
Tak Perlu Pusing Impor, RI Punya Harta Karun Pengganti BBM!

Jakarta, CNBC Indonesia - Menghadapi tantangan tingginya impor Bahan Bakar Minyak (BBM) di Indonesia, PT Pertamina (Persero) terus berupaya mencari cara untuk bisa menekan angka impor dan memanfaatkan sumber daya yang ada di dalam negeri. Adapun salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan memanfaatkan bioetanol, bahan bakar berbasis tumbuhan seperti tetesan tebu (molase), untuk dicampurkan dengan BBM jenis bensin.
Melalui Subholding Commercial & Trading Pertamina, PT Pertamina Patra Niaga, perusahaan resmi meluncurkan produk bensin dengan campuran bioetanol 5% yang dinamakan Pertamax Green 95, pada Juli 2023 lalu. Bioetanol 5% (E5) dicampurkan ke dalam produk bensin Pertamax (RON 92), sehingga menghasilkan produk bensin setara nilai oktan 95 (RON 95).
Bioetanol, sebagai sumber energi bersih, bukan hanya menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan, tetapi juga menjadi kunci dalam mengurangi ketergantungan impor BBM. Melalui langkah-langkah ini, Indonesia berpotensi memimpin arah menuju kemandirian energi dan mengurangi dampak negatif pada defisit transaksi berjalan.
Mengutip situs Indonesiabaik, pembuatan bioetanol dilakukan dengan teknik fermentasi biomassa seperti umbi-umbian, jagung, atau tebu yang dilanjutkan proses pemisahan unsur campurannya.
Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan sempat mengatakan, inovasi ini bisa mengurangi volume impor BBM.
"Secara volume, ini (Pertamax Green 95) memang berpotensi untuk bisa memberikan dampak signifikan di dalam pengurangan impor (BBM)," jelas Riva kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (5/12/2023).
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor migas menurun 15,8% menjadi US$ 28,9 miliar atau setara Rp 447,9 triliun (kurs: Rp 15.500/US$) dibanding periode Januari-Oktober 2022 (year on year/yoy).
Namun, belum dapat disimpulkan keberadaan bioetanol saat ini serta merta langsung menurunkan tingkat impor migas Indonesia. Namun, besarnya tingkat impor ini dapat menjadikan gambaran dana keluar dan nilai impor yang dapat diselamatkan dengan intensifnya penggunaan bioetanol dalam persentase yang lebih tinggi pada beberapa tahun mendatang.
Faktor penurunan nilai impor migas Indonesia saat ini dapat disebabkan berbagai faktor, seperti harga minyak dan gas yang relatif lebih rendah dibandingkan tahun lalu, peningkatan campuran biodiesel menjadi 35% (B35) pada campuran BBM Solar, dan berbagai faktor lainnya.
Data lebih detail menunjukkan penurunan impor migas disebabkan oleh penurunan signifikan dari impor hasil minyak sebesar 18,24% menjadi US$ 16,8 miliar. Sebagai catatan, impor hasil minyak merupakan kontributor impor terbesar yang berperan 58% dari total impor migas.
Produk hasil minyak dapat dikatakan sebagai olahan dari minyak mentah atau Bahan Bakar Minyak (BBM). Jumlah impor hasil minyak ini berpotensi bisa semakin ditekan bila pemanfaatan bioetanol untuk campuran bensin ke depannya semakin digencarkan.
Prospek 'Harta Karun' Biofuel Indonesia
Bahan Bakar Nabati (BBN) atau biofuel utama yang telah diterapkan Indonesia berupa biodiesel dan bioetanol. Porsi penggunaan bioetanol dalam bauran energi Indonesia ditargetkan mencapai 2%. Untuk mencapai jumlah tersebut, produksi bioetanol yang diperlukan sekitar 750 ribu kilo liter (kl).
Sayangnya, produksi bioetanol Indonesia saat ini masih mencapai 40 ribu kl. Faktor rendahnya bioetanol domestik saat ini masih bergantung pada tanaman tebu. Padahal, sumber bioetanol dapat berasal dari beragam tanaman agrikultur yang telah dimiliki Indonesia, seperti jagung, sorgum, umbi-umbian dan berbagai tanaman lainnya.
Beragamnya pilihan ini dapat menjadi peluang untuk turut memajukan berbagai agrikultur dalam negeri. Hal ini menjadi kesempatan untuk Indonesia dapat meningkatkan industri perkebunan dalam negeri untuk menghindari ketergantungan impor dari negara lain, sehingga dapat mencapai swasembada pangan maupun energi.
Riva menjelaskan, pencampuran bioetanol dalam BBM juga merupakan dukungan perusahaan pada pemerintah untuk menjalankan swasembada gula. Hal itu seperti yang termuat di dalam peta jalan yang menjadi amanat Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Melansir laporan Statistik Tebu Indonesia yang diterbitkan BPS, luas areal perkebunan tebu Indonesia mencapai 490 juta hektar (ha) dan memproduksi 2,4 juta ton pada 2022. Mengutip situs Kementerian Pertanian, Ardi Praptono, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian menyatakan, bioetanol dari tebu memiliki potensi besar karena setiap 1 ton tebu setara 1,2 barel minyak mentah.
Riva juga menjelaskan bahwa penggunaan Pertamax Green 95 juga cukup berhasil sejak komersialisasi sekitar 5 bulan lalu, perusahaan sudah menjual Pertamax Green 95 hingga 5.000 liter per hari atau setara 150 kilo liter (kl) per bulan.
Jumlah ini diperkirakan akan meningkat 2-3 kali lipat pada 2024 dibanding penjualan saat ini. Artinya, konsumsi Pertamax Green 95 dapat mencapai 300-450 kl per bulan pada tahun depan.
Selain itu, pangsa pasar Pertamax Green 95 dapat terus meningkat mengingat penggunaan BBM Pertalite yang masih tinggi mencapai 29,48 juta kl pada 2022. Artinya, terdapat pangsa pasar yang cukup besar yang akan mengonsumsi bahan bakar yang mengandung bioetanol ini.
Dari segi biodiesel, Indonesia juga memiliki kekayaan yang cukup besar dengan tingkat produksi CPO Indonesia 2022 mencapai 46,73 juta ton, menurut catatan Kementerian Perdagangan. Kelapa sawit Indonesia juga telah berkontribusi besar terlihat dari luas area mencapai 16,38 juta ha.
Penggunaan biodiesel sebagai campuran minyak solar telah berhasil menghemat keuangan negara dengan kontribusi 30% (B30). Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sempat menyebut, penghematan devisa dengan adanya program B30 tahun lalu mencapai Rp 122 triliun.
Hal tersebut juga berdampak pada penurunan volume impor. Pengembangan bioetanol diharapkan dapat berkembang layaknya keberhasilan dari B30.
Biofuel Sarana Penurunan Emisi
Pengembangan biofuel akan turut mendukung perekonomian dalam negeri yang berbasis pertanian, untuk memenuhi target 23% pangsa energi terbarukan di Bauran Energi Nasional pada 2025. Selain itu, penerapan program biofuel juga dimaksudkan untuk menurunkan emisi hingga 31,9% di bawah BAU (Business as Usual) pada tahun 2030.
Biofuel pada dasarnya merupakan bahan bakar yang termasuk dalam golongan Energi Baru Terbarukan (EBT). Tidak hanya itu, penggunaan biofuel juga dapat menurunkan tingkat emisi dan termasuk dalam ekonomi rendah karbon.
Bioetanol dan biodiesel pada dasarnya memanfaatkan minyak dari tumbuhan atau hewan. Sebagai contoh, bioetanol dibuat melalui fermentasi umbi-umbian, jagung, tebu. Bahan bakar biodiesel juga telah dikembangkan signifikan di Indonesia dengan Biodiesel 35% (B35) atau pencampuran Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebesar 35% yang berasal dari CPO pada minyak Solar.
Hal ini cukup berbeda dengan BBM yang berasal dari bahan bakar fosil yang termasuk sebagai sumber energi tidak terbarukan, sehingga akan terdapat masanya akan kehabisan pasokan. Di sisi lain, biofuel dapat terus diperbarui dengan terus mengembangkan produk nabati.
Tak Bersaing dengan Pangan
Lantas, apakah pemanfaatan bioetanol berbasis tebu akan beririsan dan bersaing dengan produksi gula?
Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengungkapkan rencana pemerintah untuk mengolah tebu menjadi bietanol untuk bahan campuran BBM tidak akan mengganggu produksi gula untuk pangan.
Ketua Umum APTRI Soemitro Samadikoen mengatakan, proses pengolahan tebu menjadi campuran BBM yakni dengan memanfaatkan tetes tebu atau molase yang dihasilkan melalui produk samping atau produk sisa tebu.
"Memang betul kalau kita menggunakan molase untuk BBM, tidak akan mengganggu produksi gula kita karena yang digunakan adalah produk samping," ujarnya kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Jumat (8/12/2023).
Dengan tidak terganggunya produksi gula dengan memanfaatkan tetes tebu menjadi bioetanol yang bisa dicampur dengan BBM, Soemitro mendorong pemerintah untuk lebih serius dalam menjalankan program pengolahan tebu menjadi bioetanol tersebut.
Biofuel Dorong Pertumbuhan Perekonomian
Pengembangan biofuel dapat menghemat devisa, serta menjaga defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan menjadi kekhawatiran karena memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian suatu negara.
Defisit transaksi berjalan juga bisa menandai besarnya defisit transaksi berjalan karena impor yang membengkak. Hal ini disebabkan oleh defisit neraca perdagangan migas yang menjadi salah satu produk impor utama Indonesia.
Neraca transaksi berjalan pada kuartal III-2023 menorehkan defisit senilai US$900 juta atau sekitar Rp3,91 triliun (US$ 1=Rp15.450). Tentunya, penurunan tingkat impor minyak mentah dan hasil minyak dapat menurunkan defisit, bahkan dapat menjadikan surplus.
Impor minyak mentah dan hasil minyak Indonesia mencapai 14% dari keseluruhan impor Indonesia atau mencapai US$25,9 miliar periode Januari-Oktober 2023. Dengan adanya pengembangan biofuel, Indonesia berpotensi dapat mengurangi ketergantungan yang akan menurunkan impor minyak signifikan.
Pengurangan tingkat impor minyak dapat memperbaiki transaksi berjalan Indonesia dan menghemat devisa keluar. Hal ini juga diharapkan Indonesia dapat menjadi negara yang independen dari segi energi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)