Jokowi Mesti Berterima Kasih! Warga RI Rajin Ngutangin Negara

Revo M, CNBC Indonesia
02 January 2024 19:10
Daftar Para
Foto: Infografis/ Utang RI/ Edward Ricardo Sianturi

Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat Indonesia semakin gemar berinvestasi Surat Berharga Negara (SBN) dalam 10 tahun terakhir. Data tersebut tercermin dari meningkatnya kepemilikan investor ritel dalam SBN.

Tingginya minat investor individu untuk mengoleksi SBN didorong oleh semakin banyaknya jenis SBN yang ditawarkan,  imbal hasil yang relatif lebih tinggi dibandingkan deposito, pajak SBN yang lebih rendah dibandingkan deposito, makin terjangkaunya harga, semakin banyaknya mitra distribusi, serta kemudahan teknologi.

Dilansir dari Kementerian Keuangan, kepemilikan SBN oleh individu tercatat sebesar 2,51% pada 2014 atau awal masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan relatif terus mengalami kenaikan setiap tahunnya.

Pada akhir 2023 tercatat kepemilikan SBN oleh individu sebesar 7,71% atau naik sebesar 5,2 poin persentase dalam sembilan tahun terakhir.

Jika dilihat berdasarkan nominalnya, kepemilikan SBN oleh individu pada 2014 berada di angka Rp30,41 triliun menjadi Rp435,05 triliun. Hanya dalam kurun waktu sembilan tahun, kepemilikan individual tumbuh 1.330%.

Tidak sampai di situ, dilansir dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor SBN mengalami lonjakan yang signifikan pasca pandemik Covid-19.

Pada 2020, tercatat investor SBN berada di angka 460.372 dan terus mengalami kenaikan seiring dengan semakin maraknya penetrasi perihal investasi dari pemerintah terhadap masyarakat. Alhasil semakin banyak masyarakat yang mengetahui investasi di SBN.

Hingga November 2023, total investor SBN tercatat sebesar 992.787 atau naik 115% dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun saja. Dari total investor SBN, sekitar 97,82% merupakan investor individu dan 2,18% sisanya merupakan investor institusi.

Jumlah investor SBN khususnya individu terus bertumbuh didorong ketika Covid-19, investasi dengan risiko tinggi seperti saham cukup ditinggalkan pelaku pasar mengingat runtuhnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Likuidasi aset yang dilakukan investor di pasar saham dilakukan untuk mengamankan di kala kondisi global dan domestik yang tidak stabil. Alhasil, investor cenderung untuk menempatkan dananya di aset investasi yang aman dan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi dibandingkan deposito.

Lebih lanjut, di samping imbal hasil yang menarik, pajak yang dikenakan terhadap SBN pun lebih rendah daripada deposito. SBN Ritel hanya dikenakan pajak 10%, jauh di bawah pajak bunga deposito sebesar 20%.

Tingginya Kupon dan Kemudahan Mendongkrak Jumlah Investor
Meningkatnya kepemilikan investor ritel menjadi kabar gembira buat pemerintah. Keberadaan investor ritel bisa menjadi bantalan saat terjadi capital outflow di tengah ketidakpastian global. Terlebih, investor asing dengan "hot money" nya lebih mudah datang dan pergi dibandingkan investor ritel.

Pemerintah pertama kalinya menerbitkan SBN ritel pada 2006 melalui Obligasi Ritel Indonesia (ORI) seri ORI-001 pada 2006.  Sejak penerbitan tersebut, pemerintah sebenarnya sudah lama mencoba untuk mendongkrak investor ritel dalam kepemilikan SBN. Namun, jumlahnya tidak bergerak dari kisaran 2% hingga 2014 atau awal era Jokowi.

Kepemilikan ritel melonjak setelah 2014 dengan adanya sejumlah kebijakan baru. Di antaranya adalah dengan memperbanyak jenis SBN ritel. Bila semula hanya ada ORI dan sukuk ritel atau Sukri maka jumlahnya kini sudah mencapai empat yakni ORI, Sukri, sukuk tabungan (ST), dan saving bond ritel (SBR).
Penerbitannya juga bertambah dari semula hanya 2 kali dalam setahun menjadi tujuh kali pada 2023.

Upaya pemerintah lainnya dalam menggenjot dengan menurunkan minimal pemesanan mulai ORI-15 pada 2018 menjadi Rp 1 juta, dari semula Rp 5 juta.

Pemerintah juga lebih banyak menggandeng agen penjual. Tidak hanya terbatas bank tetapi juga perusahaan efek. Kemajuan teknologi juga membuat pemerintah berbenah dan menggandeng mitra distribusi seperti perusahaan financial technology (fintech), dan perdagangan melalui Sistem Elektronik yang ditetapkan oleh Pemerintah. Termasuk didalamnya Bibit, Investree, dan Bareksa.

Jumlah mitra distribusi meningkat dari  20 menjadi 29 pada 2023.

SBN Makin Seksi di Tengah Suku Bunga Tinggi

Pada 2022, situasi dunia semakin tidak terkendali di tengah sudah semakin melandainya kasus Covid-19, namun perang Rusia dan Ukraina muncul di awal tahun 2022. Hal ini berdampak pada supply komoditas yang semakin terbatas hingga membuat harga barang terbang tinggi diikuti dengan inflasi global yang memuncak.

Tingginya inflasi ini membuat berbagai bank sentral di dunia termasuk Bank Indonesia (BI) mengerek suku bunganya untuk menekan lonjakan inflasi.

Alhasil tingginya suku bunga tersebut membuat imbal hasil aset investasi safe haven (aman) cenderung menarik di tengah ketidakpastian global.

Total penerbitan SBN ritel juga mengalami kenaikan setiap tahunnya. Sejak 2020, realisasi penerbitan SBN ritel berada di angka Rp77 triliun dan terus meningkat menjadi Rp107 triliun pada 2022.

Sementara pada 2023, tercatat total penerbitan SBN ritel menembus Rp 147,4 triliun. Hal ini dinilai cukup menggembirakan di tengah kondisi pasar yang cukup volatil.

Capaian ini juga mencerminkan bahwa semakin baiknya tingkat literasi keuangan masyarakat sehingga dapat mendukung stabilitas pasar keuangan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation