
BI Bakal Tekor Tahun Depan, Ini Sebabnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI) diproyeksikan defisit pada 2024. Rencana ATBI (RATBI) operasional pun diproyeksikan turun pada 2024 akibat selisih penerimaan dan pengeluaran BI yang semakin menyempit.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengungkapkan, kembali defisitnya RATBI 2024 disebabkan oleh potensi defisit anggaran kebijakan yang mencapai Rp38,98 triliun dari proyeksi surplus anggaran kebijakan 2023 sebesar Rp3,2 triliun dan surplus anggaran operasional Rp9,68 triliun akan sedikit menutup beban anggaran kebijakan yang terlampau tinggi.
Adapun rincian untuk anggaran operasional dalam RATBI 2024 sendiri terdiri dari penerimaan operasional sebesar Rp29,75 triliun. Disumbang oleh hasil pengelolaan aset valas Rp29,68 triliun, penerimaan kegiatan kelembagaan Rp11 miliar, dan penerimaan administrasi Rp56 miliar.
"Rencana ATBI 2024 diperkirakan defisit Rp29,29 triliun terutama dipengaruhi pengeluaran anggaran kebijakan yang meningkat termasuk juga kenaikan biaya operasi moneter dan beban kontribusi BI atas program pemulihan ekonomi nasional atau burden sharing," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (13/11/2023).
Khusus untuk anggaran kebijakan yang defisit Rp38,98 triliun, menurutnya dipicu oleh biaya moneter yang meningkat, seiring dengan suku bunga yang masih untuk perlu dipertahankan tinggi. Sebagai informasi, BI telah menaikkan suku bunga acuan BI-7 day reverse repo sebesar 25 basis poin pada Oktober 2023 menjadi 6%.
Rencana dan Realisasi RATBI Tahun-Tahun Sebelumnya
Pada awalnya, ATBI 2023 dirancang defisit Rp19,99 triliun dengan penerimaan RATBI operasional sebesar Rp28,66 triliun. Sedangkan untuk rencana anggaran pengeluaran operasional BI 2023 disetujui sebesar Rp15,4 triliun.
Jika dikalkulasikan, maka rencana anggaran kebijakan mencapai Rp33,25 triliun atau lebih rendah dibandingkan rencana anggaran kebijakan 2024.
Namun realisasinya, justru ATBI 2023 hingga September 2023 masih mencatatkan surplus sebesar Rp34,94 triliun.
"Sampai dengan September 2023 realisasi anggaran mencatatkan surplus Rp34,94 triliun dan diprognosiskan mencapai Rp27,19 triliun sampai dengan akhir tahun ini," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (13/11/2023).
Surplus tersebut terjadi salah satunya karena optimalisasi penerimaan dari pengelolaan Surat Berharga Negara (SBN).
"Anggaran kebijakan yang mencatat surplus dipengaruhi oleh optimalisasi penerimaan dari pengelolaan surat berharga termasuk SBN dan realisasi bauran kebijakan antara lain terkait pembayaran jasa giro kepada pemerintah dan kebutuhan beban operasi moneter," ucap Perry.
Adapun untuk anggaran operasional juga ia perkirakan akan surplus sebesar Rp23,98 triliun. Terutama karena realisasi per September 2023 telah surplus Rp28,37 triliun, jauh di atas ATBI 2023 sebesar Rp11,63 triliun.
Prognosis surplus ini dipengaruhi oleh potensi penerimaan anggaran operasional keseluruhan 2023 sebesar Rp40,94 triliun dengan prognosa total pengeluaran anggaran operasional sebesar Rp16,95 triliun.
"Sementara anggaran operasional yang mencatatkan surplus lebih tinggi dari rencana dipengaruhi oleh peningkatan penerimaan pengelolaan cadangan devisa yang didukung implementasi reformasi cadev dan pengaruh suku bunga global yang meningkat tinggi dari asumsi awal," tambah Perry.
Sedangkan pada Laporan Keuangan Tahunan 2022, tercatat BI menghasilkan Rp121,7 triliun dan beban sebesar Rp92,83 triliun. Jika dihitung, maka BI mengalami surplus setelah pajak sebesar Rp21,76 triliun atau lebih tinggi dibandingkan 2021 yang juga mengalami surplus sebesar Rp19,17 triliun.
Secara umum, surplus dapat terjadi didominasi oleh pengelolaan aset valas yang baik hingga hasil bunga yang cukup tinggi.
Berbeda halnya dengan tahun 2020 yang pada saat itu terdapat pandemik Covid-19 yang menyebabkan resesi ekonomi dunia dan di banyak negara, serta kepanikan dan ketidakpastian pasar keuangan global.
Dengan kondisi tersebut, penghasilan BI pun mengalami penurunan menjadi hanya Rp87 triliun dengan jumlah beban sebesar Rp52,73 triliun. Jika dikalkulasikan, surplus yang diraih BI hanya sebesar Rp26,28 triliun atau lebih rendah dibandingkan 2019 yang juga surplus sebesar Rp33,35 triliun.
Namun dalam pembuatan RATBI 2020 tepatnya pada tahun 2019, Pemerintah dan BI optimis dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia bahkan diperkirakan meningkat menjadi 5,1-5,5%.
Prakiraan ini dipengaruhi oleh optimisme pemulihan ekonomi global dan perbaikan harga komoditas yang diprakirakan menopang perbaikan kinerja ekspor dan investasi.
Alhasil dalam RATBI Operasional 2020 tercatat merupakan yang tertinggi dalam rentang 2019-2024 yakni sebesar Rp21,7 triliun. Sejak 2020, RATBI Operasional terus mengalami penurunan bahkan hingga 2024.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)