
Siaga Badai dari Amerika! Semoga RI Tak Jadi 'Lautan' Merah

- Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam dengan IHSG menguat sementara rupiah melemah
Wall Street mengakhiri tren penguatan dengan kompak melemah - Pasar Keuangan Indonesia akan dibayangi oleh pernyataan hawkish dari The Fed serta data inflasi China
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif di tengah berbagai sentimen domestik maupun luar negeri. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat dan Surat Berharga Negara (SBN) kembali dicari investor. Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terdepresiasi tipis.
Pasar keuangan Indonesia pada hari ini diharapkan membaik. Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis (8/11/2023), IHSG ditutup di posisi 6.838,23 atau menguat 0,5%.
Sebanyak 253 saham menguat, 286 saham melemah sementara 216 bergerak stagnan. Nilai perdagangan yang tercatat kemarin mencapai Rp7,762 triliun dan melibatkan 15,19 miliar saham. Investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp466,88 miliar di semua pasar.
Sejumlah saham menjadi penopang IHSG kemarin. Hingga pukul 16:00 WIB pada Rabu kemarin, saham BREN terbang 18,75% ke posisi harga Rp5.225/unit. Bahkan, saham BREN menjadi penopang terbesar IHSG di akhir perdagangan kemarin yakni mencapai 32,3 indeks poin.
Saham BREN sudah ditransaksikan sebanyak 38.653 kali dengan volume sebesar 111,85 juta lembar saham dan nilai transaksinya sudah mencapai Rp545,48 miliar.
Selain itu, beberapa saham juga turut menjadi penopang IHSG. Berikut saham-saham yang menopang IHSG pada kemarin.
Dari pasar mata uang, nilai tukar rupiah akhirnya rupiah ditutup di angka Rp15.650/US$ atau melemah 0,03%. Hal ini merupakan pelemahan yang terjadi sepanjang tiga hari beruntun sejak 7 November 2023.
Salah satu tekanan terhadap rupiah datang dari Negara China yang merupakan mitra dagang Indonesia. China mencatat deflasi 0,2% (year on year/yoy) pada Oktober 2023, dibandingkan dengan angka yang datar pada bulan sebelumnya dan perkiraan pasar yang turun sebesar 0,1%, menunjukkan bahwa berbagai langkah stimulus dari China tidak memberikan banyak manfaat dalam merangsang pengeluaran secara keseluruhan.
Dari pasar Surat Berharga Negara (SBN), imbal hasil diketahui menurun tipis menjadi 6,74% yang menandai naiknya harga obligasi karena SBN sudah mulai dicari investor.
S&P 500 jatuh pada hari Kamis, mengakhiri kenaikan beruntun delapan hari, karena lonjakan tajam dalam imbal hasil mengguncang investor. Indeks acuan turun 0,81%, ditutup pada 4.347,35, sedangkan Nasdaq Composite kehilangan 0,94% dan berada di posisi 13.521,45. Rata-rata Industri Dow Jones turun 220,33 poin, atau 0,65%, menjadi ditutup pada 33,891.94.
Saham-saham mencapai posisi terendah setelah Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengindikasikan bahwa upaya lebih lanjut mungkin perlu dilakukan untuk menurunkan inflasi, meskipun perlambatan laju inflasi baru-baru ini merupakan tanda yang menggembirakan bagi para pembuat kebijakan.
"Komite Pasar Terbuka Federal berkomitmen untuk mencapai kebijakan moneter yang cukup ketat untuk menurunkan inflasi hingga 2% seiring berjalannya waktu; kami tidak yakin bahwa kami telah mencapai sikap seperti itu," kata Powell dalam sambutannya di acara Dana Moneter Internasional, dikutip dari CNBC International.
Penurunan harga saham bertepatan dengan kenaikan imbal hasil obligasi. Lemahnya lelang Treasury AS di awal sesi tidak membantu situasi. Imbal hasil acuan Treasury 10-tahun naik lebih dari 12 basis poin menjadi 4,634%. Suku bunga obligasi 30 tahun melonjak sekitar 11 basis poin menjadi 4,772%.
"Volabilitas suku bunga mendominasi pasar saham," kata Michael Arone dari State Street Global Advisors. "Itulah yang kami lihat." "Saya pikir kita sudah siap untuk mencapai kesimpulan positif terhadap tahun yang positif ini," kata kepala strategi investasi tersebut. "Tetapi menurut saya pergerakan suku bunga pada akhirnya akan menentukan arah kita selanjutnya."
Sementara itu, Disney naik 6,9% sehari setelah melaporkan laba yang lebih baik dari perkiraan dan memperluas rencana pemotongan biaya, sementara Arm merosot 5,2% setelah laporan kuartal pertamanya sebagai perusahaan publik. Resor MGM tergelincir 1,1% bahkan setelah membukukan hasil yang kuat dan program pembelian kembali saham baru.
Saham-saham mengalami hari yang tenang namun penting di Wall Street. S&P 500 dan Nasdaq yang padat teknologi masing-masing berakhir naik sekitar 0,1%, mencatatkan sesi positif terpanjang dalam dua tahun. Dow berakhir turun sekitar 0,1%, menghentikan kenaikan tujuh hari.
Untuk minggu ini, Dow telah kehilangan 0,5%, sedangkan S&P 500 berada di jalur untuk berakhir lebih rendah sekitar 0,3%. Nasdaq adalah satu-satunya indeks rata-rata utama yang berada di wilayah positif, berada di jalur kenaikan 0,3%.
Pasar keuangan domestik mendapat pengaruh khususnya sentimen yang datang dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Pasalnya Ketua The Fed Jerome Powell kembali melontarkan komentar hawkish. Deflasi di China serta ambruknya Wall Street juga bisa menjadi sentimen negatif lainnya.
Jerome Powell Kembali Lontarkan Hawkish
Ketua Federal Reserve Jerome Powell berbicara pada Konferensi Riset Tahunan Jacques Polak ke-24 di Washington, DC pada panel yang mengeksplorasi tantangan moneter dalam perekonomian global.
Panelis yang bergabung dengan Powell termasuk Gita Gopinath, wakil direktur pelaksana pertama di IMF; Kenneth Rogoff, ketua ekonomi internasional Maurits C. Boas di Universitas Harvard, dan Amir Yaron, gubernur Bank Israel.
Dalam acara tersebut, Powell mengatakan bahwa ia dan rekan-rekan pembuat kebijakannya terdorong oleh melambatnya laju inflasi namun tidak yakin apakah mereka telah berbuat cukup untuk menjaga momentum tersebut.
Lebih dari seminggu setelah bank sentral memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan tetap stabil, Powell mengatakan dalam pidatonya di hadapan Dana Moneter Internasional (IMF) di Washington DC, bahwa masih banyak upaya yang perlu dilakukan dalam upaya melawan tingginya harga minyak.
"Komite Pasar Terbuka Federal berkomitmen untuk mencapai kebijakan moneter yang cukup ketat untuk menurunkan inflasi hingga 2% seiring berjalannya waktu; kami tidak yakin bahwa kami telah mencapai sikap seperti itu," tutur Powell, dikutip dari CNBC International.
Pidato tersebut Powell sampaikan ketika inflasi masih jauh di atas target jangka panjang The Fed meskipun sudah jauh di bawah tingkat puncaknya pada paruh pertama tahun 2022 yang sempat menyentuh level 9,1% (yoy) pada Juni 2022.
Sebagai informasi, dalam serangkaian 11 kenaikan suku bunga yang merupakan pengetatan kebijakan paling agresif sejak awal tahun 1980an, komite mengambil keputusan suku bunga acuannya dari mendekati nol pada Februari 2022 hingga naik ke kisaran kisaran target 5,25-5,50% pada November 2023.
"Saya dan rekan-rekan saya merasa bersyukur dengan kemajuan ini, namun kami memperkirakan bahwa proses untuk menurunkan inflasi secara berkelanjutan hingga 2% masih memerlukan perjalanan panjang," katanya.
"Kami akan terus melakukan hal ini sampai kami berhasil," tambahnya kemudian, seraya mengatakan bahwa The Fed fokus pada apakah suku bunga perlu dinaikkan dan berapa lama suku bunga harus tetap tinggi.
Pernyataan Powell ini ditanggapi market dengan pesimis. Jeffrey Roach, kepala ekonom di LPL Financial mengatakan pernyataan Powell kembali mengingatkan pelaku pasar jika pemangkasan suku bunga masih jauh.
"Ketua Powell mengeluarkan peringatan kepada investor yang terlalu khawatir terhadap prospek penurunan suku bunga tahun depan. The Fed akan setia pada mandatnya dan menaikkan suku bunga lebih lanjut jika inflasi kembali meningkat," tutur Jeffrey Roach, kepada CNBC International.
Seperti yang ia sampaikan dalam pidatonya baru-baru ini, Powell menekankan bahwa The Fed tetap harus berhati-hati karena risiko antara melakukan terlalu banyak dan terlalu sedikit sudah semakin seimbang. Dia mengatakan The Fed selaras dengan kenaikan imbal hasil Treasury.
"Jika diperlukan pengetatan kebijakan lebih lanjut, kami tidak akan ragu untuk melakukannya. Namun, kami akan terus bergerak dengan hati-hati, sehingga memungkinkan kami mengatasi risiko disesatkan oleh data beberapa bulan yang bagus, dan risiko pengetatan yang berlebihan. Kebijakan moneter secara umum berjalan sesuai dengan apa yang kita pikirkan," tutur Powell dalam diskusi setelah pidatonya.
Oleh karena itu, pasar sebagian besar yakin bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga.
Berdasarkan perangkat CME Fedwatch, 14,5% pelaku pasar meyakini bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin (bps) pada pertemuan Desember 2023. Hal ini lebih tinggi dari hari sebelumnya yang hanya sebesar 9,6%.
Sementara pada Januari 2024, persentase pelaku pasar lebih tinggi yakni 23,3% yang meyakini bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya menjadi 5,50-5,75%.
![]() Source: CME Group |
Sedangkan para pedagang mengantisipasi The Fed akan mulai melakukan pemotongan suku bunga tahun depan, mungkin sekitar bulan Juni.
Powell mencatat kemajuan yang telah dicapai perekonomian. Produk domestik bruto meningkat pada laju tahunan yang "cukup kuat" sebesar 4,9% pada kuartal ketiga, meskipun Powell mengatakan ekspektasinya adalah pertumbuhan menjadi "moderat di kuartal-kuartal mendatang." Dia menggambarkan perekonomian pada tahun 2023 sebagai sesuatu yang "luar biasa" mengingat adanya konsensus luas bahwa resesi tidak dapat dihindari.
Pengangguran tetap rendah, meskipun tingkat pengangguran telah meningkat setengah poin persentase tahun ini, sebuah langkah yang umumnya dikaitkan dengan resesi.
Namun Powell mencatat bahwa The Fed "berhati-hati" bahwa pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan dapat melemahkan upaya melawan inflasi dan "memerlukan respons dari kebijakan moneter."
Ia juga menunjukkan bahwa perbaikan dalam rantai pasok telah membantu meringankan tekanan inflasi, namun menurutnya banyak yang belum tercapai.
"Belum jelas berapa banyak lagi yang bisa dicapai dengan perbaikan tambahan di sisi pasokan. Ke depan, mungkin sebagian besar kemajuan dalam menurunkan inflasi akan datang dari kebijakan moneter ketat yang menahan pertumbuhan permintaan agregat." ujarnya
Di sisi lain, Presiden Fed Richmond Thomas Barkin mengatakan baru-baru ini bahwa meskipun telah terjadi "kemajuan nyata" dalam inflasi, dia masih tidak yakin apakah The Fed perlu menaikkan suku bunga kebijakannya lebih tinggi untuk menyelesaikan tugasnya.
"Perekonomian tidak terpuruk akibat biaya modal saat ini, dan jika tidak, lalu apa gunanya?" kata Phillip Colmar, ahli strategi global di MRB Partners di New York, merujuk pada ekspektasi The Fed akan melonggarkan kebijakannya setelah data pekerjaan minggu lalu. "Tidak ada alasan nyata bagi The Fed untuk melakukan pemotongan di sini." dikutip dari Reuters.
Pernyataan Powell yang cenderung hawkish ini langsing membuat indeks dolar kembali menguat tajam ke 105,593 pada perdagangan kemarin, dari 105,542 pada hari sebelumnya.
Pernyataan Powell dan kenaikan indeks dolar AS menjadi alarm bahaya bagi pasar keuangan Indonesia sehingga IHSG, rupiah, dan SBN akan tertekan dan berakhir di zona merah pada perdagangan hari ini.
Pernyataan tersebut dikhawatirkan bisa kembali memicu 'badai' capital outflow dari Emerging Markets, seperti Indonesia. Padahal, pasar keuangan Indonesia belum sepenuhnya pulih dari tekanan outflow.
China Catat Deflasi, Ekonomi Masih Loyo?
China mencatat deflasi 0,2% (yoy) pada Oktober 2023, dibandingkan dengan angka yang datar pada bulan sebelumnya dan perkiraan pasar yang turun sebesar 0,1%. Ini adalah kali kedua Tiongkok mencatat deflasi dalam setahun terakhir, setelah Juli.
Data ini mencerminkan jika berbagai langkah stimulus dari China belum memberikan banyak manfaat dalam merangsang pengeluaran secara keseluruhan.
Secara bulanan, China juga mencatat deflasi 0,1%, posisi ini merupakan yang terendah sejak Juni 2023. Sebagai informasi, CPI secara bulanan di China rata-rata sebesar 0,15% dari tahun 1996 hingga 2023. Hal ini mengindikasikan bahwa CPI China secara bulanan saat ini berada di bawah rata-rata 27 tahun terakhir.
Sementara Indeks Harga Produsen (PPI) China pun turut berada di zona deflasi 2,6% (yoy). Angka terbaru ini sedikit lebih rendah dari konsensus pasar yaitu deflasi 2,7%, yang menunjukkan deflasi produsen selama 13 bulan berturut-turut.
Dengan rendahnya CPI maupun PPI China, hal ini menunjukkan bahwa kondisi China saat ini sedang lesu dan tidak baik. Sebagai negara dengan tujuan utama ekspor Indonesia, perlambatan roda ekonomi di China akan berdampak pula terhadap ekspor serta ekonomi Tanah Air.
Data dan agenda ekonomi:
* Pidato Ketua The Fed Jerome Powell (02:00 WIB)
* Produksi Industri Bulanan dan Tahunan Turki (14:00 WIB)
* Pertumbuhan PDB Preliminary Kuartalan dan Tahunan Inggris (14:00 WIB)
* Cadangan Devisa India (18:30 WIB)
* Laju Inflasi Brazil (19:00 WIB)
Agenda korporat:
* Pemberitahuan RUPS Rencana PT Tera Data Indonusa Tbk (AXIO)
* Tanggal cum Dividen Tunai Interim PT Budi Starch & Sweetener Tbk (BUDI)
* Tanggal cum Dividen Tunai Interim Darya-Varia Laboratoria Tbk (DVLA)
* Pemberitahuan RUPS Rencana Kobexindo Tractors Tbk (KOBX)
* Tanggal cum Dividen Tunai Interim PT Soho Global Health Tbk (SOHO)
* Tanggal akhir perdagangan nominal lama Stock split PT Soho Global Health Tbk (SOHO)
Berikut indikator ekonomi terbaru:
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev) Next Article Perang Dagang Tinggal Tunggu Waktu, Sanggupkah IHSG-Rupiah Bertahan?