Pertemuan Tahunan BI 2023

Dunia Masih Kacau, Ini Senjata BI Amankan Rupiah Tahun Depan!

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
30 November 2023 14:00
Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023. (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2023. (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah ambruk sepanjang Mei - Oktober, nilai tukar rupiah berhasil konsisten menguat pada sepanjang November. Kendati ke depan masih banyak tantangan yang dihadapi ke depan, walau begitu Bank Indonesia (BI) memiliki sejumlah jurus guna menjaga stabilitas mata uang Garuda dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Melansir data Refinitiv, rupiah ditutup menguat di angka Rp15.390/US$ atau terapresiasi 0,26% pada sepanjang perdagangan kemarin, Rabu (30/11/2023). Penguatan ini merupakan yang terkuat sejak 22 September 2023 atau lebih dari dua bulan.

Namun, pada pembukaan perdagangan rupiah hari ini, Kamis (30/11/2023) rupiah kembali melemah 0,49% ke posisi Rp15.465/US$. Walau begitu tren sepanjang November masih tetap positif lebih dari 2%.

Penguatan secara bulanan pada November menjadi yang pertama kali terjadi setelah enam bulan beruntun rupiah anjlok (Mei-Oktober) hingga nyaris ke Rp16.000/US$.

Terkhusus pada pelemahan yang terjadi hari ini disinyalir akibat pelaku pasar merespon sejumlah tantangan yang masih akan dihadapi rupiah pada tahun depan, sebagaimana yang dinyatakan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo beserta Presiden Joko Widodo pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) semalam, Rabu (29/11/2023).

Sebagai catatan, tahun ini kemungkinan besar menjadi yang terakhir Jokowi hadir di PTBI sebagai Kepala Negara. PTBI 2024 diperkirakan sudah dihadiri presiden baru hasil pemilu. Berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, Jokowi banyak menyentil isu ekonomi dalam negeri dan menyoroti kinerja pemerintahan hingga perbankan pada PTBI tahun ini.

Jokowi menegaskan kondisi global sedang tidak baik-baik saja seiring dengan perlambatan ekonomi di China, suku bunga yang tinggi di Amerika Serikat (AS), dan tensi geopolitik.

Jokowi pun mengambarkan perang yang terjadi di dunia cenderung terjadi secara tiba-tiba, tanpa tanda-tanda di awal. Hal ini diungkapkan Presiden Jokowi dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI).

"Perang Ukrania gak ada hujan gak ada angin tahu-tahu perang, Gaza gak ada hujan gak ada angin tahu-tahu perang," tegas Jokowi. 

Sependapat dengan pernyataan Jokowi,  Gubernur BI, Perry Warjiyo juga mengungkapkan bahwa ekonomi global masih dibayangi oleh gejolak akibat kondisi geopolitik, ekonomi China yang masih kontraksi, dan perang dagang.

"Dunia masih terus bergejolak perang Rusia-Ukraina, Perang Dagang AS dan Tiongkok dan kini konflik Israel-Palestina," papar Perry Warjiyo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI), Rabu (29/11/2023).

Rupiah Terancam

Mulai dari China tekanan terhadap rupiah terjadi lantaran kondisi manufaktur yang kontraksi. PMI Manufaktur China pada November 2023 tercatat sebesar 49,4 atau lebih rendah dari periode sebelumnya yang berada di angka 49,5.

Hal ini menjadi penting mengingat China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia serta mitra dagang Indonesia. Kondisi tersebut sangat berdampak pada ekspor RI yang susut yang kemudian tercermin pada neraca transaksi berjalan RI yang kembali defisit. Ini juga menjadi tanda bahwa boom komoditas sudah mulai berakhir.

Tantangan rupiah selanjutnya datang dari perlambatan aktivitas ekonomi di China juga akan sangat berdampak terhadap dunia mengingat ekonomi Sang Naga Asia berdampak pada sepertiga ekonomi dunia.

Hal tersebut bisa berimplikasi pada kondisi ekonomi global yang potensi meredup pada 2024 mendatang. Berdasarkan OECD Economic Outlook terbaru, pertumbuhan ekonomi global diperkirakan melambat dari 2,9% tahun ini menjadi 2,7% pada 2024, sebelum meningkat ke level 3% pada 2025.

Beralih pada risiko selanjutnya datang dari negeri Paman Sam terkait penurunan inflasi yang lambat meski pengetatan moneter agresif di negara maju baru turun 2024 itupun masih di atas target karena harga energi pangan global dan keketatan pasar tenaga kerja-nya.

Melihat data AS, inflasi per Oktober 2023 tumbuh 3,2% secara tahunan (year-on-year/yoy). Nilainya memang lebih baik dari perkiraan pasar yang proyeksi tumbuh 3,3% yoy dan bulan sebelumnya sebesar 3,7%. Akan tetapi, masih jauh dari target bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang berharap ke 2%.

Target the Fed tersebut memang sulit untuk dicapai tahun ini walau inflasi sudah dalam tren melandai, oleh karena itu fenomena higher for longer Fed Fund Rate (FFR) masih berlangsung lama karena anggapan suku bunga AS saat ini sudah mencapai puncaknya.

Tahun ini, masih akan ada sekali lagi pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 13 Desember mendatang. Suku bunga AS proyeksi akan kembali ditahan pada pertemuan tersebut, berdasarkan kalkulasi CME FedWatch Tool probabilitas suku bunga dipertahan sudah mencapai 95,80%.

