaikan di tengah adanya kabar yang kurang menggembirakan dari global, di mana Bank Dunia dalam laporan terbarunya 'Global Economic Prospects January 2024' memperkirakan ekonomi global akan melambat ke 2,4% pada tahun ini dibandingkan 2,6% pada 2023.
Ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,7% pada 2025, proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan pada Juni lalu yakni 3,0%.
Pertumbuhan sebesar 2,6% pada 2023 juga akan menjadi yang terendah dalam 50 tahun, di luar resesi global saat pandemi. Bank Dunia juga menyebut ini adalah kali pertama mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi terus melandai selama tiga tahun beruntun.
Bank Dunia juga mengingatkan adanya risiko besar untuk pertumbuhan ke depan dari konflik di Timur Tengah, gangguan di pasar komoditas, mahalnya ongkos pinjaman, bengkaknya utang, melandainya ekonomi China, inflasi yang masih tinggi, serta perubahan iklim yang ekstrim.
Sementara untuk Indonesia, Bank Dunia mempertahankan proyeksi pertumbuhan untuk tahun ini di angka 4,9%. Namun, mereka memangkas proyeksi 2025 menjadi 4,9%, dari 5,0% pada proyeksi Juni lalu.
Bank Dunia bahkan mengingatkan jika Indonesia tidak akan lagi mendapat berkah lonjakan harga komoditas untuk tahun ini dan depan. Seperti negara Asia, Indonesia juga akan terimbas oleh melandainya ekonomi China.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street berhasil ditutup menguat pada perdagangan Rabu kemarin atau Kamis dini hari waktu Indonesia meski penguatannya cenderung terbatas karena investor masih menanti rilis data inflasi, klaim pengangguran mingguan, dan perilisan kinerja keuangan emiten bank-bank raksasa di AS.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,45% ke posisi 37.695,73, S&P 500 bertambah 0,57% ke 4.783,45, dan Nasdaq Composite berakhir terapresiasi 0,75% menjadi 14.969,65.
Saham-saham raksasa teknologi kembali menopang Wall Street utamanya S&P 500 dan Nasdaq semalam, dengan saham Microsoft, Meta Platforms, dan Nvidia menjadi penopang terbesar pada indeks S&P 500, karena imbal hasil (yield) benchmark US Treasury tenor 10 tahun bertahan mendekati 4%.
Meski begitu, penguatan Wall Street juga masih cenderung tertahan karena investor masih memasang mode wait and see menanti rilis data inflasi konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS periode Desember 2023.
CPI AS pada akhir 2023 diproyeksi akan ada peningkatan tipis akibat seasonality natal dan tahun baru. Dalam basis tahunan (year-on-year/yoy), konsensus pasar menargetkan inflasi akan tumbuh sebesar 3,2% yoy, lebih rendah dibandingkan November 2023 yang tumbuh 3,1%.
Sementara itu, untuk inflasi inti AS diperkirakan tumbuh melandai sebesar 3,8% yoy, dibandingkan sebulan sebelumnya yang tumbuh 4% yoy.
Investor akan melihat laporan tersebut untuk mencari petunjuk kapan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mulai menurunkan suku bunganya.
Tak hanya inflasi konsumen terbaru di AS, data klaim pengangguran mingguan AS untuk pekan yang berakhir 6 Januari 2024 juga akan dirilis malam hari ini waktu Indonesia.
Diproyeksikan, klaim pengangguran per 6 Januari 2023 meningkat ke 210.000, dibandingkan pekan sebelumnya sebanyak 202.000 klaim.
Proyeksi peningkatan klaim pengangguran ini memang berdampak buruk bagi pasar tenaga kerja, akan tetapi bagi keseluruhan ekonomi AS dan prospek inflasi ini berdampak positif lantaran semakin mendukung kondisi pasar tenaga mendingin yang memicu inflasi melandai.
Tentunya, data klaim pengangguran juga ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar di global, karena dapat juga menentukan arah kebijakan moneter The Fed berikutnya.
Di lain sisi, salah satu pejabat The Fed masih bernada hawkish. Presiden The Fed New York, John Williams mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk menyerukan penurunan suku bunga karena The Fed masih memiliki jarak untuk mengembalikan inflasi ke target 2%.
Ekspektasi pasar terkait The Fed yang akan mulai menurunkan suku bunga pada Maret mendatang mulai kembali menurun dan tentunya lebih rendah dari perkiraan pasar pekan lalu.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch menunjukkan peluang The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) turun menjadi 64,5%, dari sehari sebelumnya yang sebesar 66,3%. Peluang ini juga lebih rendah dari peluang pekan lalu sebesar 79%.
Sementara itu, pasar juga masih menunggu perilisan kinerja keuangan tahun 2023 emiten perbankan raksasa di AS pada Jumat pekan ini. Raksasa perbankan JPMorgan Chase, Bank of America, Citigroup, dan Wells Fargo diperkirakan akan melaporkan laba kuartal IV-2023 yang lebih rendah.
Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen penggerak pasar hari ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Adapun berikut sentimen pasar dari dalam dan luar negeri pada hari ini.
1. Inflasi Konsumen Amerika Serikat
Pada malam hari ini waktu Indonesia, inflasi konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS Desember 2023 akan dirilis. CPI AS pada akhir 2023 diproyeksi akan ada peningkatan tipis akibat seasonality natal dan tahun baru.
Dalam basis tahunan (year-on-year/yoy), konsensus pasar menargetkan inflasi akan tumbuh sebesar 3,2% yoy, lebih rendah dibandingkan November 2023 yang tumbuh 3,1%.
Sementara itu, untuk inflasi inti AS diperkirakan tumbuh melandai sebesar 3,8% yoy, dibandingkan sebulan sebelumnya yang tumbuh 4% yoy.
Inflasi merupakan salah satu pertimbangan utama bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) dalam menentukan kebijakan moneternya. Investor pun akan melihat laporan tersebut untuk mencari petunjuk kapan The Fed akan mulai menurunkan suku bunganya.
Ekspektasi pasar terkait The Fed yang akan mulai menurunkan suku bunga pada Maret mendatang mulai kembali sedikit mengalami kenaikan, meski masih lebih rendah dari perkiraan pasar pekan lalu.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch menunjukkan peluang The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) naik menjadi 66,3%, masih lebih rendah dari peluang sebesar 79% pada pekan lalu.
2. Klaim Pengangguran Mingguan Amerika Serikat
Tak hanya inflasi konsumen terbaru di AS, data klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 6 Januari 2024 juga akan dirilis malam hari ini waktu Indonesia.
Diproyeksikan, klaim pengangguran per 6 Januari 2023 meningkat ke 210.000, dibandingkan pekan sebelumnya sebanyak 202.000 klaim.
Proyeksi peningkatan klaim pengangguran ini memang berdampak buruk bagi pasar tenaga kerja, akan tetapi bagi keseluruhan ekonomi AS dan prospek inflasi ini berdampak positif lantaran semakin mendukung kondisi pasar tenaga mendingin yang memicu inflasi melandai.
Tentunya, data klaim pengangguran juga ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar di global, karena dapat juga menentukan arah kebijakan moneter The Fed berikutnya.
3. Proyeksi Ekonomi Global oleh Bank Dunia
Bank Dunia (World Bank) telah mengeluarkan laporan terbaru mengenai prospek ekonomi pada 2024. Dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects January 2024 memperkirakan ekonomi global akan melambat ke 2,4% pada tahun ini dibandingkan 2,6% pada 2023.
Lembaga multinasional tersebut memang tidak merevisi proyeksi pertumbuhan untuk tahun ini tetapi memangkas cukup signifikan untuk proyeksi tahun depan.
Ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,7% pada 2025, proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan pada Juni lalu yakni 3,0%.
Pertumbuhan sebesar 2,6% pada 2023 juga akan menjadi yang terendah dalam 50 tahun, di luar resesi global saat pandemi. Bank Dunia juga menyebut ini adalah kali pertama mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi terus melandai selama tiga tahun beruntun.
Dengan hanya tumbuh di kisaran 2%, Bank Dunia menyebut awal 2020an (2020-2024) sebagai periode terburuk dalam 30 tahun terakhir. Bank Dunia menyebut periode awal 2020 sebagai "dekade dari terbuangnya peluang " dari yang seharusnya 'dekade transformatif".
Menurut Bank Dunia, ekonomi dunia akan melemah karena terimbas dampak pengetatan kebijakan moneter, terbatasnya ekspansi finansial, serta lemahnya investasi dan perdagangan dunia.
Bank Dunia juga mengingatkan adanya risiko besar untuk pertumbuhan ke depan dari konflik di Timur Tengah, gangguan di pasar komoditas, mahalnya ongkos pinjaman, bengkaknya utang, melandainya ekonomi China, inflasi yang masih tinggi, serta perubahan iklim yang ekstrem.
"Untuk dua tahun ke depan, outlooknya gelap. Mayoritas negara, baik negara maju dan berkembang, akan tumbuh lebih lambat pada 2024 dan 2025 dibandingkan dekade sebelum Covid-19," tulis Bank Dunia dalam laporannya Global Economic Prospects January 2024 yang keluar pada Selaa (9/1/2024).
Untuk Indonesia, Bank Dunia mempertahankan proyeksi pertumbuhan untuk tahun ini di angka 4,9%. Namun, mereka memangkas proyeksi 2025 menjadi 4,9%, dari 5,0% pada proyeksi Juni lalu.
Bank Dunia mengingatkan jika Indonesia tidak akan lagi mendapat berkah lonjakan harga komoditas untuk tahun ini dan depan. Seperti negara Asia, Indonesia juga akan terimbas oleh melandainya ekonomi China.
Bank Dunia memangkas pertumbuhan ekonomi China menjadi 4,5% pada 2024, lebih rendah dibandingkan 4,6% pada proyeksi Juni. Ekonomi China juga diperkirakan hanya akan tumbuh 4,3% pada tahun depan, lebih rendah dibandingkan 4,4% pada proyeksi sebelumnya.
Perlambatan ekonomi China akan berdampak besar terhadap pertumbuhan regional melalui jalur perdagangan serta pariwisata.
Bank Dunia juga mengingatkan jika kemiskinan masih menjadi persoalan besar ke depan.
Menurut Bank Dunia, 1 dari empat negara berkembang dan 40% dari negara berpenghasilan rendah akan lebih miskin dibandingkan pada periode pandemi.
3. Memanasnya Konflik Laut Merah
Konflik di Laut Merah memanas dengan adanya serangan baru. Panasnya konflik di sana bisa berimbas besar terhadap harga komoditas sehingga inflasi global bisa kembali memanas sehingga bisa berdampak pada suku bunga.
Kelompok Houthi yang didukung Iran di Yaman mengaku bertanggung jawab atas serangan pesawat tak berawak dan rudal skala besar di Laut Merah yang digambarkan sebagai yang terbesar dalam koridor pelayaran internasional.
Juru bicara militer Yahya Saree mengatakan "sejumlah besar" rudal dan drone menargetkan kapal Amerika Serikat (AS) yang "memberikan dukungan" kepada Israel selama perang melawan Hamas di Gaza.
"Angkatan laut, kekuatan rudal, dan angkatan udara tak berawak angkatan bersenjata Yaman melakukan operasi militer gabungan dengan sejumlah besar rudal balistik dan angkatan laut sertadrone," katanya dalam pernyataan di X, sebelumnya Twitter, dikutip Kamis (11/1/2024).
Sebelumnya pada Rabu, militer AS mengatakan pasukan Amerika dan Inggris menembak jatuh 18 drone dan tiga rudal yang diluncurkan oleh Houthi menuju jalur pelayaran di Laut Merah.
Para pemberontak, yang merupakan bagian dari kelompok "poros perlawanan" yang dibentuk melawan Israel, telah melancarkan lebih dari 100 serangan drone dan rudal di Laut Merah selama perang yang sedang berlangsung di Gaza, menurut angka Pentagon.
Serangan yang dilakukan oleh Houthi di Laut Merah telah menyebabkan perusahaan pelayaran menghindari Terusan Suez - sumber pendapatan utama bagi Mesir ketika negara itu sedang berjuang menghadapi krisis ekonomi yang parah.
Angka Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan 35% lebih sedikit kargo yang diangkut melalui Terusan Suez pada minggu pertama 2024 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Para analis mengatakan dampak finansial, meskipun terbatas untuk saat ini, akan sangat merugikan jika serangan Houthi terus menghambat lalu lintas melalui arteri maritim utama yang menghubungkan Eropa dan Asia tersebut.
Jalur air buatan - yang resmi dibuka pada 1869 - sangat penting bagi Mesir, menghasilkan biaya transit sebesar US$9,4 miliar pada tahun fiskal 2022/23.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data neraca perdagangan Australia periode November 2023 (07:30 WIB),
- Keputusan suku bunga bank sentral Korea Selatan (08:00 WIB),
- Konferensi Pers pencapaian KAI Commuter di 2023 dan masa Angkutan Natal dan Tahun Baru (09:30 WIB),
- Dialog Capres Bersama Kadin (13:00 - 21:00 WIB),
- ECB Economic Bulletin (16:00 WIB),
- Rilis data inflasi konsumen Amerika Serikat periode Desember 2023 (20:30 WIB),
- Rilis data klaim pengangguran Amerika Serikat periode pekan yang berakhir 6 Januari 2024 (20:30 WIB).
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPS Luar Biasa PT XL Axiata Tbk (09:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk (10:00 WIB).
- RUPS Luar Biasa PT Bank CIMB Niaga Tbk (14:00 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Indofarma Tbk (14:00 WIB),
- IPO PT Samcro Hyosung Tbk (ACRO),
- IPO PT Manggung Polahraya Tbk (MANG).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd) Next Article Hari Penentuan Tiba: AS Akan Buat Dunia Menangis atau Ketawa?
