
Jelang Tahun Baru 2024, Investor Wajib Cermati Sentimen Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Hanya tersisa tiga hari efektif pada perdagangan pasar keuangan tahun ini, sebentar lagi kita akan segera menyambut tahun baru 2024.
Sejak awal Desember 2023, nampaknya pasar keuangan Tanah Air telah mengakselerasi dengan baik fenomena window dressing yang kerap kali menjadi momen paling dinanti-nanti pasar.
Hal tersebut tercermin pada gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang berhasil bertengger di zona penguatan, rupiah menguat, hingga yield obligasi 10 tahunan Indonesia yang sudah mulai turun menunjukkan harga terkerek minat pelaku pasar.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), hingga akhir pekan lalu Jumat (22/12/2023) IHSG ditutup di posisi 7237,51 atau terapresiasi 0,39% secara harian. Apresiasi tersebut berhasil mengakumulasi penguatan IHSG sejak awal tahun (year-to-date/YTD) sebesar 5,65%.
Berikutnya, pada pergerakan rupiah pada akhir pekan lalu juga berhasil terkerek menguat 0,26% ke posisi Rp15.480/US$. Penguatan ini membawa rupiah kembali ke level yang terkuat sejak 6 Desember 2023.
Beralih ke pasar obligasi, melansir data Refinitiv hingga Senin (25/12/2023) yield SBN 10 tahun turun 3 basis poin (bps) ke 6,49% dibandingkan satu hari perdagangan sebelumnya di posisi 6,52%. Penyusutan yield ini berbanding balik dengan harga, dengan begitu harga malah terkerek naik yang menunjukkan minat investor masuk lagi ke surat utang negara.
Melihat waktu perdagangan efektif 2023 kian menyempit, ada beberapa sentimen yang perlu dicermati pasar.
Sebelum itu, ada beberapa sentimen dari pekan lalu yang masih potensi mempengaruhi gerak pasar pekan ini baik dari eksternal dan internal. Dari dalam negeri, sentimen datang dari keputusan Bank Indonesia (BI) yang mempertahankan suku bunga acuan di level 6,00% pada Kamis pekan lalu. Kebijakan BI ini sudah sejalan dengan ekspektasi pelaku pasar.
Dari eksternal, sentimen positif datang dari ambruknya dolar AS, ekspektasi kebijakan suku bunga di Amerika Serikat, serta derasnya capital inflow. Indeks dolar anjlok ke level terendah hampir lima bulan ke 101,69 pada akhir pekan lalu.
Dolar melemah sejalan dengan menguatnya ekspektasi pelaku pasar mengenai kebijakan dovish bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Perangkat Fed Watch Tool memperkirakan The Fed sudah mulai memangkas suku bunga pada Maret tahun depan. Investor yang semula mengendapkan modal di AS pun kini memilih investasi dengan imbal hasil lebih menarik dari di luar AS, termasuk instrumen berdenominasi rupiah seperti mata uang rupiah, saham di Indonesia, dan SBN.
Ekspektasi pasar membuat aliran modal asing ke Indonesia kencang. Data BI merujuk pada transaksi 18-21 Desember 2023 mencatat adanya beli neto sebesar Rp 6,377 triliun dari investor asing di pasar keuangan Indonesia.
Investor asing mencatat jual neto sebesar Rp 0,12 triliun di pasar SB, beli neto sebesar Rp 1,52 triliun di pasar saham, serta beli neto sebesar Rp 4,97 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Beralih ke pekan ini, sebenarnya tidak terlalu ada banyak sentimen yang berpengaruh terhadap pasar, tetapi pasar patut mencermati jika ada koreksi normal. Pasalnya, jelang akhir tahun banyak dari pelaku pasar potensi menarik uangnya untuk bekal liburan sehingga ini akan memicu aksi profit taking.
Berlanjut ke sentimen lainnya, akan ada rilis data dari eksternal, diantaranya data klaim pengangguran Amerika Serikat (AS) yang rilis mingguan setiap Kamis diprediksi akan naik ke 210.000. Proyeksi tersebut lebih tinggi dibandingkan peroleh pekan sebelumnya sebanyak 205.000 klaim.
Selanjutnya, pada akhir pekan ini tepatnya di hari Minggu akan ada rilis data PMI Manufaktur China per Desember 2023 yang diproyeksi masih akan berada di zona kontraksi atau di posisi 49,4 sama seperti bulan sebelumnya. Secara tren, pada tiga bulan beruntun ini PMI manufaktur China selalu turun, bermula di zona ekspansif akan tetapi kini masih terkontraksi.
CNBC INDONESIA RESEARCH