Macro Insight

Menerka Nasib Rupiah 2024, Terancam Luar Dalam!

Revo M, CNBC Indonesia
20 December 2023 16:00
Ekonomi Bawah Tanah Indonesia Meledak, Hampir Rp2000 Triliun!
Foto: Infografis/ Ekonomi Bawah Tanah Indonesia Meledak, Hampir Rp2000 Triliun!/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah akan menghadapi berbagai tantangan pada 2024 baik tekanan yang datang dari eksternal maupun internal. Hal ini menjadi perhatian meskipun beberapa waktu terakhir, rupiah mengalami apresiasi.

Dilansir dari Refinitiv pada Rabu (20/12/2023) pukul 11:28 WIB, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada di angka Rp15.508/US$.

Angka ini relatif stabil sejak 14 Desember 2023 mengingat kondisi ekonomi global yang mulai membaik/stabil serta fundamental ekonomi Indonesia yang baik.

Kendati saat ini kondisi secara umum cukup terkendali, namun bukan berarti situasi sekarang berada dalam kondisi yang aman dan sepenuhnya terkontrol.

Tekanan Eksternal

1. Suku Bunga The Fed Tinggi dalam Waktu Lama (Higher for Longer)

Suku bunga bank sentral AS (The Fed) saat ini masih cukup tinggi yakni di level 5,25-5,5%.

Sepanjang 2023, The Fed telah menaikkan suku bunganya sebanyak empat kali sejak Februari hingga akhirnya di tahan pada bulan November dan Desember 2023.

Sedangkan sejak Maret 2022 hingga Juli 2023, The Fed mengerek suku bunga sebesar 525 basis poin (bps).

The Fed memutuskan menaikkan suku bunganya untuk menekan inflasi dan inflasi inti yang melambung tinggi pasca pecahnya perang antara Rusia dan Ukraina.

Tingginya suku bunga The Fed berdampak pada capital flow negara lainnya termasuk Indonesia karena tingginya imbal hasil yang ditawarkan AS sehingga dana asing keluar dari Indonesia dan masuk ke pasar keuangan AS.

Hal ini tercermin dari data yang dirilis oleh BI, bahwa terjadi capital outflow sejak pekan kedua Agustus hingga pekan kedua September atau enam pekan beruntun.

2. Penyusutan Neraca Keuangan The Fed

Neraca The Fed terus menyusut sejak penurunan pada bulan Maret ketika tekanan pada sistem perbankan menyebabkan lonjakan pinjaman bank.

Sejak mencapai puncaknya sekitar US$9 triliun pada bulan Maret 2022, neraca The Fed telah menyusut lebih dari US$1,1 triliun karena kepemilikan System Open Market Account (SOMA) berkurang.

Pada periode yang sama, fasilitas reverse repo The Fed menambah likuiditas sebesar US$900 miliar, sementara Bank Term Funding Program (BTFP) menambah likuiditas sebesar US$100 miliar.

Saat ini, The Fed sedang melakukan pengetatan kuantitatif (QT) setelah sebelumnya melakukan pelonggaran kuantitatif (QE) akibat fenomena Covid-19 yang terjadi 2020.

Namun yang dikhawatirkan adalah ketika QT berlangsung berkepanjangan, maka hal ini dapat berdampak pada tingginya supply dolar di AS sehingga terjadi kelangkaan/scarcity dolar AS dan berujung pada naiknya indeks dolar (AS) serta melemahnya mata uang Garuda.

3. Potensi Tingginya Harga Minyak Dunia Akibat Perang Hamas & Israel

Harga minyak dunia yang mengalami kenaikan dapat berdampak pada merangkak naiknya inflasi suatu negara bahkan global. Hal ini disebabkan karena terganggunya pasokan minyak dunia sementara permintaan minyak terus ada sehingga harga minyak dunia dapat mengalami apresiasi.

Ketika perang Hamas dan Israel semakin melebar maka berpotensi produksi minyak dunia semakin berkurang akibat terganggunya proses produksi minyak di Timur Tengah. Alhasil inflasi berpotensi melonjak dan salah satu cara menekan inflasi yakni dengan menaikkan suku bunga.

Hal tersebut dapat memberikan potensi The Fed menaikkan suku bunga dan berdampak pada penguatan DXY.

Tekanan Internal

1. Tingginya Harga Minyak Berdampak pada Defisit Transaksi Berjalan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat konsumsi bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan sebagian besar kebutuhan bahan bakar dalam negeri berasal dari impor seperti BBM jenis bensin. Ia pun mencatat, impor BBM jenis bensin mengalami peningkatan dari sekitar 123 juta barel pada tahun 2015 menjadi 138 juta barel pada tahun 2022.

Ketika impor minyak cukup tinggi, maka hal ini dapat membuat neraca perdagangan Indonesia menjadi defisit dan lebih lanjut berpotensi terjadi defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit).

Hal ini akan memberikan dampak negatif bagi persepsi investor terhadap Indonesia. Investor dapat melihat bahwa Indonesia adalah negara yang kurang aman.

Lebih lanjut, impor yang tinggi juga mengindikasikan bahwa Indonesia membutuhkan dolar yang cukup banyak. Alhasil, nilai tukar rupiah dapat melemah.

2. Ketidakpastian Politik (Terbentuk Polaritas yang Intens)

Kondisi politik yang tidak stabil dapat berdampak pada persepsi investor khususnya investor asing yang melihat kondisi yang tidak baik bagi iklim investasi.

Potensi terjadi hal-hal yang mengganggu ketenangan dalam berinvestasi maupun berbisnis akan diikuti dengan seretnya dana asing ke domestik bahkan dapat terjadi capital outflow.

Hal tersebut dapat semakin parah ketika kondisi terjadi polarisasi yang sangat jelas dan keributan/kerusuhan.

Ketika capital outflow terjadi, maka pelemahan rupiah merupakan implikasi yang harus terjadi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation