Macro Insight

Jepang Punya Senjata Baru Cegah Asing Kabur, RI Bisa Terimbas

Revo M, CNBC Indonesia
01 November 2023 08:45
Bank of Japan Governor Kazuo Ueda
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank of Japan (BoJ) memutuskan menahan suku bunga jangka pendek di angka -0,1% dan imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun di sekitar 0% yang ditetapkan berdasarkan pengendalian kurva imbal hasil (Yield Curve Control/YCC).

Dilansir dari CNBC International, BoJ memberikan lebih banyak fleksibilitas dalam kebijakan pengendalian kurva imbal hasil, mengubah istilah yang digunakan untuk menggambarkan batas atas imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor 10 tahun. 

Dalam rilisnya, BoJ mengatakan tingkat target imbal hasil Japanese Government Bond (JGB) 10-tahun akan dipertahankan pada 0%, namun akan menggunakan batas atas 1% "sebagai referensi."
Fleksibilitas ini menjadi senjata baru bagi BoJ untuk menarik kembali investor asing dan menjaga imbal hasil.

Dalam rilisnya, BoJ mengatakan tingkat target imbal hasil Japanese Government Bond (JGB) 10-tahun akan dipertahankan pada 0%, namun akan menggunakan batas atas 1% "sebagai referensi."

Sebagai catatan, pada Juli 2023, BoJ secara efektif memperluas rentang target imbal hasil JGB 10-tahun sebesar 50 basis poin menjadi 1% di kedua sisi. Namun, bank tersebut mengindikasikan akan berkomitmen untuk membiarkan imbal hasil berfluktuasi dalam kisaran sekitar plus dan minus 0,5 poin persentase dari tingkat target 0% yang ditetapkan pada bulan Desember 2022.

Dewan bank menyetujui langkah tersebut dengan suara 8-1 dan hanya anggota dewan BoJ Toyoaki Nakamura yang berbeda pendapat. Rilis tersebut menjelaskan bahwa meskipun Nakamura mendukung peningkatan fleksibilitas YCC, ia berpandangan bahwa hal ini lebih baik dilakukan hanya setelah mengkonfirmasi peningkatan jumlah perusahaan yang memperoleh kekuatan dari survei kementerian keuangan Jepang.

Selain itu, BoJ juga meningkatkan perkiraan inflasi Jepang dibandingkan dengan laporannya pada bulan Juli.

Laporan ini mencatat bahwa hal ini terutama disebabkan oleh dampak kenaikan biaya pass-through yang berkepanjangan, yang disebabkan oleh kenaikan harga impor di masa lalu dan kenaikan harga minyak mentah baru-baru ini.

Perkiraan inflasi inti dinaikkan menjadi 2,8% dari 2,5% pada tahun fiskal 2023, dan juga dinaikkan menjadi 2,8% dan 1,7% masing-masing untuk tahun fiskal 2024 dan 2025. Sementara perkiraan sebelumnya adalah 1,9% untuk tahun 2024 dan 1,6% untuk tahun 2025. Tahun fiskal Jepang berlangsung dari bulan April hingga Maret.

BoJ mengatakan terdapat "ketidakpastian yang sangat tinggi" seputar perekonomian dan pasar keuangan di dalam dan luar negeri, sehingga menyimpulkan bahwa "pantas" untuk meningkatkan fleksibilitas dalam kebijakan YCC.

Di sisi lain, imbal hasil JGB tenor 10 tahun saat ini berada di angka 0,95% yang merupakan posisi tertinggi sejak Maret 2012 atau 11 tahun terakhir. Tingginya imbal hasil tersebut mengindikasikan bahwa investor relatif keluar dari pasar obligasi Jepang dan membuat harga obligasi turun.

Keluarnya investor asing bersamaan dengan melemahnya yen Jepang terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang terus mengalami depresiasi. Dalam 10 tahun terakhir, yen Jepang mengalami depresiasi sekitar 52,85% dan secara year to date/ytd, yen Jepang melemah sebesar 15%.

Dampak Kebijakan BOJ ke RI
Jepang sebagai negara maju menjadi negara yang sangat dicermati pelaku pasar, khususnya perihal kebijakan suku bunga maupun obligasi.

Sebagai negara maju, rating yang tinggi, dan risiko yang kecil menyebabkan setiap kenaikan yield obligasi akan menarik pelaku pasar dan berdampak kepada minat investor Jepang dalam membeli obligasi negara lain, termasuk Surat Berharga Negara (SBN). Pasalnya, Jepang adalah salah satu investor terbesar bagi SBN atau kreditur pinjaman luar negeri Indonesia.

Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan Jepang menjadi salah satu kreditur terbesar bahkan sejak 2013 hingga sekarang.

Data Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) pada 2013 mencatat Jepang sebagai pemberi pinjaman sebesar US$32,82 miliar dan terus menurun pada Januari 2023 (data sementara) tercatat menjadi sebesar US$24,36 miliar dan pada Agustus 2023 (data sangat sementara) menjadi US$22,91 miliar.

Jika dilihat dari sisi porsinya, Jepang sebagai kreditur utang Indonesia terus mengalami penurunan sejak 2013.

Pada 2013, tercatat porsi Jepang sebagai kreditur sebesar 20,12% terhadap total Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia yakni sebesar US$163,12 miliar. Sementara pada Agustus 2023 porsi Jepang menurun menjadi hanya sebesar 11,63% dari total ULN Indonesia.

Pemerintah juga menerbitkan obligasi khusus berdenominasi yen atau Samurai bond. Pemerintah pertama kali menerbitkan Samurai Bonds pada17 Juli 2009.

Pada penerbitan tahun ini, pemerintah menarik utang senilai JPY 104,8 miliar. Samurai bond diterbitkan dalam empat tenor yakni 3-,5-,7-, dan 10 tahun.
Tenor 3 tahun dibanderol dengan kupon 0,74% sementara tenor 5 tahun sebesar 0,98%.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal juga menunjukkan Jepang masih menjadi salah satu investor terbesar. Total investasi Jepang ke Indonesia mencapai US$ 3,26 miliar pada Januari-September 2023. Jepang ada di urutan empat di bawah Singapura, China, dan Hong Kong.

Dengan besarnya peran Jepang di pasar SBN serta investasi langsung Indonesia maka kebijakan BoJ perlu dicermati. Bila imbal hasil di Jepang makin menarik maka ada risiko penarikan dana investor Jepang dari Indonesia ke Negeri Sakura.

Jepang juga akan mampu menarik lebih banyak investor dengan imbal hasil tinggi sehingga investor bisa beralih ke Negeri Sakura dan meninggalkan investasi di negara lain, seperti Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation