
RI Cuan Dagang 42 Beruntun, Uangnya Entah Ada di Mana!

Jakarta, CNBC Indonesia - Neraca dagang Indonesia kembali tercatat surplus 42 bulan beruntun di tengah gejolak ekonomi global yang terjadi. Prestasi Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini menjadi salah satu yang terpanjang dalam sejarah Indonesia dan menyamai era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yakni Oktober 2004 hingga Maret 2008.
Kemarin (15/11/2023), Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data ekspor-impor serta neraca dagang Indonesia. Tercatat surplus neraca perdagangan pada Oktober 2023 mencapai US$3,48 miliar. Surplus lebih tinggi dibandingkan pada yang tercatat US$3,41 miliar.
Akan tetapi, sayangnya besarnya surplus tersebut tak dinikmati seluruhnya bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya, devisa hasil ekspor tidak masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
Dengan mencatatkan surplus hingga 42 bulan beruntun, pencapaian surplus di era Jokowi kini sejajar dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Surplus perdagangan pernah mencapai 42 bulan di era SBY yakni Oktober 2004 hingga Maret 2008.
Pencapaian tersebut adalah yang terpanjang dan terbaik dalam satu periode pemerintahan presiden pasca reformasi. Surplus ditopang oleh melambungnya harga komoditas di era booming komoditas pada 2010-2012.
Surplus terpanjang yang dicatat Indonesia adalah selama 153 bulan yang terbentang dari Juli 1995-Maret 2008. Periode tersebut terbentang dari periode pemerintahan Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, hingga Megawati Soekarnoputri.
Dalam satu kali masa pemerintahan, surplus terpanjang masih ditorehkan Soeharto. Presiden Soeharto yang memerintah selama 32 tahun di Indonesia pernah mencatatkan surplus panjang selama 91 bulan pada periode Agustus 1975 hingga Februari 1983.
Neraca Dagang Surplus Sepanjang 2023
Surplus periode Oktober terjadi akibat ekspor yang mencapai US$22,15 miliar. Ekspor ini naik 6,76% dari September sebesar US$20,76 miliar. Kenaikan ini didorong oleh ekspor nonmigas tumbuh 7,42% dengan nilai US$20,78 miliar.
"Kenaikan didorong oleh ekspor nonmigas, terutama bahan bakar mineral yang naik 24,61% dan logam mulia 43,10%," kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini.
Jika dilihat dari sektornya, semua sektor meningkat, kecuali pertanian, kehutanan dan perikanan. Secara bulanan, kenaikan ekspor Oktober ini didorong sektor industri pengolahan.
"Ekspor industri pengolahan yang naik cukup besar adalah barang perhiasan dan berharga, besi baja, sepatu olahraga, nikel, dan minyak sawit," kata Pudji.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa tidak semua Dana Hasil Ekspor (DHE) khususnya yang berlaku pada sektor industri sumber daya alam bisa kembali secara utuh ke Indonesia.
Bahlil menyebutkan bahwa DHE yang tersimpan dalam negeri nyatanya tidak bisa kembali secara utuh untuk Indonesia lantaran ada beberapa kewajiban dari pihak pengusaha yang harus membayar pinjaman dan kredit yang didapatkan melalui pihak asing.
"Ini benar tentang Dana Hasil Ekspor. Tapi jangan mimpi DHE dari hasil industri akan kembali seutuhnya ke Indonesia. Karena tidak mungkin industri yang dibangun, misal hilirisasi nikel, semua kredit kan dari luar, teknologi dari luar. Begitu ada hasil penjualan, revenue mereka, yang mereka lakukan pertama adalah apa? Membayar pokok bunga pinjaman mereka," jelas Bahlil.
Bahlil mengungkapkan bahwa paling banyak DHE yang bisa kembali ke Indonesia sebesar 30%. Hal itupun dikatakan oleh Bahlil bahwa pihak pengusaha pun belum sampai pada titik impas atau break even point (BEP) dalam 5-6 tahun.
"Yang kembali ke kita palling tinggi 20%-30%. Itupun hanya untuk operasional karena profitnya berapa, 5-6 tahun kan belum terjadi break even point," sambungnya.
"Jadi kalau kita mau untuk DHE CO2 nya kembali yang sering dibilang kalau Presiden berikan pidato ekspor nikel US$ 30 billion lebih hampir Rp 510 triliun gak balik ke kita itu bukan tidak kembali karena tidak mau dibawa, 30-40% bisa kembali tapi selebihnya dia harus bayar pokok tambah bunga," tegas Bahlil.
Cadangan Devisa & Term Deposit (TD) Valas
Surplus neraca dagang Indonesia terjadi berturut-turut dalam tiga tahun terakhir. Cadangan devisa (cadev) sempat alami kenaikan namun tidak sebanding dengan surplus neraca dagang.
Pada Mei 2020, surplus neraca dagang pertama kali terjadi di era Jokowi sebesar US$2,01 miliar sementara cadev Indonesia tercatat sebesar US$130,5 miliar. Namun sedikit berbeda pada Oktober 2021, neraca dagang tertinggi mengalami surplusnya sebesar US$5,8 miliar sedangkan cadev terpantau mencapai puncaknya pada September 2021 sebesar US$146,9 miliar atau satu bulan sebelumnya.
Sementara TD valas yang ditujukan untuk meningkatkan investasi dan kinerja ekspor dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan dan/atau pengolahan sumber daya alam, terus mengalami kenaikan bahkan sebelum PP No.36/2023 diimplementasikan.
Sebagai informasi, sejak implementasi TD valas di Maret 2023, TD Valas DHE direspon positif oleh pelaku pasar. Sebelum PP diterbitkan, terdapat 34 perusahaan eksportir dan diprakirakan akan terus bertambah sejalan dengan sosialisasi dan diseminasi yang dilakukan secara berkelanjutan. Bahkan hingga kini setidaknya terdapat 135 perusahaan eksportir yang aktif berpartisipasi.
Pasca PP diimplementasikan, komposisi transaksi pada tenor 3 Bulan mengalami kenaikan dari 46% (31 Jul 2023) menjadi 94% (10 Nov 2023) dan per 10 November 2023, posisi TD valas DHE berada sebesar US$2,08 miliar.
![]() Sumber: Bank Indonesia |
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)