Newsdata

Rupiah Selalu Bikin Jantungan di Awal Tahun, Kenapa Sih?

Revo M, CNBC Indonesia
02 January 2024 11:05
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Awal tahun diharapkan mampu menyuntikkan semangat dan optimisme yang lebih besar kepada pelaku pasar . Namun, kondisi ini berbeda  dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang cenderung melemah.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka melemah di angka Rp15.410/US$ atau terdepresiasi 0,1% bahkan sempat menyentuh angka Rp15.473/US$ atau melemah 0,51%.

Hal ini berbanding terbalik dari penguatan yang terjadi pada penutupan perdagangan akhir tahun 2023 yakni pada Jumat (29/12/2023) sebesar 0,13%.

Pelemahan rupiah hari ini (2/1/2024) terjadi di tengah sikap wait and see pelaku pasar perihal data inflasi Indonesia yang akan dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada pagi hari.

Secara umum, rupiah mengalami depresiasi terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam rentang 2014 hingga 2023. Atau dengan kata lain hanya tiga kali rupiah ditutup menguat pada hari pertama perdagangan setiap tahunnya.

Hal tersebut umumnya terjadi di tengah ketidakpastian global yang pada akhirnya memberikan apresiasi bagi indeks dolar AS (DXY) dan menekan mata uang lainnya termasuk rupiah.

Sebagai contoh pada awal 2015, indeks dolar ditutup menguat signifikan sebesar 0,9% sementara rupiah anjlok sekitar 1,25%.

Amblesnya rupiah kala itu ditengarai akibat kuatnya faktor eksternal khususnya yang datang dari AS di mana pada saat itu perekonomian AS membaik dan dalam kondisi kuat.

Membaiknya angka penjualan mobil di AS juga mengindikasikan bahwa roda perekonomian AS berjalan dengan cukup panas. Kuatnya DXY ini tidak hanya menekan mata uang Garuda, melainkan mata uang negara lainnya pun ikut melemah termasuk Euro.

Selain itu, pada 4 Januari 2016 pun, rupiah dan mata uang Asia lainnya mengalami penurunan terhadap dolar AS.

Sentimen negatif yang datang dari China serta Timur Tengah memberikan gejolak bagi pasar keuangan di awal 2016. Ketegangan di Timur Tengah menaikkan tingkat kecemasan yang berujung pada keluarnya modal asing dari pasar negara berkembang menuju aset yang lebih aman khususnya di negara maju.

Lebih lanjut, rupiah mengalami depresiasi pada awal Januari 2019 terjadi di tengah kuatnya aktivitas manufaktur AS.

Tercatat Purchasing Manager Index (PMI) AS masih dalam kategori ekspansif yakni di posisi 53,8 pada Desember 2018 meskipun sedikit lebih rendah dibandingkan periode November yang berada di angka 53,9.

Sementara pada awal pembukaan perdagangan 2024, rupiah melemah di tengah menggeliatnya indeks dolar  sejak 28 Desember 2023 serta sikap wait and see pelaku pasar perihal data inflasi Indonesia.

Kendati demikian, pergerakan rupiah masih cukup terjaga mengingat data transaksi pekan lalu yang dirilis oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa investor asing di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp4,28 triliun terdiri dari beli neto Rp0,30 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN), beli neto Rp2,00 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp1,98 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

Sedangkan sepanjang 2023, berdasarkan data setelmen hingga 28 Desember 2023, investor asing melakukan aksi beli neto Rp80,45 triliun di pasar SBN, jual neto Rp10,74 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp52,81 triliun di SRBI.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation