
Gibran Sebut Nikel Bisa Dongkrak Ekspor RI, Begini Potensinya

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia merupakan salah satu produsen nikel terbesar di dunia, sehingga tak heran pemerintah Indonesia memanfaatkan potensi tersebut untuk menjadikan nikel sebagai salah satu komoditas utama Indonesia yang dapat dicari-cari oleh negara luar. Bahkan, Indonesia berambisi menjadi 'raja Electric Vehicle (EV)' global di tengah melonjaknya permintaan akan gawai dan kendaraan listrik, serta mulai banyaknya negara yang sadar akan perubahan iklim.
Hal inilah yang kembali disebut oleh calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka dalam debat kedua capres-cawapres 2024 Jumat (22/12/2023) lalu.
Gibran mengatakan bahwa ekspor nikel Indonesia melonjak menjadi US$ 33 miliar setelah ada hilirisasi. Gibran juga menjelaskan angka tersebut melonjak drastis dari sebelum program hilirisasi digalakkan yakni sekitar US$ 3 miliar.
"Saya akan memberikan solusi paling konkrit. Solusi paling konkrit adalah hilirisasi. Kita jangan lagi kirim barang mentah. Kita harus mampu meningkatkan nilai tambah dalam negeri," tutur Gibran dalam debat cawapres, Jumat (22/12/2023).
Gibran mengatakan hilirisasi nikel menjadi contoh bagaimana industri dengan meningkatkan nilai tambah bisa mendongkrak ekspor
"Contoh nikel, dulu sebelum ada hilirisasiekspor hanya US$ 3 miliar. Sekarang setelah hilirisasi bisa jadi US$ 33 miliar. Ini baru nikel belum tembaga, timah dan lain-lain," imbuhnya.
Di lain sisi, mimpi besar Indonesia menjadi 'raja EV' merupakan bagian dari misi Presiden Joko Widodo (Widodo). Era presiden Jokowi ini memang marak membawa konsep hilirisasi pada sektor tambang di Tanah Air, salah satunya nikel.
Hilirisasi bahkan tetap berjalan di tengah banyaknya pertentangan di meja (World Trade Organization/WTO). Jokowi tetap menjalankan kebijakannya melakukan hilirisasi di dalam negeri dan tetap melarang ekspor bijih nikel. Uni Eropa menjadi kawasan yang paling menentang larangan ekspor nikel
Di lain sisi, nikel juga diproyeksi menjadi salah satu bahan mineral yang paling dicari di masa depan sejalan dengan pesatnya penggunaan kendaraan listrik. Nikel saat ini banyak digunakan untuk membuat baja tahan karat (stainless steel).
Nikel juga dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan baterai pada kendaraan listrik. Nikel juga mampu menyimpan cadangan energi yang paling baik sehingga bisa dimanfaatkan dalam pengembangan energi baru terbarukan.
Berdasarkan laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), produksi nikel di dunia mencapai 3,3 juta metrik ton pada 2022. Jumlah itu meningkat 20,88% dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 2,73 juta metrik ton.
Dalam laporan tersebut, Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia pada 2022. Total produksinya diperkirakan mencapai 1,6 juta metrik ton atau menyumbang 48,48% dari total produksi nikel global sepanjang tahun lalu.
Selain unggul sebagai produsen, Indonesia tercatat sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia pada 2022 yakni mencapai 21 juta metrik ton. Posisinya setara dengan Australia. Ada pula Brasil sebagai pemilik cadangan nikel terbesar dunia berikutnya sebanyak 16 juta metrik ton.
Kembali ke Gibran, Ia menyebut bahwa lonjakan nilai ekspor nikel saat debat membahas apa upaya cawapres untuk menggenjot perdagangan. Sebagai catatan, pemerintah Indonesia resmi melarang ekspor bijih mineral nikel sejak Januari 2020 dan fokus pada hilirisasi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekspor bijih nikel pada 2010-2019 atau 10 tahun, rata-rata mencapai US$ 710,095 juta dengan volume menembus 23,28 juta ton.
Sementara itu, ekspor ferro nikel mencapai US$ 789,43 juta dengan volume mencapai 485.521 ton.Ekspor nikel dan barang daripada mencapai US$ 928,57 juta dengan volume 97 ribu ton.
Khusus pada 2022, ekspor ferro nikel mencapai US$ 13,621 miliar atau melesat 424,8%% dibandingkan sebelum larangan ekspor pada 2019.Ekspor nikel dan barang daripadanya mencapai US$ 5,98 miliar, terbang 635,2% dibandingkan sebelum larangan ekspor pada 2019.
Ferro nikel merupakan bahan utama dalam pembuatan besi baja tahan korosi dan besi baja tahan panas.
Dengan potensi yang dimiliki Indonesia, muncul lah inisiasi untuk pajak ekspor beberapa bulan lalu. Namun, untuk saat ini penerapan pajak ekspor produk nikel ini belum juga direalisasikan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pengenaan pajak ekspor atau bea keluar produk hilirisasi Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi) dilakukan ketika harga nikel dalam kondisi bagus. Sementara, saat ini harga produk nikel di pasar internasional belum seperti yang diharapkan.
Artinya, saat ini pemerintah tampak tengah mencari keseimbangan untuk tidak terlalu cepat memberikan pengenaan pajak, karena saat rencana itu diinisiasikan, harga nikel lagi bagus, sehingga volume produksi digenjot cukup besar. Akibatnya, harga nikel kini turun.
Dengan proses ini, pemerintah tampak tidak akan memberikan izin baru untuk pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel, kecuali menggunakan sumber energi hijau aliasclean energy.
Dalam catatan CNBC Indonesia, pembangunan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) memang menjadi salah satu prioritas pemerintah dalam memberikan manfaat yang lebih besar kepada negara.
Adapun progres pembangunan smelter di Indonesia untuk nikel, bauksit, besi dan tembaga di Indonesia, hingga tahun 2022 lalu, 5 unit smelter terintegrasi telah selesai dibangun dan 12 unit masih dalam tahap pembangunan.Ditargetkan, ada 8 smelter lagi mulai beroperasi tahun 2023 ini, 6 di antaranya untuk pengolahan nikel.
Sementara itu, nilai investasi smelter nikel untuk tahun ini diperkirakan sekitar US$ 2.676,4 juta. Jika kita menggabungkan semua nilai investasi untuk smelter lainnya, termasuk bauksit, tembaga, dan besi, nilai investasi diperkirakan mencapai US$ 11.666,2 juta.
Filipina Bahkan Belajar Dari RI Terkait Nikel
Negara tetangga Indonesia yakni Filipina sedang mempertimbangkan untuk mengenakan pajak ekspor bijih nikel di antara opsi untuk mendorong penambang di negara pemasok logam terbesar kedua dunia itu untuk berinvestasi dalam pemrosesan. Hal ini dilakukan dalam rangka mencontoh keberhasilan Indonesia.
"Kami ingin keluar dari sekadar bagian dari rantai pasokan. Kami ingin menjadi bagian dari rantai nilai. Tanpa fasilitas untuk mengolah bijih mineral, kami hanya akan menjadi negara penjual dan kami tidak ingin hanya menjadi negara penjual," kata Sekretaris Lingkungan dan Sumber Daya Alam FilipinaMaria Antonia "Toni" Yulo-Loyzagadalam sebuah wawancara di kantornya, dikutip dariMining.
Pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr. itu sedang berusaha untuk meningkatkan pertambangan untuk lebih menumbuhkan ekonomi yang membukukan ekspansi terkuatnya dalam hampir lima dekade tahun lalu.
Dengan kurang dari 3% yang ditambang dari 9 juta hektar, potensi nikel di Filipina ini masih sangat besar.
"Ada serangkaian tindakan, termasuk pandangan progresif pada pajak ekspor nikel mentah untuk meningkatkan investasi di fasilitas pemrosesan di sini," tambah Loyzaga.
Untuk diketahui, Indonesia dan Filipina adalah pemasok nikel terbesar di dunia. Nikel digunakan untuk membuat stainless steel dan komponen utama baterai kendaraan listrik yang biasanya dijual ke pasar utama China.
Tetapi, Indonesia melarang ekspor bijih nikel sejak 2020 dan terus menggencarkan hilirisasi di dalam negeri, sehingga meningkatkan nilai ekspor dari US$ 3 miliar pada 2017 menjadi US$ 30-an miliar dalam lima tahun.
Terinspirasi oleh keberhasilan Indonesia, Menteri Perdagangan Filipina, Alfredo Pascual mengatakan badan tersebut sedang mempertimbangkan apakah akan mengenakan pajak ekspor atas ekspor nikel mentah atau melarang pengiriman bijih sepenuhnya.
Filipina memiliki 55 tambang logam dan tujuh pabrik pemrosesan mineral, termasuk dua untuk nikel yang dioperasikan oleh Nickel Asia Corp, yang sebagian dimiliki oleh Sumitomo Metal Mining Co Jepang. Loyzaga mengatakan targetnya adalah menambah tiga fasilitas pemrosesan mineral lagi selama masa jabatannya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
research@cnbcindonesia.com
(chd/chd)