Harapannya dengan suku bunga ditahan ini sudah semakin mendekati terminal rate, karena sebagaimana kita tahu The Fed sudah menaikkan suku bunga sejak Maret tahun lalu dengan 11 kali kenaikan ke level 5,25% - 5,50%.

Fenomena higher for longer ini juga tampaknya berlaku di Tanah Air, pada pertemuan PTBI semalam, Perry memastikan suku bunga acuan BI akan ditahan sampai 2025.

"2025, suku bunga BI rate akan kami pertahankan," kata Perry. Sebagaimana diketahui, suku bunga BI sempat tidak terduga naik 25 bps ke 6% pada Oktober lalu merespon dari pelemahan rupiah yang berlarut-larut.

Kenaikan pada Oktober menjadikan suku bunga BI sudah mencapai terminal rate yang kemudian akan ditahan lama. Suku bunga 6% dibandingkan dengan suku bunga AS di kisaran 5,25% - 5,50% memberikan ruang yang cukup untuk penguatan rupiah yang sudah mulai terasa pada sepanjang November ini.

Jurus BI Amankan Rupiah

Untuk stabilisasi rupiah lebih lanjut, BI menyiapkan sejumlah jurus lagi. Perry mengungkapkan untuk kebijakan moneter sendiri, selain mempertahankan suku bunga acuan, BI juga akan terus menjaga inflasi pada 2024 di level 2,5% plus minus 1% kemudian dilakukan  intervensi di pasar spot, forward, DNDF, dan operasi moneter pro market untuk tarik aliran modal asing portofolio.

"Itu dengan mendorong SRBI, SVBI, SUVBI, dan pengelolaan lalu lintas capital flow DHE SDA diwajibkan PP No. 36 Tahun 2023 akan diperluas," tegas Perry.

Sejumlah instrumen baru BI yang diterbitkan tersebut memang menjadi langkah untuk stabilisasi rupiah, akan tetapi diperlukan pengelolaan yang tepat agar tidak mengganggu sektor ritel. Jokowi juga mengungkapkan, masalah ini muncul diduga karena Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan BI menerbitkan terlalu banyak instrumen. Ada Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) dan Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI).

"Jangan semuanya ramai membeli yang tadi saya sampaikan ke BI maupun SBN meski boleh-boleh saja tapi agar sektor riil bisa kelihatan lebih baik dari tahun yang lalu," papar Jokowi.

Likuiditas kering tersebut salah satunya bisa dicerminkan oleh data jumlah uang beredar pertumbuhannya yang terus menyusut. Data BI menunjukkan posisi M2 pada Oktober 2023 tercatat sebesar Rp8.505,4 triliun atau tumbuh 3,4% (year on year/yoy), setelah pada bulan sebelumnya tumbuh sebesar 6,0% yoy.

Likuiditas kering yang diduga merupakan imbas dari Kemenkeu dan BI banyak menerbitkan instrumen baru juga disoroti oleh Jokowi. Pasalnya,  likuiditas di perbankan yang mulai kering ini bisa mengganggu sektor riil, terutama dalam penyaluran kredit. Jokowi mengajak perbankan untuk lebih prudent dan hati-hari agar penyaluran kredit bisa lebih didorong lagi. 

"Meskipun kalau kita lihat kadang-kadang di bawah tadi saya sampaikan ke Pak Gub, Pak Gubernur saya mendengar dari banyak pelaku usaha ini kelihatannya kok peredaran uang nya makin kering. Saya mengajak seluruh perbankan harus prudent harus hati-hati tapi tolong lebih didorong lagi kreditnya, terutama bagi UMKM," kata Jokowi.

Jokowi juga meminta agar perbankan tidak menghabiskan likuiditas untuk membeli instrumen yang diterbitkan Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), seperti Surat Berharga Negara (SBN), Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan sekuritas valuta asing Bank Indonesia (SVBI)

Berbagai jurus BI yang diaplikasikan tersebut sudah mulai berdampak positif pada dana asing yang masuk kembali ke Tanah Air. Berdasarkan data transaksi 20 - 23 November 2023, investor asing di pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp7,03 triliun (beli neto Rp1,59 triliun di pasar SBN, beli neto Rp0,30 triliun di pasar saham, dan beli neto Rp5,13 triliun di SRBI).

Aliran asing yang masuk ke RI juga datang berkat indeks dolar AS yang terpantau sudah mulai menyusut. Indeks dolar AS berada pada posisi 103,31 per Rabu (29/11/2203). Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 30 Agustus 2023 atau selama tiga bulan terakhir.

Sementara itu, imbal hasil US Treasury 10 tahun jatuh ke 4,25% pada perdagangan kemarin. Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 8 September 2023 atau 2,5 bulan terakhir.

Ambruknya indeks dolar dan melandainya US Treasury menjadi kabar baik karena ini juga menandai jika investor mulai melepas dolar AS dan menaruh investasinya ke tempat lain. Salah satunya adalah ke negara Emerging Markets, seperti Indonesia.

Kendati demikian, sejumlah risiko yang dipaparkan Gubernur BI dan Presiden Jokowi pada PTBI tentu masih menjadi tantangan yang harus diantisipasi ke depan.
Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah P juga mengingatkan bahwa banjir aliran dana luar negeri ini tidak akan bertahan lama. Dia mengatakan dana tersebut akan segera berbalik arah, apabila melihat indikator-indikator ekonomi yang tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. "Hot money itu memang karakteristiknya keluar masuk," kata dia.

CNBC INDONESIA RESEARCH 

(tsn/tsn)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation