Big Stories 2023

Batu Bara 2023 Ambruk, 2024 Makin Ancur Lebur?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
30 December 2023 18:00
Aktivitas pertambangan batubara milik Bayan Resources di Tabang/Pakar, Kalimantan, Jumat (17/11/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki).
Foto: Aktivitas pertambangan batubara milik Bayan Resources di Tabang/Pakar, Kalimantan, Jumat (17/11/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki).

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara 2023 dimulai dengan tren kejatuhannya setelah mencapai rekor fenomenal tertinggi sepanjang masanya pada September 2022 lalu.

Sedikit mengulang, kinerja rekor batu bara pada 2022 disebabkan oleh beberapa faktor yaitu inflasi yang terjadi sebagai dampak penanganan pandemi COVID-19, keterbatasan pasokan akibat sektor energi fosil yang mulai ditinggalkan dan mengalami underinvestment, serta meletusnya perang Rusia-Ukraina yang membuat kekhawatiran energi global.

Namun demikian, commodity super cycle tampak mulai mendekati penghujung akhir dengan berbagai permasalahan sedikit demi sedikit teratasi pada 2023. Harga batu bara sepanjang tahun ini telah ambruk 64,85% menjadi US$ 136,95 per ton per hari terakhir perdagangan, Jumat (29/12/2023).

Pengendalian inflasi melalui pengetatan suku bunga yang mengerem permintaan, produksi berbagai negara penghasil terbesar yang semakin tinggi, dan gangguan rantai pasok akibat perang Rusia-Ukraina yang semakin terkendali menjadi faktor penurunan harga batu bara.

Selain itu, terdapat beberapa sentimen yang menggerakkan harga dalam jangka pendek sepanjang 2023. Sentimen penguat harga jangka pendek diantaranya, suhu panas yang menyebabkan lonjakan permintaan batu bara untuk sumber energi pendingin ruangan dan perang Israel-Hamas yang membuat kekhawatiran pasokan batu bara global.

Sentimen penyebab penurunan harga dalam jangka pendek diantaranya, China yang kembali membuka keran impor dari Australia, lesunya perekonomian China, dan musim dingin Eropa yang relatif lebih hangat dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Sentimen Koreksi: Terbukanya Keran Impor Batu Bara Australia ke China (Januari)

Setelah lebih dari dua tahun dijauhi, China kembali mendekati batu bara Australia pada sekitar awal tahun 2023. Sentimen ini turut menjadi faktor kejatuhan harga pada awal tahun, mengingat China sebagai konsumen batu bara terbesar dunia memiliki opsi pembelian batu bara dengan kalori tinggi dari Australia.

Selain itu, Australia adalah pemasok batu bara terbesar kedua China sebelum larangan tidak resmi tersebut diberlakukan. Sebagai catatan, Kargo batu bara yang dikirim dari Australia ke China, yang menyumbang hampir seperempat dari seluruh pasokan batu bara Australia pada 2019, turun menjadi hampir nol pada tahun 2021 dan 2022. 

Sentimen Koreksi: Lesunya Ekonomi China (Mei-Juni)

Ambruknya harga batu bara masih disebabkan sejumlah faktor semakin lesunya ekonomi China. Tanda-tanda lesunya ekonomi China semakin jelas dalam data perdagangan mereka. Tiongkok melaporkan ekspor anjlok 12,4℅ periode Juni 2023 secara tahunan, ini menjadi yang paling dalam sejak Februari 2020. Sementara impor terkoreksi 6,8℅, penyusutan ini memperpanjang tren pelemahan selama empat bulan beruntun.

 

 

Ekspor dan impor yang terkoreksi mencerminkan masih lemahnya permintaan dari dalam negeri China serta mitra dagang mereka. Kondisi akan mengurangi kebutuhan listrik serta sumber energi penyokongnya seperti batu bara. Akibatya, permintaan batu bara melemah dan harga terus tertekan.

Sentimen Koreksi: Musim Dingin Eropa yang Lebih Hangat (Oktober-Desember)

Periode akhir tahun, erat kaitannya dengan penguatan harga batu bara. Namun, suhu di barat laut Eropa diperkirakan belum menunjukkan level musim dingin yang signifikan atau masih mendekati level normal untuk bulan Desember.  "Suhu udara selama Oktober hingga Desember relatif mild. Suhu beberapa wilayah bahkan di atas normal pada November. El Nino akan membuat permukaan laut di Atlantik lebih hangat," tutur Steve Silver, ahli meteorology dari Maxar, dikutip dari Montel News.

Tren Penguatan: Heatwaves China (Juli-Agustus)

Harga batu bara sempat mengalami tren kenaikan seiring dengan gelombang panas (heatwaves) menyebabkan permasalahan energi China yang akhirnya harus kembali bergantung ke batu bara. Gelombang panas yang terjadi sebelumnya tidak hanya menyebabkan lonjakan permintaan, tetapi juga menyebabkan kekeringan yang mengganggu pasokan air untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Salah satu faktor suhu panas yang terjadi juga turut disebabkan oleh adanya El-Nino. 

Tren Penguatan: Perang Israel-Hamas (7 Oktober)

Sentimen kenaikan harga komoditas energi juga masih disokong oleh risiko geopolitik perang Israel danHamas yang sedang berlangsung. Ketegangan geopolitik telah mendominasi pergerakan harga gas dalam beberapa hari terakhir, kata analis OleHvalbye diSEB dalam sebuah catatan. Kekhawatiran sisi pasokan terjadi seiring Timur Tengah yang erat kaitannya sebagai pemasok minyak dunia yang akan mengalami gangguan sisi pasokan. Hal ini mempengaruhi kenaikan harga minyak dan gas alam yang dapat mempengaruhi harga batu bara sebagai substitusinya. Sebagai 

Proyeksi Harga Batu Bara 2024 US$117/Ton, Equilibrium Baru?

Harga batu bara 2024 diproyeksi, berada di rata-rata di kisaran harga US$ 117 per ton, jauh di bawah rata-rata sepanjang 2023 yang mencapai US$ 175 per ton, menurut Ahmad Zuhdi, Analis Industri Pertambangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Meski terjadi penurunan, proyeksi harga masih di atas level psikologis US$ 100 per ton, menunjukkan level yang masih lebih tinggi dibanding pra pandemi, dengan catatan bahwa kemungkinan penurunan suku bunga dapat memacu sisi permintaan kembali.

Level harga saat ini dibanding puncak siklus sebelumnya pada 2013-2014 menunjukkan adanya permasalahan dari sisi pasokan yang membuat harga batu bara tetap tinggi, meskipun suku bunga telah dinaikkan.

Zuhdi menjelaskan bahwa kebijakan pengetatan suku bunga lebih berdampak pada demand side daripada supply side, dan keadaan saat ini lebih dipengaruhi oleh supply shock pasca pandemi.

Seiring dengan adanya inisiatif dari dua negara konsumen batu bara terbesar, China dan India, untuk melakukan stockpiling, harga batu bara diproyeksikan akan kembali menurun pada 2025.

Zuhdi memperkirakan bahwa akan ada pembentukan equilibrium harga baru sekitar US$ 80-100 per ton pada 2025. Penurunan ini diperkirakan dapat terjadi, khususnya jika produksi dari negara eksportir seperti Indonesia dan Australia meningkat lebih cepat dari permintaan. Semakin tinggi persediaan yang tidak diimbangi permintaan, harga akan cenderung menurun, begitu juga sebaliknya.



CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected] 

 

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation