Mimpi RI Jadi 10 Besar di Dunia Digital Bisa Rusak Karena Ini

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
08 December 2023 10:40
Asosiasi industri seluler global, GSMA menggelar Indonesia Dgital Nations Summit di The Westin, Jakarta pada Rabu (6/12/2023)
Foto: GSMA

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memiliki prospek yang sangat potensial masuk ke deretan 10 besar negara dengan nilai ekonomi digital tertinggi di dunia pada 2030 mendatang.
Namun, akselerasi terhadap pemerataan jaringan internet mobile terutama 5G masih menghadapi banyak tantangan mulai dari biaya spektrum mahal hingga fakta ternyata masih banyak masyarakat yang tidak beruntung bisa menikmati internet.  

Asosiasi industri seluler global, GSMA, menerbitkan laporan terbaru dalam Indonesia Digital Nations Summit di The Westin, Jakarta pada Rabu (6/12/2023) dengan judul "Forging a resilient digital nation : Proposals for Indonesia's future" yang menyatakan beberapa tantangan yang masih dihadapi Indonesia serta berbagai solusi yang diusulkan pada pemerintah dan pemangku kepentingan guna mencapai target Indonesia masuk top 10 ekonomi digital dunia.

Indonesia memang potensial menjadi negara yang unggul dalam ekonomi digital lantaran Indonesia memiliki demografi yang sangat mendukung, dimana mayoritas penduduk berada pada usia produktif yang potensial memanfaatkan teknologi lebih optimal baik untuk kebutuhan pribadi maupun bisnis.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), penduduk berusia produktif dari rentang 15 - 64 tahun di Tanah Air mencapai lebih dari 60%. Sejalan dengan populasi tersebut, wilayah Indonesia yang terdiri dari lebih 17.000 pulau saat ini telah memiliki infrastruktur jaringan yang cukup luas.

Melansir laporan terbaru Asosiasi industri seluler global, GSMA menyatakan sudah sekitar 96% dari populasi Indonesia sudah ter-cover jaringan 4G.

Namun, konektivitas 4G saja tentu tidak cukup, dalam laporan tersebut juga menyatakan bahwa konektivitas seluler 5G juga diperlukan untuk meningkatkan nilai ekonomi digital Indonesia bersaing dengan negara teratas seperti China dan India ke depan.

Di Indonesia, akselerasi jaringan 5G hingga kuartal III/2023 sudah berhasil tumbuh 54%, tetapi kontribusi-nya masih 19% saja dari total jaringan yang ada. Porsi yang masih kecil ini menjadi satu peluang operator telekomunikasi untuk ekspansi.

Sayangnya, untuk bisa mengakselerasi jaringan 5G ke seluruh wilayah Indonesia saat ini masih ada banyak tantangan yang perlu dihadapi, mulai dari harga spektrum 5G yang dinilai masih tinggi, pajak tinggi, kendala regulasi, hingga tantangan masih banyak masyarakat yang ternyata belum terkoneksi internet.

Untuk itu, diperlukan adanya bantuan dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan yang terkait supaya keberlangsungan bisnis telekomunikasi akan lebih terjamin ke depan yang bisa mengakselerasi infrastruktur lebih masif.

Operator Butuh Subsidi BHP & Peta Jalan Spektrum Diperjelas

Julian Gorman, Head of APAC GSMA, mengatakan untuk merealisasi transformasi ekosistem digital yang merata diperlukan pendekatan dari pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan yang ada guna memastikan langkah diambil tepat dan sesuai.

"Indonesia telah mencapai kesuksesan yang nyata dalam perjalanannya menjadi negara digital. Namun, mentransformasi ekosistem digital negara ini tidak akan mungkin tanpa investasi yang diperlukan dari sektor swasta. Untuk merealisasikan hal itu, diperlukan pendekatan seluruh pemerintah (Whole-of Government) untuk memastikan langkah-langkah yang tepat dan sesuai, termasuk memberikan insentif investasi infrastruktur, menyederhanakan biaya sektor spesifik, dan mengurangi birokrasi." ungkap Julian saat berdiskusi dengan wartawan, di Jakarta, Rabu (6/12/2023).

Laporan GSMA menyerukan beberapa saran yang bisa diambil pemangku kepentingan, salah satunya seperti memberikan insentif kebijakan untuk mendorong investasi di bidang infrastruktur.

Contoh saja, di Korea Selatan pemerintahnya memberikan insentif dalam bentuk kredit pajak dan pengurangan pajak untuk operator pada 2020 lalu. Dengan begitu, operator bisa membuka investasi sekitar KRW25,7 triliun atau setara US$ 22 miliar (Rp 340,67 triliun) untuk mengakselerasi pembangunan jaringan 5G.

Contoh lain juga terjadi di India, setelah melakukan amandemen aturan RoW pada 2022 lalu, peluncuran jaringan 5G dan infrastruktur fiber optic bisa lebih digencarkan.

Beralih ke Indonesia, untuk harga spektrum saat ini saja masih dinilai mahal, biaya hak penyelenggaraan (BHP) rata-rata operator telekomunikasi membayar kepada kominfo masih di kisaran 11 - 12% terhadap pendapatan, padahal rata-rata Industri berada di 7%.

Sudah banyak, pengusaha yang menyerukan supaya bisnis telekomunikasi tetap berjalan, maka beban tersebut harus ditekan paling tidak sama seperti industri atau lebih rendah. Mencontoh dari Korea Selatan dan India, tentu Indonesia juga disarankan untuk bisa memberikan insentif atau subsidi.

Tak berhenti sampai di subsidi, untuk menurunkan beban BHP hingga ke rata-rata industri diperlukan peta jalan spektrum yang jelas, tidak hanya pada pita-pita yang sedang direncanakan, tetapi fokus pada jangka panjang agar ketersediaan spektrum lebih terjamin bagi keberlangsungan bisnis operator telekomunikasi ke depan.,

Masih Banyak Masyarakat Belum Terkoneksi Internet

Tantangan lainnya, untuk pemerataan koneksi digital ternyata juga masih terhambat pada banyaknya masyarakat yang tidak menggunakan jaringan, padahal wilayahnya sudah mendapatkan akses.

Melansir data GSMA pada laporan terbaru, mencatat di Indonesia ada gap pengguna internet mobile masih sangat tinggi, mencapai 49%. Padahal wilayah yang belum ter-cover jaringan hanya 4% saja, biasanya ini di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar)

Dari data di atas, juga nampak banyak usage gap di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan Asia Pasifik dan rata-rata dari seluruh dunia yang berada di 38%.

Hal tersebut menunjukkan bahwa di Indonesia sebenarnya infrastruktur jaringan internet mayoritas sudah masuk ke pelosok Tanah Air, tetapi masyarakatnya malah banyak yang tidak memanfaatkan aksesnya. Apa penyebabnya?

GSMA mencatat ada beberapa hal yang menyebabkan tingginya angka usage gap tersebut. Mulai dari masih kurangnya tingkat kesadaran, pemahaman, skill, dan literasi masyarakat terhadap internet.

Kemudian, disebabkan oleh kurangnya kemampuan masyarakat untuk membeli perangkat telekomunikasi, walaupun ada harga murah, tetapi perangkat yang murah akan rawan rusak juga. Selanjutnya, terkait masalah kepercayaan terhadap internet karena banyak kejahatan cyber seperti penipuan, pencucian uang, judi, dan lainnya.

Oleh karena itu, jika Indonesia ingin tetap pada jalur-nya menjadi negara dengan ekonomi digital yang terus meningkat, maka ini sangat penting diperhatikan bagi para pemangku kepentingan. GSMA menyarankan beberapa hal yang meliputi :

- Meningkatkan kesadaran layanan internet seluler, khususnya di masyarakat pedesaan,

- Meningkatkan keamanan online bagi kelompok rentan,

- Mempromosikan program literasi dan keterampilan digital,

- Meningkatkan keterjangkauan harga dan ketersediaan perangkat telekomunikasi hingga ke pelosok daerah.

Dengan mengimplementasikan berbagai pendekatan tersebut, GSMA memproyeksikan Indonesia berpotensi membuka keran investasi hingga $18 miliar dari industri seluler pada 2024 hingga 2030 yang sebagian besar akan digunakan untuk pengembangan infrastruktur 5G. Apabila terakselerasi positif, investasi tersebut juga diproyeksi bisa memberikan kontribusi sekitar US$ 41 miliar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam enam tahun mendatang.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation